LAPORAN : Nurhasanah/Juli Ishaq
“Pers yang menjalankan tugas jurnalistik dengan benar, tidak akan pernah mati. Sebab, perlahan orang akan memilah. Berlaku seleksi alam. Mana berita yang benar, mana yang asal. Oleh karena itu, pers harus memertahankan kredibilitas sebagai lembaga terpercaya.”
Hasril Chaniago
Tokoh Pers Sumbar
Tiga puluh tahun sudah Zulkifli menjajakan berita yang terangkum dalam lembaran demi lembaran koran di lapaknya. Setelah 15 tahun menjual koran di kawasan Lapangan Imam Bonjol, saat ini Zul—sapaannya—setia menunggu pembaca di pertigaan Simpang Haru, Kota Padang.
Saat Haluan berkunjung ke lapaknya, Senin (8/2/2021), Zul tengah melayani seorang pembeli. Meski hingga satu jam kemudian, pembeli lain belum kunjung datang. Meski begitu, Zul tetap ramah meladeni pertanyaan demi pertanyaan. “Jumlah pembeli koran memang menurun sejak media digital semakin banyak,” kata Zul.
Meski perkembangan industri media cetak hari ini berdampak pada usaha yang dilakoninya, Zul mengaku tak pernah berpikir untuk alih profesi. Sebab, ia yakin, koran tak akan mati, dan akan selalu ada pembaca setia yang datang untuk membeli. Selain itu ia merasa senang karena menjual koran termasuk pekerjaan yang menebar manfaat.
“Saya yakin koran tak akan mati. Saya juga punya handphone, tapi saya kurang suka baca berita di handphone. Rasanya kurang lengkap saja. Lagi pula, saya sudah betah berjualan koran. Meski tidak kaya raya, yang penting kebutuhan tercukupi. Anak bisa sekolah,” ujarnya lagi.
Ditarik ke masa lalu, saat industri media cetak belum kedatangan sedang jaya-jayanya, Zul mengaku bisa menjual hingga 500 eksemplar koran dalam sehari. Wajar saja, dengan usaha “tandeman” bersama sang istri—Zuraidah, Zul sukses mengantar dua dari tiga anaknya meraih gelar sarjana.
“Kalau di masa-masa jayanya, bisa 500 koran sehari. Sekarang, paling sekitar 125 koran. Ya, tetap Alhamdulillah. Bisa jual beli sekitar Rp400 ribu. Hari Senin itu yang paling ramai,” kata Zul lagi, sambil sesekali merapikan tumpukan koran.
Menurunnya penjualan, kata Zul, tak lantas membuat dirinya berhenti “putar otak” untuk memenuhi kebutuhan harian. Selain menggelar lapak, Zul juga juga menjalankan aktivitas harian mengantar koran langganan ke sejumlah rumah, sekolah, hingga perkantoran. Selain itu, Zul juga memadati lapaknya dengan berbagai majalah dan buku bacaan anak-remaja.
“Kalau harapan, kebetulan besok (hari ini.red) kan Hari Pers Nasional, ya, saya berharap agar minat baca terhadap koran kembali meningkat. Itu saja harapan saya. Namun, saya ada catatan juga. Berita di koran itu harus lebih menarik. Kalau bisa seperti dulu,” ucapnya menutup.
Di sisi lain, Yuharif, salah seorang pelanggan koran cetak mengaku, kebiasaan mendapatkan informasi dari koran cetak telah ia jalani sejak SMA. Bahkan hingga kini telah bekerja dan berkeluarga, kebiasaan berlangganan koran harian tetap menjadi kebiasaan menjurus hobi yang ia pertahankan.
“Ada tiga koran langganan saya yang sedang jalan. Dua koran nasional, satu lokal. Setiap hari saya baca informasi dari koran untuk mengambil kesimpulan. Sementara itu dari media selain koran, ya, untuk pengetahuan saja, sebelum bertemu ulasan lengkap di koran. Rasanya koran lebih valid saja, meski media gaya lain juga sebenarnya banyak yang valid,” katanya.
