JAKARTA, hantaran.co – Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) menolak kenaikan pungutan dana sawit. Sekjen SPKS Mansuetus Darto menyebut, keputusan pemerintah untuk mengatasi masalah kelangkaan minyak goreng dengan menaikkan pungutan dana sawit adalah kekeliruan yang terus berulang-ulang.
Menurutnya, sudah banyak petani yang bersuara akibat harga tandan buah sawit (TBS) tergerus akibat pungutan tersebut. Bahkan, persoalan kelangkaan minyak goreng pun, petani sawit jadi korban.
Ia menuturkan, masalah itu dapat di atasi jika program B30 dikurangi menjadi B20. Penurunan tersebut, kata dia, adalah solusi untuk masalah bahan baku, karena bahan baku habis disedot untuk program biodiesel.
Selain itu, program peremajaan sawit harus dimudahkan agar peningkatan produktivitas petani lebih baik. Ia menilai, selama ini program peremajaan sawit dianggap terlalu birokratis dan menyulitkan petani sawit untuk mengakses dana peremajaan sawit.
“Untuk mengatasi masalah kelangkaan minyak goreng ini, kami melihat ada strategi dibelakang layar oleh pelaku usaha besar untuk membuka lahan baru secara luas,” katanya pada wartawan di Jakarta, Senin (21/3).
Ia menjelaskan, alasan pungutan dana sawit merugikan petani karena harga CPO menjadi acuan penentu atau penghitungan harga TBS yang dilakukan dinas perkebunan di Indonesia.
Menurutnya, jika pungutan CPO tinggi, maka harga CPO yang menjadi acuan penentuan harga TBS petani tadi bakal rendah, sehingga mengakibatkan harga TBS ikut turun.
“Dengan kenaikan pungutan dana sawit terbaru melalui PMK 23/PMK.05/2022 tersebut, kami perkirakan pengurangan harga TBS di tingkat petani kelapa sawit sekitar Rp. 600-700/kg TBS,” ucapnya lagi.
Ia meminta agar pungutan dana sawit terbaru ini dibatalkan. Menurutnya, jika saat ini kebutuhan dana untuk subsidi biodiesel B30 sangat besar, maka langkah yang seharusnya diambil oleh pemerintah dengan menurunkan target program biodiesel yang saat ini B30 menjadi B20.
“Jika diturunkan menjadi B20, maka dana sawit akan surplus. Sehingga bahan baku tadi bisa digunakan untuk mengatasi masalah kelangkaan minyak goreng di Indonesia,” ujarnya.
Sementara itu, Ekonom Senior INDEF Faisal Basri mengatakan yang menjadi biang kerok adalah kebijakan dua harga. Untuk biodiesel pakai harga Internasional, sementara untuk minyak goreng memakai harga domestik.
“CPO disedot untuk biodiesel. Bahkan peningkatan pajak ekspor tidak akan mempan, sehingga menjadi senang memasok ke biodiesel. Akibatnya, ya petani lagi yang ditekan,” tuturnya.
Diketahui, dana yang tersisa di BPDPKS pungutan sejak 2015-2021 berjumlah sekitar Rp138 triliun. Angka tersebut masih bersisa sekitar Rp22 triliun. Artinya untuk kepentingan program yang berhubungan dengan petani sawit seperti program PSR masih tersedia anggarannya.
hantaran.co/rel
Komentar