Lahir tiga tahun pasca proklamasi kemerdekaan, di tengah masa yang penuh pergolakan, mungkin tak seorang pun akan membantah bahwa Harian Haluan telah melewati banyak hal. Jatuh bangun, merasakan masa keemasan, diberangus, “dibunuh”, hingga berganti pemilik. Tetapi bahkan setelah 72 tahun berlalu, Harian Haluan masih berdiri gagah, dengan bangga menyandang prestise sebagai koran tertua yang pernah eksis di Sumatera Barat.
–Fase 1–
Perjuangan Tak Mengenal Usai (1948-1958)
Terdapat dua versi terkait tanggal persis Harian Haluan pertama kali didirikan. Sebagian sumber menyebutkan Haluan berdiri pada 1 Mei 1948 di Bukittinggi oleh H. Kasoema; seorang wartawan senior yang kala itu menjabat Wakil Kepala Pusat Peredaran Film Indonesia Provinsi Sumatera. Sumber lain ada yang menyebut Haluan baru resmi berdiri tujuh bulan kemudian, yakni 1 Desember 1948. Kesimpangsiuran ini dapat dimaklumi. Sebab di tahun itu, Indonesia memang tengah berada dalam gejolak revolusi kemerdekaan.
Harian Haluan adalah surat kabar kedua yang terbit di Sumatra pasca kemerdekaan Indonesia, setelah Waspada di Medan yang berdiri setahun sebelumnya, tapi Haluan menjadi satu-satunya di Sumatera Tengah. Hingga pengujung 1948, Haluan sempat beberapa kali terbit. Namun setelah Belanda berhasil menguasai Bukittinggi menyusul Agresi Militer Belanda II pada 19-20 Desember 1948, Haluan “dipaksa” berhenti terbit.
“Meski Bukittinggi berhasil diduduki Belanda, Haluan pada mulanya masih terbit sebagai salah satu organ perjuangan. Akan tetapi, tentu harus pandai-pandai berkelit dari pengawasan Belanda dan kesulitan keuangan. Namun akhirnya, Kasoema dan kawan-kawan terpaksa menyerah saat kertas koran tak bisa lagi diperoleh, dan ia tak mau menggunakan kertas berbahan jerami yang dijatahi oleh Belanda. Haluan saat itu, untuk sementara waktu, berhenti terbit,” kata Pemimpin Redaksi (Pimred) Haluan yang juga menantu H. Kasoema, Syahrial Sam, dalam sebuah wawancara beberapa tahun yang lalu.
Setelah Belanda mengakui kedaulatan Indonesia pada 27 Desember 1949, Haluan kembali ke ranah pers Sumbar. Bersama rekan sejawatnya, seorang pengusaha pejuang, Moenir Rahimi, Kasoema kembali menghidupkan Haluan yang sempat “mati suri”. Mereka kemudian memindahkan kantor redaksi dan percetakan dari Bukittinggi ke Padang.
Mulanya, Haluan terbit tidak teratur. Namun lambut-laun, surat kabar asuhan Kasoema itu mulai rutin terbit setiap hari. Hingga memasuki era 50-an, Haluan berhasil mengukuhkan diri sebagai salah satu surat kabar paling prestisius di Sumatera tengah.
Sejarawan Prof. Gusti Asnan bahkan menyebut Haluan sebagai Kompas-nya Sumatera Tengah kala itu. Hal ini menunjukkan betapa dominannya Haluan, baik dalam hal pemberitaan maupun pengaruhnya terhadap dinamika intelektual, sosial, dan politik Sumatera Tengah di era 50-an.
Guru Besar Ilmu Sejarah Universitas Andalas (Unand) itu mengungkapkan, bahwa dominasi Haluan dapat dilihat dari bagaimana surat kabar itu menempatkan diri di tengah dinamika masyarakat Sumatera Tengah kala itu.
Di masa awal penerbitan, kata Gusti, Haluan memposisikan diri sebagai pembawa kabar untuk daerah. Haluan menuntaskan dahaga masyarakat Sumatera Tengah yang masih larut dalam euforia kemerdekaan dan kabar dari daerah-daerah lain, bahkan dari negara-negara lain.
“Pada tahun-tahun awal dekade 50-an, Haluan tidak menunjukkan kecenderungan sebagai surat kabar yang local oriented (berorientasi lokal). Sebaliknya, Haluan justru lebih banyak bicara tentang isu-isu nasional, bahkan internasional. Tidak jarang, berita-berita internasional mewarnai headline Haluan di masa itu,” ujarnya kepada Haluan, Minggu (20/9).
Kecenderungan ini, kata Gusti lagi, sejalan dengan dengan arus pemikiran masyarakat Indonesia, khususnya Sumatera Tengah pada zaman itu, yang bersifat international-minded. Ia mengatakan, banyak dari tulisan-tulisan yang dimuat di Haluan pada periode 1950-an, berbicara tentang kehidupan sosial, politik, ekonomi, pemuda, kaum wanita, dan anak-anak di luar negeri.