Menyikapi Zaman
Industri media massa, terutama media cetak, memang makin menghadapi tantangan berat. Namun demikian, Tokoh Pers Sumbar Hasril Chaniago menilai, tantangan itu akan selalu bisa dilewati dan akan berhasil ditaklukkan selama insan pers terus meningkatkan kualitas dan kapasitas, yang tentu tergambar pada setiap produk jurnalistik yang dihasilkan.
“Perkembangan teknologi informasi memang membuat pers tidak lagi hanya koran dan radio. Kehadiran media seperti televisi dan media online telah membuat konsep pers telah berubah,” kata Hasril kepada Haluan.
Jika semula berita disebut news (berita) yang berasal dari kata new (baru), sambungnya, maka kehadiran televisi membuat news hari ini telah bermakna now (sekarang). Sebab memang, televisi bisa mengabarkan sebuah kejadian atau menyampaikan informasi, di waktu bersamaan saat kejadian itu tengah terjadi.
Pergeseran atau perkembangan konsep pers yang seiring dengan perkembangan teknologi informasi, kata Hasril, membuat industri media massa harus senantiasa menyesuaikan diri. Terutama sekali dalam menyambut dan ikut terlibat dalam setiap perkembangan yang terjadi.
“Sebagaimana dilakukan Haluan hari ini, yang semula koran saja, tapi saat ini hadir dengan baik melalui produk digitalnya. Itu memang tidak bisa dihindari,” ujarnya lagi.
Sementara itu untuk memertahankan eksistensi, terlebih lagi untuk media cetak sebagai “media tradisional”, Hasril meyakini bahwa syarat utama yang diperlukan adalah meraih dan menjaga “kepercayaan publik”. Tentu saja, kepercayaan itu berbanding lurus dengan kompetensi, kualitas, serta kapasitas para insan pers yang bertugas menelurkan produk-produk jurnalistik itu sendiri.
Seleksi Alam
Perkembangan teknologi yang mengantar masyarakat menuju era disrupsi informasi, juga diwarnai hadirnya para penyaji informasi yang kompetensinya masih perlu dipertanyakan. Baik berupa situs berita yang tidak/belum terverifikasi, akun informasi media sosial, hingga pengunggah informasi berkedok pemengaruh (influencer) dan bahkan pendengung (buzzer).
Menyikapi hal itu, Hasril Chaniago percaya betul bahwa seleksi alam tetap akan berlaku. Ia meyakini, media arus utama, termasuk media cetak, akan selalu mendapatkan tempat untuk menjadi sandaran dalam mengonsumsi informasi, karena tetap diyakini telah teruji kebenarannya.
“Pers yang menjalankan tugas jurnalistiknya dengan benar, tidak akan pernah mati. Sebab, perlahan orang akan memilah. Di sini akan berlaku seleksi alam. Mana berita yang benar, mana yang asal. Oleh karena itu, pers harus memertahankan kredibilitasnya sebagai lembaga pemberitaan yang terpercaya,” ucapnya lagi.
Hal senada, sambung Hasril, turut berlaku bagi para pelaku jurnalistik atau insan pers itu sendiri. Baginya, wartawan yang dapat bertahan di tengah tantangan media massa hari ini adalah, wartawan yang punya kapasitas dan kompetensi. Bukan wartawan yang muncul tanpa berita (muntaber), yang tidak melakukan pekerjaan jurnalistik dengan baik.
“Pada akhirnya, seleksi alam juga berlaku di sini. Dewan Pers saya rasa sudah di jalur yang tepat dalam memberlakukan sertifikasi hingga uji kompetensi. Namun, terlepas dari semua itu, kualitas dan kapasitas pers tetap menjadi syarat utama agar terus menjadi sandaran bagi masyarakat dalam mendapatkan informasi yang terpercaya,” ucapnya menutup. (*)