Meski demikian, mantan peneliti utama Balitbangtan Kementerian Pertanian itu mengimbau, agar petani menyertakan pemanfaatan jerami, atau memberi pupuk KCL (kalium klorida) atau pupuk K.
“Umumnya di Sumbar, jerami masih dibakar. Penggunaan pupuk K minim mungkin karena mahal. Padahal, kalau tidak pakai pupuk K, jaringan tanaman akan lemah dan berakibat rentan diserang penyakit. Padi mudah rontok. Hasil penetilian saya, 12 persen pascapanen itu banyak yang rontok,” ujarnya lagi.
Ia menjelaskan, untuk jerami yang dibakar, banyak petani yang tidak memberi pupuk kandang dan pupuk K. Akibatnya, fisik tanah menjadi kurang bagus. Sehingga, dalam sepekan sawah menjadi kering dan retak-retak.
“Di Solok ini sudah mulai dilakukan. Ke depan kami anjurkan agar jerami jangan dibakar. Atau kalau mau, bisa pakai metode lama, yakni menimbun jerami di satu titik hingga menjadi hancur. Zaman saya masih sekolah rakyat, jerami dikumpul ke sudut sawah hingga muncul jamur dan jerami jadi hancur. Jerami yang hancur dimasukkan ke sawah, kemudian diganti lagi dengan yang lain. Jadi, ada siklus yang membuat bahan organiknya tetap ada,” tuturnya.
Benih dan Label Beras Solok
Terkait pemurnian Beras Solok, Syahrul Zen juga menjelaskan bahwa varietas yang bisa dikembangkan pada tingkat petani yang legal harus melakui proses tertentu. Salah satu varietasnya adalah Anak Daro. Namun, ini mesti didukung oleh instansi terkait, dan harus melalui sidang pelepasan varietas oleh Perlindungan Varietas Tanaman (PVT).
“Jika varietas sudah lepas, maka perlu pemulia. Nah pemulia ini yang berkompeten mengawasi benih, terutama Benih Sumber (BS). BS itu memiliki label kuning, yang artinya dihasilkan pemulia,” katanya.
Komentar