PADANG,hantaran.co–Bunyian gamelan disambut dengingnya dawai biola. Diiring petikan gitar dan selo. Tak lupa ketipak ketipuk bunyian gendang. Instrumen alat musik tradisional dan modern itu berpadu menjadi sebuah irama yang indah.
Bagi pendengarnya bisa merasakan gembira, ada juga yang sedih tergantung suasana hati. Musik ini dinamakan Gambang.
Kesenian Gambang merupakan seni musik tradisi yang berasal dari Kota Padang, Sumatra Barat. Kesenian ini menjadi pelipur lara bagi masyarakat etnis Tionghoa yang telah menetap lama di sudut kota tepatnya di Kampung Pondok.
Menurut cerita yang dituturkan oleh salah satu pelaku seni musik Gambang, Bakhtiar (67),bahwa kesenian Gambang ini muncul dan berawal dari Batavia (sekarang Jakarta).
Di sana, mereka menyebutnya dengan musik Gambang Kromong. Paduan alat musik gambang dan kromong yang hadir dari sebuah pembaharuan dan pengembangan oleh masyarakat Tionghoa yang tinggal di sekitaran daerah Benteng bersama masyarakat suku Betawi.
Alat musik gamelan, gendang (dari Betawi), sukong, tehyan, kongahyan, dan yang lainnya (dari Tionghoa) dipadukan untuk mewarnai sebuah seni musik kolaborasi yang disebutnya kesenian musik Gambang Kromong yang kemudian menjadi cikal bakal kesenian musik Gambang di Kota Padang.
“Lambat laun musik Gambang Kromong itu mulai menyebar, umumnya di sekitaran Jakarta. Pada tahun 1930-an musik Gambang Kromong juga menyambangi Kota Padang. Dari situlah para pendahulu kami mulai meminati seni musik ini dan diteruskannya pula. Kemudian musik ini selanjutnya kami sebut dengan kesenian musik Gambang, dan terus berlanjut ke angkatan saya yang merupakan generasi ke-3 dari pewaris musik Gambang di Kota Padang ini,” katanya.
Selanjutnya seni musik Gambang juga terjadi pembaharuan. Jika seni musik Gambang Kromong banyak terdapat instrumen alat musik tradisional Tionghoa dan Betawi, sebaliknya seni musik Gambang di Kota Padang telah mentransisikan alat musik tradisionalnya (gamelan, gendang, sukong, tehyan) dengan alat musik modern (biola, gitar, selo).
Meski seni musik Gambang di Kota Padang telah memiliki ciri khasnya tersendiri, tapi secara bentuk alat musiknya tetaplah sama. Gambang yang terbuat dari kayu khusus yang didatangkan dari Cina yang terdiri dari 18 kepingan kayu berukuran panjang dan pendek (memiliki tingkatan nada; nada pentatonik Cina) itu, tetaplah menjadi alat musik dasar yang wajib ada dalam kesenian musik Gambang. Selebihnya barulah terjadi pengembangan dengan penambahan alat musik modern.
Dalam penggunaannya, seni musik Gambang dapat ditemui pada saat upacara-upacara tertentu, seperti perayaan Tahun Baru Imlek dan perayaan Cap Go Meh. Lalu juga dapat didengar pada pelaksanaan ibadah khusus Tionghoa, pernikahan, dan juga kematian. Seni musik Gambang sendiri dimainkan secara berkelompok sekitar 10 orang atau lebih pemain (termasuk penyanyi dan penari) dengan membawakan berbagai macam nyanyian wajib dan populer.
“Sifatnya hanya sebatas hiburan, tidak ada hal-hal yang berkaitan dengan unsur kepercayaan tertentu. Bahkan dari sifatnya yang sebagai hiburan itu, seni musik Gambang ini juga dapat hadir untuk memeriahkan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia. Varian musik dan lagu yang dimainkan juga akan berbeda-beda tergantung situasi dan kondisi kegiatan yang dilaksanakan,” tutur lelaki dari Himpunan Tjinta Teman (HTT) Kota Padang itu.
Semisalnya di upacara kematian, seni musik Gambang akan hadir dengan pembawaan lagu dengan suasana sedih dan haru yang akan mengisahkan bagaimana keluarga yang ditinggalkan harus tabah dan sabar menerima musibah kematian.
