PADANG, hantaran.co – Koalisi penyelamatan hutan masa depan Mentawai menggelar aksi Pekan Masijago Mentawai yang bertujuan untuk melindungi ruang hidup dan kelola masyarakat Mentawai.
Koalisi penyelamatan hutan melakukan hearing dengan Gubernur Sumbar pada Kamis (10/2) yang dihadiri oleh Kepala Dinas Kehutanan Sumbar, Kabid Kewaspadaan Kesabangpol Sumbar, Kepala Administrasi Pembangung Sumbar, Kasatpol PP Sumbar dan segenap jajaran Pemprov Sumbar.
Dalam pertemuan itu, Ketua Koalisi Eko Zebua menyampaikan, beberapa permasalahan penting dalam hearing kali ini, di antaranya permasalahan PKKNK Koperasi Minyak Atsiri di Silabu seluas 1.500 Ha dan rencana izin PBPH seluas 44.000 Ha yang di ajukan oleh PT. Bumi Alam Sikerei (PT. BAS).
Perwakilan Koalisi, Indira Suryani, menyampaikan aduan terkait dugaan perusakan koral di Pantai Silabu dengan menggunakan alat berat ekskavator yang diduga dilakukan oleh Koperasi Minyak Atsiri yang telah mendapatkan izin PKKNK di Silabu.
Kemudian, foto dan video di perlihatkan di depan jajaran pemerintahan Gubernur Sumbar terkait kondisi dugaan perusakan koral dengan menggunakan alat berat.
Selain itu, koalisi juga menyampaikan adanya potensi konflik horizontal pasca dikeluarkannya izin PKKNK yang didapatkan oleh Koperasi Minyak Atsiri. Atas situasi ini, koalisi mendesak dihentikan aktivitas PKKNK di Silabu sebagaimana juga ditegaskan oleh Komisi I DPRD Sumbar saat audiensi beberapa minggu lalu.
“Kami mendesak Gubernur segera memproses pengaduan dugaan perusakan koral dan pertanggungjawaban secara hukum terhadap pelaku pengrusakan,” katanya.
Selain itu, koalisi juga mendesak Gubernur Sumbar untuk memperjuangkan lahan 44.000 Ha hutan produksi di Pulau Siberut untuk hutan adat masyarakat adat mentawai. Sebagaimana Pasal 16 ayat (4) huruf e Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021 tentang Penyelengaraan Kehutanan yang berbunyi ‘Menteri memprioritaskan percepatan Pengukuhan, Kawasan Hutan pada daerah strategis meliputi: Hutan Adat’.
“Sudah kita lihat ruang hidup di Pulau Siberut Mentawai tidak adil, sebanyak 190.500 Ha telah ditunjuk sebagai Taman Nasional Siberut, sebanyak +/- 68.000 Ha hutan produksi untuk perusahaan yang terdiri dari PT. SSS dan PT BAE. Hanya 44.000 ribu hutan produksi di Siberut yang seharusnya untuk masyarakat adat tetapi berdasarkan zonasi yang ditetapkan KLHK jumlah luasan tersebut dibagi lagi 26.000 Ha untuk usaha pemanfaatan hutan dan 22.000 Ha untuk pemberdayaan masyarakat,” katanya.
Koalisi mendesak hutan produksi 44.000 Ha diberikan saja untuk masyarakat adat guna penetapan hutan adat bagi masyarakat di Pulau Siberut Kepulauan Mentawai.
Saat ini pun masyarakat adat bersama Yayasan Citra Mandiri Mentawai (YCMM) telah mengajukan penetapan hutan adat di Kepulauan Siberut sebanyak 7.265,05 Ha dan 20.680,22 Ha sedang proses penetapan masyarakat hukum adat karena berdasarkan overlay peta yang dilakukan ternyata di temukan juga tumpang tindih antara luasan hutan adat yang sedang diajukan dengan luasan lahan yang diajukan perusahaan untuk rencana izin.
Menurutnya, hal ini dikarenakan luasan memang sudah tidak imbang antara luas lahan konsesi perusahaan dengan lahan untuk dikelola masyarakat mentawai.
“Saatnya Gubernur Mahyeldi berjuang dengan koalisi untuk melindungi ruang hidup dan kelola masyarakat adat Mentawai,” ucapnya.
(Fardi/Hantaran.co)
Komentar