Tulisan-tulisan wartawan senior dan Pemred Haluan di era 1970-an Rivai Marlaut tentang luar negeri, seperti soal Birma dan Uni Soviet, terbit di Haluan pada periode itu dan begitu digemari. Sehingga, beberapa tahun kemudian, tulisan-tulisan itu kembali diterbitkan dalam bentuk buku.
Hal ini pula yang kemudian membuat Haluan mampu menggaet target pembaca yang lebih luas. Haluan tak lagi menjadi konsumsi masyarakat di Sumatera Tengah, tapi ikut dibaca oleh masyarakat di daerah-daerah lain seperti, Medan, Palembang, hingga Jakarta.
“Haluan tak hanya beredar di wilayah Sumatera Tengah, tetapi juga dikirim ke daerah-daerah lain. Walau memang biasanya terlambat sekitar empat atau lima hari, karena pengiriman ketika itu masih menggunakan kapal. Bahkan, menjelang PRRI, Haluan laris manis di Jakarta. Sangat dicari orang,” ujar lulusan Universität Bremen itu lagi.
Kekhasan lain yang menggambarkan Haluan di era 1950-an, menurut Gusti Asnan, adalah bagaimana Haluan menjadi wadah diskursus intelektual (intellectual discourse) bagi para pemikir besar di kala itu. Tak sedikit pemikir bangsa, baik di daerah maupun nasional, yang menyumbangkan ide dan pemikiran, bahkan berpolemik melalui Haluan.
Dalam bukunya, Memikir Ulang Regionalisme (2007), Gusti Asnan mengungkapkan bahwa Proklamator sekaligus Wakil Presiden Pertama Indonesia Mohammad Hatta pernah beberapa kali menulis di Haluan. Selama tahun 1957, setidaknya ada lima tulisan Hatta sekaitan dengan isu-isu demokrasi dan otonomi daerah yang dipublikasikan oleh Haluan.
Kelima tulisan itu di antaranya, “Demokrasi dan Autonomi”, “Autonomi dan Auto-Aktiviteit”, “Demokrasi Terpimpin atau Menyehatkan Demokrasi”, “Meninjau Konsepsi Bung Karno”, dan “Apa yang Diperlukan Sekarang”.
Di samping itu, masih ada beberapa tulisan Hatta lainnya seputar kondisi perpolitikan bangsa yang juga pernah dipublikasikan di Haluan. Tulisan-tulisan itu berturut-turut dimuat oleh Haluan edisi 14 Februari, 4-5 Maret, 27 April, 13 Mei, 21 Mei, 20 Agustus, dan 2 September 1957.
Tokoh Minangkabau lain yang juga pernah mempublikasikan tulisan di Haluan adalah ulama dan sastrawan Indonesia Buya Hamka. Penulis roman Tenggelamnya Kapal van der Wijck itu terutama banyak berbicara tentang isu-isu bahasa dan keminangkabauan. Tulisan-tulisan Hamka tercatat pernah dimuat di Haluan edisi 11, 12, 13, dan 14 April 1951.
“Ini artinya, Haluan di era 1950-an bisa dibilang sebagai bacaannya kaum intelektual, serta punya peran penting dalam perkembangan pemikiran ekonomi, sosial, politik dan budaya di Indonesia, khususnya di Sumatera Tengah,” ucap Gusti Asnan.
Memasuki akhir 1950-an, Haluan secara perlahan mulai menunjukkan perubahan sikap dan arah pemberitaan. Sedikit demi sedikit mengurangi porsi pemberitaan nasional dan internasional. Bahkan, menjelang pergolakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) pada 1958, hampir seluruh pemberitaan di Haluan berbicara tentang kedaerahan.
Dalam hal ini, Haluan memposisikan diri sebagai penyambung suara masyarakat daerah, yang menganggap Pemerintahan Soekarno, terlebih pasca Pemilu 1955, terlalu Jawasentris dan “kekiri-kirian”. Masyarakat daerah yang diwakili Haluan menginginkan negara yang benar-benar berdaulat dan adil. Tidak hanya mementingkan daerah tertentu.
Gusti Asnan menggarisbawahi, masyarakat daerah yang dimaksud di sini bukan terbatas masyarakat Sumatera Tengah saja. Akan tetapi, masyarakat daerah di Indonesia secara keseluruhan.
“Dalam konteks sejarah Indonesia periode 1950-an, pemerintahan Indonesia terbagi atas dua wilayah, yakni pusat yang diwakili oleh Pulau Jawa, dan daerah yang diwakili pulau-pulau lain di luar Jawa. Jadi, berita-berita Haluan di tahun-tahun akhir 1950-an tidak hanya menyorot kondisi Sumatera Tengah, tapi juga kondisi daerah-daerah lain seperti, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua, yang memiliki kesamaan; yakni merasa ‘dianaktirikan’ oleh pemerintah pusat,” tuturnya.