Sebaliknya pada upacara pernikahan, musik Gambang hadir dengan pembawaan lagu gembira yang mengisahkan perjalanan seorang anak yang akan menikah dan segala nasihat-nasihatnya.
Lalu juga ada nuansa suka cita dan segenap harapan yang dimainkan pada saat perayaan besar (Tahun Baru Imlek, Cap Go Meh, Hari Kemerdekaan Republik Indonesia, dan lain-lain).
Intinya dari lagu yang dimainkan, alunan musiknya menjadi pemantik terhadap suatu suasana yang akan mengantarkan penikmat kepada pesan-pesan moral dan nasihat yang terkandung di dalam lagu yang dikomunikasikan oleh alunan musik dari kesenian Gambang tersebut.
Interaksi dan Interpretasi: Kolektivitas
Dalam perkembangannya, seni musik Gambang tidak hanya menjadi sarana untuk menghibur para penikmatnya saja. Kesenian Gambang yang berfungsi sebagai jembatan interaksi, nyatanya benar-benar mampu menyambung keterikatan dengan penikmatnya, terlebih kesenian Gambang hadir untuk menginteraksikan suatu gambaran suasana yang tengah terjadi kepada penikmatnya itu.
Dari interaksi itu pula, muncullah rasa untuk memilikinya. Irama dan lagunya mampu memikat penikmatnya itu untuk dapat mendalami atau berinteraksi lebih dalam akan rasa dan perasaannya dengan alunan musik Gambang.
Sehingga dari interaksi itu timbullah keinginan si penikmat untuk bisa menginterpretasikan kembali alunan musik Gambang itu sendiri dengan melibatkan dirinya dengan kesenian musik Gambang tersebut.
Jelasnya lagi, kesenian Gambang juga tidak hanya menjadi ruang interaksi dan kemudian diinterpretasikan saja. Lebih dari itu, konsep dari keduanya (interaksi dan interpretasi) itu pada akhirnya juga melahirkan sebuah nilai kebersamaan, bahkan kebersamaan itu begitu dalam.
Kata Bakhtiar melanjutkan, konsep kebersamaan yang mendalam itu diartikannya bahwa seni musik Gambang tidaklah sebuah seni musik tradisi yang hanya dikhususkan kepemilikannya kepada masyarakat Tionghoa saja.
Namun, lebih jauhnya lagi seni musik Gambang telah menjadi milik bersama. Sejarah kesenian Gambang itu hanyalah tuaian kalimat-kalimat yang dilisankan maupun dituliskan sebagai penjawab suatu pertanyaan terkait.
Secara hakikatnya, seni musik Gambang telah menjadi salah satu warisan budaya Sumatra Barat, di mana seni musik Gambang itu telah menjadi milik dan tanggung jawab bersama pula.
Gambaran dari kebersamaan itu terlihat jelas. Kini kesenian Gambang tidak lagi dimainkan oleh pelaku seni yang berketurunan etnis Tionghoa saja.
Sekarang ini seni musik Gambang juga telah melibatkan orang-orang dari berbagai suku, agama, dan bahkan kalangan. Apalagi di sekitaran Kampung Pondok itu juga didiami oleh masyarakat dari berbagai etnis, dan juga sering disinggahi para pelancong dari dalam dan luar daerah untuk sekadar berwisata menikmati indahnya kota tua nan bersejarah.
Sehingga faktor itu juga menjadi salah satu yang menyebabkan potensi untuk bersama itu semakin kuat. Pemainnya ada yang dari suku Minangkabau, dari orang Nias, dari orang India Keling, dan dari suku dan agama lainnya. Kesenian Gambang benar-benar menjadi ruang interaksi, yang kemudian dari interaksi itu melahirkan kebersamaan sebagai wujud penting nilai kolektivitas yang dihasilkan.
“Dari kesenian musik Gambang ini, kita melihat pemandangan yang begitu indah. Perbedaan suku dan agama menguatkan rasa kita untuk saling menghargai dan mencintai. Sebagai musik yang komunikatif, kesenian musik Gambang mampu menyatukan perbedaan itu menjadi satu rasa yang sama, yakni rasa untuk saling mencintai,” ujar Bakhtiar dengan bangganya.
(Ijum/Hantaran.co)