JAKARTA, hantaran.co – Uang kuliah tunggal (UKT) di perguruan tinggi dinilai harus ditinjau ulang karena sangat memberatkan banyak mahasiswa. Mahalnya biaya UKT tersebut merupakan dampak dari berlakunya perguruan tinggi negeri berbadan hukum (PTN BH), yang membuat terjadinya tren komersialisasi di perguruan tinggi.
Anggota Komisi X DPR RI, Lisda Hendrajoni berpendapat bahwa pada prinsipnya biaya kuliah jangan sampai menjadi penghambat generasi muda untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat perguruan tinggi atau kuliah.
“Iya, skema ini cukup santer belakangan tentang kenaikan UKT di sejumlah PTN. Namun demikian, pada prinsipnya biaya kuliah tidak boleh menghambat generasi muda Indonesia yang ingin melanjutkan kuliah. Mereka harus diberi akses,” ujar Lisda, Jumat (10/5).
Politisi asal Sumatera Barat (Sumbar) ini menyebut, persoalan keuangan yang muncul di PTN tidak harus diselesaikan dengan cara menaikkan UKT.
“Kami sependapat dengan Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Cecep Darmawan, yang mengingatkan PTN BH tak boleh memanfaatkan status untuk menaikkan UKT demi menambah pendanaan. Idealnya, harus dicari dengan usaha mandiri dulu, menaikkan UKT itu adalah opsi terakhir,” katanya.
Menurut Lisda, PTN harus lebih kreatif mencari dana dari usaha mandiri. Ia menjelaskan, banyak hal yang dapat dilakukan pihak kampus untuk memecahkan solusi keuangan, misalnya mengadakan proyek penelitian bekerja sama dengan pihak swasta, atau menerbitkan penelitian/skripsi para mahasiswa yang dianggap bermutu dan mengalih bahasakan dengan bahasa yang lebih populer agar komunikatif, menjadi buku dan dijual ke publik.
“Sebetulnya banyak solusi lain, sehingga tidak memberatkan mahasiswa. Patut diingat, jangan sampai PTN menjadi lembaga komersial dan menjadikan mahasiswa sebagai konsumen atau pasar sehingga menjadikan PTN semakin jauh dari jangkauan masyarakat kebanyakan,” ucap Lisda mengingatkan.
Komentar