Haluan yang semakin vokal menyuarakan kritikan terhadap pusat membuat pemerintah pusat mau tak mau mengambil tindakan. Langkah pertama yang dilakukan pusat adalah melarang peredaran Harian Haluan di Jakarta. Seluruh koran Haluan yang ada di Jakarta, disita dan dimusnahkan.
Di samping itu, pemerintah pusat juga melakukan berbagai tindakan yang dapat “membunuh” Haluan secara perlahan. “Mula-mula pemerintah mencoba membatasi suplai kertas dan tinta untuk penerbitan. Haluan yang semula terbit delapan halaman, karena pasokan kertas dan tinta dibatasi akhirnya hanya mampu terbit empat halaman. Tidak hanya itu, kertas yang dipasok pun adalah kertas kelas dua yang jelek dan mudah lapuk. Sehingga, bahkan tanpa harus dibredel pun, Haluan bias mati dengan sendirinya,” katanya lagi.
Puncaknya, atas perintah Komandan Operasi 17 Agustus, koran perjuangan itu ditutup. Percetakan dan seluruh kekayaan Haluan ikut disita. Tak sampai di situ, pendiri Haluan H. Kasoema dan wartawan muda Annas Lubuk, ditangkap dan dipenjara. Sebanyak empat wartawan Haluan yakni, Darwis Abbas, Tengku Alang Jahja, Sjofjan Manan, dan Sjahril Dja’far ditembak mati oleh sekelompok orang yang diduga tentara pusat berhaluan kiri.
Sejak saat itu, hingga 11 tahun kemudian, surat kabar yang baru berusia 10 tahun itu untuk yang keduakalinya kembali “mati suri”.
–Fase2–
Hegemoni dan Jatuh Bangun (1969-2010)
Usai dibebaskan pada 1962, H. Kasoema dan Annas Lubuk kembali bertekad untuk membangun Haluan. Namun, itu tidak mudah. Untuk kembali menerbitkan surat kabar, mereka terlebih dulu harus melewati skrining ketat dari pemerintah era Orde Baru yang baru saja mengambilalih kekuasaan. Di samping itu, Haluan mesti berbentuk PT dan memiliki saham.
Tekad itu akhirnya baru terwujud pada 1969. Setelah hampir 11 tahun “mati suri”, Harian Haluan akhirnya kembali menyapa pembacanya.
Kendati demikian, Haluan yang terbit kembali itu sudah bukan lagi Haluan yang sama. Sudah bukan lagi surat kabar yang di era 50-an begitu vokal mengkritisi pemerintah. Haluan, sedikit banyak mulai “melunak”.
Sejarawan Gusti Asnan melihat, perubahan sikap dan arah kebijakan Haluan ini sebagai hal yang wajar dan dapat dimaklumi. Bagaimana pun, pers di masa Orde Baru dikontrol ketat oleh pemerintah. Surat kabar di masa itu menjadi corong utama pemerintah. Bahkan, ia mengistilahkan, surat kabar di era Orde Baru sebagai “diary pemerintah”.
“Tidak dapat dipungkiri, setelah PRRI, Haluan mengalami perubahan yang cukup signifikan. Tak hanya Haluan, tetapi juga masyarakat Minangkabau secara keseluruhan. Agar dapat bertahan hidup, masyarakat harus menyesuaikan diri dengan rezim baru. Mereka yang mampu menyesuaikan diri, akan berakhir dengan kesuksesan, seperti yang kemudian dibuktikan oleh Haluan,” kata Gusti lagi.
Haluan, seperti hampir seluruh surat kabar di Indonesia yang terbit di masa itu, mau tidak mau harus berkompromi dengan keadaan. Kuatnya intervensi pemerintah terhadap pers membuat koran-koran di Sumatera Barat berusaha mencari celah untuk tetap mempertahankan idealismenya.
“Koran di masa Orde Baru, termasuk Haluan, tidak bisa lagi terlalu vokal, terlebih untuk pemberitaan yang berbau politik, ekonomi, dan pembangunan. Namun Haluan, bagaimana pun, tetaplah koran perjuangan, dan idealisme itu masih tetap hidup. Hanya saja, cara berjuang Haluan sedikit bergeser. Jika di era 50-an perjuangan Haluan bersifat politis, maka di era 70-an sampai 90-an napas perjuangan disalurkan lewat budaya dan sastra,” ujar Pakar Komunikasi Unand, Emeraldy Chatra.
Kepedulian Haluan terhadap perkembangan sastra dan budaya Minangkabau itu bukannya tanpa alasan. Setelah PPRI, masyarakat Sumbar yang dikalahkan pemerintah pusat mulai kehilangan jati diri. Emeraldy menyebut, masyarakat Minang pasca-PRRI mulai malu menjadi orang Minang.
