PADANG, hantaran.co — Penasihat Hukum (PH) terdakwa Yelnazi Rinto, terdakwa kasus penyelewengan dana infak Masjid Raya Sumbar dan beberapa item dana di Biro Bina Mental dan Kesra Setda Provinsi Sumbar, menilai dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) terhadap kliennya tidak cermat dan kabur, sehingga harus dibatalkan demi hukum.
Hal itu disampaikan Rina dkk selaku PH dalam sidang lanjutan kasus tersebut di Pengadilan Tipikor PN Padang dengan agenda penyampaian nota eksepsi (keberatan) dari terdakwa. PH menilai, JPU tidak dapat menerangkan kerugian keuangan negara secara rinci, sehingga dakwaan memperkayaan diri sendiri oleh terdakwa tidak dapat dibenarkan.
“Kami menyatakan, bahwa surat dakwaan dari Jaksa Penuntut Umum kabur, tidak cermat, dan tidak rinci dalam menentukan kerugian negara. Apa dasar jaksa dalam menentukan total uang persedian di Biro Mental dan Kesra Setdaprov Sumbar Tahun 2019 sehingga totalnya mencapai Rp799.094.158,” kata Rina di ruang sidang, Senin (2/11/2020).
PH juga menilai, JPU tidak rinci menerangkan waktu dan kegunaan sisa dana Peringatan Hari Besar Islam (PHBI) di Biro Bina Mental dan Kesra oleh terdakwa yang disebut bernilai Rp98.207.749. “Kami menilai unsur memperkaya diri sendiri tidak jelas, sehingga dakwaan harus dibatalkan demi hukum, atau tidak dapat diterima,” katanya lagi.
Atas seluruh keberatan yang disampaikan terdakwa melalui penasihat hukum, Pitria dkk selaku JPU yang menangani perkara ini pun meminta waktu sepekan untuk memberikan jawaban. Menanggapi hal itu, Yose Ana Roslinda selaku Ketua Majelis Hakim memberikan kesempatan sesuai waktu yang diminta jaksa.
Sebelumnya dalam sidang dakwaan dijelaskan, Yelnazi Rinto yang merupakan oknum ASN pada Setdaprov Sumbar didakwa melakukan penyelewengan dana infak Masjid Raya Sumbar dan tiga item dana lain di Biro Bina Mental dan Kesra Setdaprov Sumbar. Sejumlah modus terdakwa dalam melakukan penyelewengan turut dijelaskan.
Yelnazi Rinto sendiri merupakan bendahara pengeluaran pembantu pada Biro Bina Mental dan Kesra Sumbar 2010-2019, Bendahara Masjid Raya Sumbar pada 2017, Bendahara Unit Pengumpul Zakat (UPZ) Tuah Sakato, serta pemegang kas Panitia Hari Besar Islam (PBHI) 2013-2017. Jaksa menduga, terdakwa melakukan penggelapan di setiap jabatan yang diemban.
Dalam dakwaan dirincikan, penyelewengan dana UPZ Tuah Sakato dilakukan dengan cara melakukan pemindahbukuan uang zakat senilai Rp375.000.000 ke rekening infak Masjid Raya Sumbar dengan cara memalsukan tanda tangan Wakil Ketua UPZ. Setelah itu, terdakwa menarik uang tersebut menggunakan slip penarikan dan memalsukan tanda tangan Kepala Biro Bintal dan Kesra Setda Provinsi Sumbar.
Selanjutnya pada 1 Mei 2018, terdakwa mengaktifkan rekening bendahara pengeluaran Pembantu Biro Bintal dan Setda Provinsi Sumbar dengan aplikasi Nagari Cash Management (NCM) yang menggunakan ID Single User. Sehingga, transaksi pemindahanbukuan bisa dilakukan dengan penggunaan NCM serta nomor HP terdakwa.
Kemudian, terdakwa mentransfer sendiri uang persedian dari rekening bendahara pengeluaran pembantu Biro Bintal dan Kesra Setda Sumbar itu ke beberapa nomor rekening dengan nilai total Rp718.370.000. Seolah-olah, terdakwa tengah melakukan pembayaran bebeapa kegiatan di Biro Bintal dan Kesra Setda Provinsi.
Selanjutnya, uang yang ditransfer itu kembali dipindahkan ke beberapa rekening atas nama orang lain, termasuk nama terdakwa sendiri. “Akan tetapi diduga, uang dengan jumlah besar itu justru digunakan untuk membayar utang pribadi terdakwa, bukan untuk membayar kegiatan pemerintah,” ucap Pitria menguraikan.
Terkait pengelolaan uang infak Masjid Raya Sumbar, kata jaksa lagi, disebutkan bahwa di setiap waktu selesai pelaksanaan Salat Jumat dan salat lima waktu di Masjid Raya Sumbar, seluruh infak dan sedekah jemaah dikumpulkan oleh saksi bernama Efilman, yang kemudian mengantarnya ke ruang terdakwa tanpa dihitung terlebih dulu.
Terdakwa kemudian menyetorkan uang infak pecahan Rp20.000 ke rekening masjid, sedangkan uang pecahan Rp50.000 dan Rp100.000 disimpan dalam brankas terdakwa untuk membayar honor imam, muazin, garin, dan lain sebagainya. Lalu, terdakwa membuat laporan dan diumumkan kepada jemaah. Namun ternyata, uang infak digunakan untuk kepentingan terdakwa.
Tak cukup sampai di situ, jaksa juga menerangkan terkait modus terdakwa saat bertugas sebagai pemegang kas sisa dana (PHBI) Provinsi Sumbar dan penyelenggaraan Salat Idul Fitri dan Idul Adha, serta dana anak yatim yang berjumlah total Rp98.207.759. “Semuanya habis digunakan untuk keperluan terdakwa pribadi,” sambung jaksa lagi.
Atas perbuatannya, terdakwa dinilai melanggar Pasal 2 ayat 1 jo Pasal 18 Undang-Undang RI (UU) Nomor 31 tahun 1999 tentang Tipikor, sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU RI Nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan atas UU Nomor 31 tahun 1999 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP. (*)
Winda/hantaran.co
Komentar