“Terbukti, anak-anak yang lahir setelah pergolakan PRRI tidak lagi menyandang nama-nama yang bernuansa Minangkabau. Nama yang paling banyak muncul justru nama-nama Jawa, karena Jawa ketika itu dianggap lebih superior dibanding Minangkabau,” ujarnya.
Hal inilah yang tepatnya, menurut Emeraldy, diperjuangkan oleh Haluan di masa itu. Melalui sastra dan budaya, Haluan ingin kembali membangkitkan harga diri masyarakat Minangkabau.
Adalah Rusli Marzuki Saria yang menjadi aktor utama sekaligus ujung tombak Haluan dalam memperjuangkan sastra dan budaya Minangkabau di masa itu. Di tangan dingin pria yang akrab disapa Papa Rusli itu, Haluan menjelma poros sastra dan budaya paling berpengaruh di Sumatera Barat pada periode 1970-an hingga 1990-an.
Papa Rusli sendiri mulai bergabung dengan Haluan pada 1 Mei 1969. Ia termasuk generasi pertama saat Haluan terbit kembali setelah dibredel selama 11 tahun. Karena kedekatannya dengan Annas Lubuk dan pengalamannya menulis, baik di media lokal maupun nasional, ia akhirnya direkrut untuk bergabung dengan koran yang baru kembali merangkak itu.
Papa Rusli mengatakan, saat pertama kali bergabung dengan Haluan, ia langsung ditunjuk menjadi Sekretaris Redaktur. Tak lama berselang, ia kemudian diangkat menjadi Asisten Manajer Redaktur, dan belakangan menjadi Redaktur untuk rubrik Kebudayaan dan Remaja Minggu Ini (BMI dan RMI).
Saat menjadi Asisten Manajer Redaktur, ia bertugas mengutip berita-berita internasional dari BBC, VOA, dan media Australia. Di samping itu, ia juga ikut andil dalam menentukan berita yang akan diterbitkan di halaman 1 dan halaman 12.
“Saat itu Haluan terbit 12 halaman per edisinya. Pada hari Rabu dan Minggu saya bertugas menangani rubrik khusus, yaitu Rubrik Kebudayaan yang terbit tiap Rabu dan Remaja Minggu Ini yang terbit setiap hari Minggu. Remaja Minggu Ini merupakan rubrik yang berisi seputar kehidupan remaja, puisi, cerpen, dan esai remaja,” kata Papa Rusli di kediamannya, Selasa (22/9) lalu.
Rubrik Kebudayaan dan Remaja Minggu Ini, ucapnya, memiliki segmentasi pembaca yang berbeda. Rubrik Kebudayaan menjadi santapan pembaca dewasa, sedangkan Rubrik Remaja Minggu Ini ditunggu-tunggu oleh pembaca remaja. Rubrik Kebudayaan ketika itu banyak diisi oleh penulis-penulis ternama seperti, A.A. Navis, Leon Agusta, Gus tf Sakai, Iyut Fitra, dan lain sebagainya.
“Tulisan yang terbit di Haluan saat itu bisa disebut pintu gerbang bagi penulisnya untuk mencapai tangga nasional. Banyak penulis-penulis yang sukses di Haluan akhirnya sukses juga berkiprah di tingkat nasional,” ujar pria yang saat ini telah menginjak usia 85 tahun itu.
Ia menyebut, di Haluan, penyaringan tulisan yang masuk ke redaksi untuk Rubrik Kebudayaan sangat ketat. Selain itu, setelah mengedit tulisan, Papa Rusli juga langsung mengirim kritik kepada pemilik tulisan. Dengan begini, diharapkan penulis bersangkutan dapat terus berkembang.
Di samping itu, dari 2000-2007, ia juga sempat diminta mengisi rubrik berbahasa Minang berjudul Parewa Sato Sakaki. Rubrik itu belakangan kembali diterbitkan dalam bentuk buku. Parewa Sato Sakaki memuat tulisan atau cerita yang menggambarkan kehidupan di Sumatera Barat saat itu, yang sesekali diselipi kritik sosial.
“Sebenarnya, rubrik berbasa Minang bukanlah hal yang baru di Haluan. Sebelum PRRI juga pernah ada rubrik berbahasa Minang berjudul Si Jibun dan Si Piak,” ucapnya.
Melalui satra dan budaya, kualitas pemberitaan yang tinggi, serta berbagai inovasi lainnya, Haluan perlahan-lahan kembali merajai pers Sumatera Barat. Periode 1970-an dan 1980-an bahkan disebut-sebut sebagai puncak dari masa keemasan Haluan. Tercatat, pada 1975, oplah Haluan berhasil menembus 30 ribu eksemplar. Jumlah yang di tahun-tahun kemudian terbukti hampir mustahir kembali dicapai.
Namun, di balik hegemoni Haluan sebagai surat kabar terbesar di era 1970-dan dan 1980-an, muncul pertanyaan besar. Apa sesungguhnya yang melatarbelakangi kesuksesan Haluan di era tersebut. Apakah hanya semata-mata karena kualitas isi pemberitaan dan tampilan yang diusung Haluan, ataukah ada faktor-faktor lain yang justru luput dari perhatian?
Gusti Asnan mengatakan, kesuksesan Haluan tidak dapat dilepaskan dari orang-orang yang berada di belakangnya. Haluan di era 70-an hingga 80-an digawangi oleh wartawan dan penulis-penulis besar, yang sebagian besar merupakan orang-orang yang sama di balik kesuksesan Haluan di era 1950-an. Sebut saja, Kasoema, Rivai Marlaut, Annas Lubuk, Chairul Harun, Syafri Segeh, S. Dt. Tuo, Leon Agusta, Rusli Marzuki Saria, M. Yoesfik Helmy, dan seterusnya.
Wartawan senior Yurnaldi Paduka Raja melihat, selain faktor tangan dingin Kasoema, kejayaan Haluan juga tak lepas dari kualitas berita yang disajikan, di mana informasi yang sampai ke tangan pembaca merupakan produk berita yang memang mewakili suara masyarakat, dan disajikan secara mendalam.
“Bisa dikatakan, ketika itu, informasi yang disampaikan Haluan adalah berita-berita yang selalu membumi,” katanya.
Menurut Yurnaldi, ketika dirinya masih aktif sebagai wartawan di lapangan, ia ingat betul bagaimana cara tim Haluan menyajikan informasi ke tengah masyarakat. Sebagai contoh, Sumbar adalah daerah bencana, tiap sebentar masyarakat merasakan bencana itu datang dan membawa kerusakan yang tak sedikit. Menurutnya, dalam menyajikan berita tentang bencana ini, Haluan tidak hanya mengupasnya satu atau dua kali. Namun tim Haluan selalu mengawal berita tersebut sampai tuntas dan mendapat solusi dari pemerintah.
Kemudian, faktor lain yang menghantarkan Haluan ke tangga kesuksesan, yang jelas tidak dapat diabaikan adalah kedekatan Haluan dengan pembacanya. Kedekatan inilah yang terus dijaga dan dipupuk oleh Haluan selama bertahun-tahun. Bahkan saking dekatnya pembaca, imej Haluan sebagai koran perjuanagan tidak pernah lekang.
“Saya ingat betul saat masih kecil, kakek dan etek saya berlangganan Haluan. Dari sanalah saya mengenal Haluan. Dan dari sana pula saya menangkap kesan bahwa bagi pembaca-pembaca lama ketika itu, Haluan masih dianggap sebagai koran yang sama dengan koran yang terbit di era 50-an, yakni koran perjuangan. Imej sebagai koran perjuangan itu begitu lekat di benak pembaca,” ujar Gusti Asnan.
Kedekatan Haluan dengan masyarakat dan pembaca, juga dirasakan Direktur Utama Bank Nagari Muhammad Irsyad. Ia mengungkapkan bahwa ketika masih kecil, ia tinggal di kompleks yang sama tempat kantor redaksi Haluan berlokasi.
“Saya ingat dulu sering main-main ke kantor Haluan. Dulu kan percetakan koran masih menggunakan timah. Jadi kalau ada kelebihan timah di Haluan, saya sering minta, untuk dibuat mainan,” ujarnya.
Sementara itu, Emeraldy Chatra mengenang Haluan sebagai koran yang dekat dengan sastrawan dan budayawan. Emeraldy yang juga produk hasil binaan Haluan tersebut mengaku sering menulis untuk Haluan.
“Ketika masih bersekolah dulu, saya sering menulis cerita bersambung untuk Haluan. Saya mulai menulis di Haluan itu sejak 1978, saat saya masih SMP,” ujarnya.
Tak hanya diberi ruang untuk menulis, sastrawan dan budayawan, terlebih generasi-generasi muda, juga dibina oleh Haluan. Emeraldy menuturkan, Rusli Marzuki Saria bahkan mendirikan forum khusus untuk membina sastrawan-sastrawan muda.
“Kami dulu ngumpulnya setiap hari Minggu di Taman Budaya Padang. Di bawah arahan Papa Rusli kami berdiskusi tentang banyak hal seputar sastra dan budaya,” ujarnya.
Kedekatan dengan Haluan tidak hanya diutarakan oleh para pembacanya, tetapi juga oleh mereka yang pernah bekerja untuk Haluan. Sekretaris Dewan (Sekwan) DPRD Sumbar Raflis, misalnya, sekitar tahun 1984, ketika baru diangkat sebagai ASN, pernah bekerja sampingan sebagai agen koran Haluan.
Lebih kurang lima tahun bertindak sebagai pendistribusi koran Haluan ke desa-desa di wilayah Kabupaten Pesisir Selatan, banyak pengalaman yang dialami Raflis, utamanya tentang bagaimana Haluan begitu ditunggu-tunggu oleh pembaca setianya.
“Masa saya jadi agen tersebut, pukul lima pagi Haluan sudah sampai di tempat saya. Meski masih pagi, sudah banyak pembaca setia yang menunggu. Kalau ada anggota saya yang terlambat menyampaikan ke pembaca, mereka akan agak marah sedikit, kok korannya telat datang,” ujarnya.
Sementara itu, mantan wartawan Haluan di era 70-an Yalvema Miaz mengenang Haluan sebagai media yang paling diminati. Biarpun di antara pesaing-pesaingnya seperti, Duta Masyarakat, Semangat, Aman Makmur, dan belakangan Singgalang, Haluan tetap menjadi surat kabar yang paling dicari dan dinanti.
Ia menceritakan, banyak kenangan yang tak terlupakan ketika masih bekerja di Haluan. Salah satunya, pernah ketika ia masih menjadi reporter lapangan, ada satu peristiwa yang sempat membuat jantungnya serasa mau copot. Saat itu, seorang wartawan Haluan di Bukittinggi menulis berita keberadaan warung kelambu di pasar saat Bulan Ramadan.
“Setelah berita itu tersebar, seorang oknum aparat mencak-mencak mencari saya di kantor. Persis ketika bertemu, dia mencabut revolvernya. Dengan nada mengancam sambil memegang koran Haluan ia bertanya kenapa saya menulis berita itu. Rupanya yang berdagang siang hari bulan puasa itu adalah istrinya. Saya di tengah suasana kalut itu sempat juga menjawab, kalau berani silakan tembak. Setelah berdebat sengit dia pergi dengan tetap memberikan ancaman,” tuturnya.
Ia tidak kehilangan akal dan langsung menelpon komandannya, lalu memberitahu siapa oknum yang datang tersebut. Keesokan harinya, Yalvema ditelepon oleh sang komandan yang menyuruhnya datang ke kantor. Tidak lama setelah ia dan komandan itu bertemu, tiba-tiba datang oknum yang bersangkutan.
Begitu oknum tersebut masuk sang komandan tanpa basa basi langsung memberikan pukulan keras kepadanya. Kemudian sang komandan menyuruhnya minta maaf kepada Yalvema, “Akhirnya, oknum itu lama-lama menjadi sahabat baik saya,” ucapnya.
Namun, di balik semua cerita sukses tersebut, tak ada yang bisa menyangkal fakta bahwa roda berputar dan kejayaan tidak akan bertahan selamanya. Haluan, pada akhirnya, “dipaksa” turun dari puncak hegemoni tempatnya bertengger selama hampir tiga dekade.
Mantan Pemred Haluan, Syahrial Syam dalam sesi wawancara beberapa tahun lalu menyebutkan, masa-masa jaya Haluan hanya dirasakan hingga akhir 1990-an. Sejak adanya kebebasan pers, kata Syahrial, orang-orang bisa membuat koran tanpa izin, sehingga bermunculan koran-koran lain di Sumbar. Sejak saat itu, tujuan koran pun mulai berubah. Haluan, dengan prinsip idealisme yang tinggi, lama-lama mengalami penurunan.
Ditambah lagi, Anas Lubuk yang saat itu menjadi Pemred Haluan meninggal dunia dan digantikan oleh menantunya Azulis Habib. Sejak saat itu, kepemimpinan mulai melemah dan jumlah oplah turun hingga 3.000-4.000 eksemplar.
Namun, ia mengingat bagaimana pada masa-masa sulit pun, pemimpin Haluan H. Kasoema, tetap memedulikan kesejahteraan karyawan. Hak karyawan pun tetap tertunaikan di ujung-ujung masa kedigdayaan.
“Kami cukup bangga tidak mengikuti arus dan tetap menjaga idealisme. Sampai sekarang pun, idealisme itu masih ada. Berpihak ke rakyat, dan mengoreksi pemerintah, seperti itulah Haluan seharusnya,” ucapnya.
–fase3–
Bangkit dan Menyongsong Perubahan (2010-Sekarang)
Tepat 1 Oktober 2010, Harian Haluan resmi berganti nahkoda. Dari semula berada di bawah naungan keluarga H. Kasoema, menjadi sepenuhnya berada dalam kepemilikan Basko Group yang dipimpin oleh H. Basrizal Koto. Berganti kepemilikan hanya sebuah istilah. Ada misi yang lebih penting di balik semua itu; menyelamatkan Harian Haluan dari kehilangan sejarah dan nama besarnya.
Adalah Wartawan Senior Hasril Chaniago (HC) yang menjadi salah satu aktor di balik proses pengambilalihan Harian Haluan. Datang sebagai pihak yang mewakili H. Basrizal Koto, ia paham betul dengan misi yang diemban; menyelamatkan Haluan yang saat itu tengah oleng dibuai gelombang, terhuyung kesana-kemari mencari kepastian pelayaran. Sebab, jika perusahaan media ibarat kapal, pelayaran tentu tak menghendaki pelabuhan.
“Saat itu tidak sedikit pihak-pihak dari luar yang juga tertarik mengambil alih Haluan, tetapi saya berpikir, akan amat disayangkan jika Haluan harus jatuh ke tangan orang yang tidak mengerti sejarah dan peran Haluan di tengah masyarakat Minangkabau dan Sumatra Barat,” ujar HC kepada Haluan.
Harian Haluan, kata HC, sejak pertama kali terbit pada 1948, telah identik dengan masyarakat Minangkabau. Oleh karena itu, sudah sewajarnya Haluan beralih nahkoda ke orang Minangkabau yang dinilai paham dengan sejarah panjang Haluan.
H. Basrizal Koto yang sangat menghargai sejarah serta perjuangan H. Kasoema dalam merintis dan membesarkan Haluan, dinilai Hasril sebagai pihak yang tepat untuk menjadi orang tua baru bagi surat kabar yang telah berusia 70 tahun itu.
“Demi menjaga identitas Haluan, Basko berkomitmen tetap mencantumkan nama H. Kasoema sebagai pendirinya. Hal ini menunjukkan motif pengambilalihan oleh Basko Group tidak semata-mata demi kepentingan bisnis, melainkan untuk menjaga kelangsungan Haluan sebagai koran bersejarah,” ucap wartawan yang pernah meliput Perang Bosnia-Herzegovina itu.
Sebagai Konsultan Pengembangan Media Haluan Media Group dan Ketua Dewan Redaksi selama kurun waktu 2010-2012, HC mengaku tidak menemui kesulitan apa pun saat proses pengambilalihan dan revitalisasi Haluan dilakukan. Tentu saja karena setiap tahapan proses tersebut dilalui dengan jalan kekeluargaan.
“Keluarga H. Kasoema telah memercayakan Harian Haluan ke tangan Basko Group. Sekarang menjadi tantangan bagi Basko Media Group dan segenap pengelola Haluan untuk menjaga amanah tersebut,” ujar HC lagi.
Di sisi lain, Syahrial Syam selaku keluarga H. Kasoema menyebutkan, saat kondisi perusahaan mulai pailit, hampir 75 persen biaya digunakan H. Kasoema untuk membayar pesangon para karyawan. Demi keberlanjutan Haluan, pihak keluarga sepakat menyerahkan kepemimpinan kepada pihak Basko.
“Bagi kami, Haluan adalah jiwa keluarga kami. Walau bukan pemiliknya lagi, Haluan tetap bagian dari keluarga kami. Kami pernah besar di Haluan, kami pernah berjaya di Haluan, dan kami tak ingin koran ini mati,” ujar Syahrial.
Grand Launching Haluan Media Group (HMG) pun berlangsung di Best Western Premier Basko Hotel, Padang, Senin (14/2/2010) malam yang berjalan sukses dan sangat meriah. Tiga gubernur di Sumatera pun memberikan apresiasi besar terhadap HMG dan mendorong koran tertua di Sumbar ini terbit di Jakarta atau menasional.
Dalam kesempatan itu, pemilik Basko Group, H. Basrizal Koto mengatakan, Grand Launching HMG adalah sebentuk komitmennya untuk mengembangkan dan membesarkan Haluan. Semua unit usaha di bidang media, dipisahkan dari unit usaha atau bisnis lain. Seluruh unit usaha di bidang media kemudian dijadikan satu, dengan holding company Haluan Media Group.
“Haluan merupakan koran idola saya sejak kecil. Adanya keikhlasan dari keluarga pendiri, untuk menyerahkan Haluan merupakan anugerah besar bagi saya. Makanya tidak heran, ketika ada tawaran, langsung saya ambil,” katanya.
Hari ini, Haluan melalui HMG telah banyak berkembang. Haluan telah melebarkan sayap dan menjadi media multi-platform. Haluan juga aktif di berbagai ranah media sosial, seperti Facebook, Twitter, dan Instagram.
Setelah sukses meluncurkan media daring, harianhaluan.com dan Haluan TV, baru-baru ini Haluan juga kembali meluncurkan media daring yang diberi nama, hantaran.co.
–fase4–
Layar Terkembang di Era Digital
Kemajuan teknologi informasi yang amat pesat dalam dua dekade terakhir ikut memberikan dampak besar bagi dinamika pers dunia. Kemunculan media-media dalam jaringan (daring) menyusul perkembangan teknologi tersebut perlahan mulai menggeser posisi media cetak yang pada millenium sebelumnya begitu mendominasi.
Fenomena ini tak hanya terjadi di Indonesia, melainkan juga melanda seluruh dunia. Di Indonesia, turbulensi yang mengguncang media cetak ini mulai terasa dekat dan nyata ketika salah satu tabloid olahraga yang teah lama melegenda, Tabloid Bola tutup usia pada 2018 lalu.
Kemunculan media-media daring yang seperti jamur di musim hujan juga terjadi di Sumbar. Dalam beberapa tahun terakhir setidaknya ada ratusan media daring yang muncul di Sumbar.
“Saat ini, jumlah media daring di Sumbar yang telah terverifikasi ada sekitar 39 media. Akan tetapi, di luar itu, yang belum terdaftar mungkin jumlahnnya sudah ratusan,” kata Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika (Diskominfo) Sumbar, Jasman Rizal kepada Haluan, Selasa (29/9).
Di sisi lain, media cetak mulai kehabisan nafas. Di Sumbar sendiri hanya tersisa sekitar enam media cetak harian yang masih eksis. Keenamnya adalah Haluan, Singgalang, Padang Ekspres, Posmetro, Rakyat Sumbar, dan Khazanah.
Biarpun demikian, menurut Jasman, keberadaan media cetak belum akan tergantikan oleh media daring. Paling tidak, hingga beberapa tahun ke depan. Alasannya, media cetak dan media daring punya segmen pangsa pasar yang berbeda.
“Ditambah lagi, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap media cetak masih tinggi. Orang masih lebih percaya dengan berita yang disajikan oleh media cetak ketimbang media daring. Terlebih saat ini ketika media daring banyakyang terjebak hoaks,” katanya.
Hal senada juga disampaikan Pakar Komunkasi Universitas Islam Negeri (UIN) Imam Bonjol Padang, Abdullah Khusairi. Menurutnya, tipikal media daring yang berpacu dengan kecepatan memiliki kelemahan dalam keakuratan pemberitaan. Oleh karena itu, media cetak yang selama ini dikenal sebagai media yang memproduksi berita faktual dan jernih mesti mempertahankan keunggulan tersebut.
“Koran juga dapat membangun kembali kekuatan itu agar lebih kuat dengan cara, secara teknis jangan pernah membuat berita yang bersumber dari media sosial dan jangan mereproduksi berita dari media daring. Hal ini sebagai bukti kepada publik bahwa awak media cetak benar-benar menggali, mengolah, mencari, membuat, menyiarkan, menuliskan dan menyebarkan berita untuk menghadirkan sebuah informasi kepada publik. Ini merupakan wujud upaya untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat kepada koran,” tuturnya.
Media cetak seperti Haluan, ucap Khusairi, tidak dibenarkan untuk mengekor. Media cetak mesti menjadi kepala atau pelopor. Artinya, media cetak tidak berkiblat kepada pemberitaan atau mengolah informasi dari media daring. Fakta pada hari ini, wartawan media cetak terlalu mudah dalam memproduksi sebuah berita.
“Kemudahan akan membuat kemurahan. Akan berbeda hasilnya ketika wartawan media cetak betul-betul mendalami sebuah persoalan untuk kemudian disebarkan. Usahakan untuk tidak mengekor, karena awak media cetak hendaknya menjadi kepala. Saya pikir itu dulu yang dikerjakan oleh pendahulu kita di media cetak,” ujarnya.
Sementara itu, Pakar Komunikasi Unand, Emeraldy Chatra melihat persoalannya justru jauh lebih mendasar. Ia berpendapat, media cetak masa ini seolah telah kehilangan idealisme, dan hanya terpaku pada aspek-aspek komersil. Media cetak, katanya, bahkan sudah tidak lagi kenal dengan pembacanya.
“Haluan, misalnya, dulu dikenal sebagai koran perjuangan. Di era 50-an, Haluan berjuang di ranah politik. Sedangkan di era 70-an dan 80-an Haluan berjuang di ranah sastra dan budaya. Sekarang, coba, apa yang diperjuangkan Haluan?” tuturnya.
Menurutnya, media cetak tidak akan bisa melawan gempuran media daring secara face to face. Bagaimanapun, banyak keunggulan media daring yang tidak dapat disaingi media cetak.
Ia mengatakan, media cetak, khususnya Haluan, mestinya kembali ke jati diri dan idealismenya yang di masa lalu begitu dipegang teguh. Haluan harus bisa kembali dekat dan merangkul pembacanya, seperti yang dilakukannya bertahun-tahun yang lalu.
“Haluan dengan sejarahnya yang panjang harusnya yang paling mengerti tentang hal ini. Jangan hanya terpaku pada aspek-aspek komersil dan mengabaikan suara masyarakat. Masih banyak kok suara masyarakat yang tidak terwakili oleh media daring. Kalau itu bisa dimanfaatkan, niscaya media cetak tidak akan pernah kehilangan pembaca,” tuturnya. (*)
Naskah : Hamdani Syafri, Riga Firdaus Asril, Rahma Winda, Leni Marlina dkk
Foto : Irham Kurniawan, Tio Furqan, Haluan.dok