Aminuzal Amin dilahirkan di Pagaruyung, 23 April 1938. Ia menghabiskan masa kecil hingga remaja di kampung halamannya. Setelah menamatkan SD dan SMP di Batusangkar, ia melanjutkan ke SMA Birugo (kini SMA Negeri 2) Bukittinggi hingga tamat tahun 1956.
Berbekal tekad dan semangat yang keras, ia merantau ke Jakarta. Mulanya ingin masuk Akademi Bea Cukai atau Akademi Imigrasi. Keduanya ditolak, akhirnya masuk Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Tanpa bekal dan kiriman uang dari orang tua, ia berjuang hidup sendiri. “Mulanya numpang dengan keluarga jauh, kemudian “hendekos” di Salemba supaya dekat tempat kuliah,” katanya.
Apa itu “hendekos”, bukannya indekos? “Hendekos artinya hemat dengan ongkos,” katanya tersenyum.
Sembari kuliah, ia menjadi sopir oplet di sekitar Salemba dan Kramat. “Malu ketemu teman sama kuliah, saya terpaksa menyamarkan wajah dengan menutupkan topi lebih rendah. Eh, akhirnya ketahuan juga,” katanya.
Ketika terjadi Pergolakan PRRI, Aminuzal muda disuruh ibunya pulang kampung. Waktu itu hampir seluruh orang Minang mendukung PRRI. Usai PRRI tahun 1961 ia balik ke Jakarta, hendak meneruskan kuliah. Tahunya, kampus waktu itu sudah dikuasai mahasiswqa CGMI yang terafiliasi dengan PKI. PKI jelas sangat memusuhi orang-orang bekas PRRI. Makanya ia sudah merasa tidak nyaman, lalu meninggalkan kuliahnya.
Beberapa lama terkatung-katung di Jakarta, Aminuzal ketemu dengan Hasyim Ning, pengusaha asal Minang yang dijuluki Raja Mobil Indonesia. Ia ditawari kerja di PT Tjahja Sakti, salah satu perusahaan Hasyim Ning yang mengageni mobil merek Morris asal Inggris. Tak lama bekerja di dealer Morris, terjadi Ganyang Malaysia, dan Morris menyetop ekspor mobil ke Indonesia.
Berhenti jadi karyawan, bakat dagang Aminuzal terpicu keadaan. Mulai tahun 1966 ia sering bepergian ke Singapura, Australia, atau Jepang. Di sana ia membeli mobil-mobil bekas yang hgarganya murah dan memasukkan ke Indonesia. Tapi tahun 1971 modalnya habis, karena ada mobil pesannya yang ditangkap Bea Cukai. Tapi tak sampai setahun ia terkompal-kampil, istilahnya, ia dapat lahan usaha lain. Kali ini jalannya lebih jauh, ke Eropa. Tujuannya membeli pakaian-pakaian bermerek dan mengisi butik-butik mewah yang sedang marak di Jakarta. Selain pakaian, ia juga berjualan jam Rolex dari Swiss.
Dalam pada itu, ia berkenalan dengan Mohede, Sekretaris Menteri Pertanian, dan bekerjasama menjalankan bisnis pupuk. Berpengalaman berjualan pupuk, ia kemudian mendirikan PT Sumber Lancar tahun 1975, dan menjalankan bisnis sendiri. Hubungannya dengan Mohede tidak putus, karena kemudian menjadi mertuanya. Aminuzal menikah dengan Tatan Mohede, gadis blasteran Ambon – Manado, putri Mohede.
Tahun 1979 Aminuzal bertemu kawan lamanya, Sudwikatmono, yang sudah menjadi pengusaha besar. Mereka pun mendirikan perusahaan perdagangan minyak bernama PT Terabo Oil yang kemudian berganti nama menjadi PT Mindo. PT Mindo inilah yang mulai tahun 1984 mendirikan perusahaan berafiliasi dengan Pertamina dengan nama PT Permindo Oil Trading. Pemegang saham termasuk putra Presiden Soeharto, Bambang Triharmodjo. Jadi, kalau tahun 1990-an itu banyak orang bertanya, apakah benar Datuk Amin dekat dengan keluarga Cendana? Jawabannya sudah jelas. Dia punya perusahaan bersama dengan anak Pak Harto. Di PT Permindo Datuk Amin menjabat Direktur Eksekutif alias yang menjalankan sehari-hari perusahaan yang kemudian masuk 200 perusahaan terbesar di Indonesia. Karna nama di perusahaan itu beliau berikan kepada saya ketika diterima di Regent Hotel Kualalumpur tahun 1991 itu.
Dengan posisinya sebagai petinggi perusahaan konglomerat besar, tak heran setiap pulang ke Sumatera Barat Datuk Amin selalu memakai pesawat khusus alias jet pribadi. Dalam memenuhi panggilan Gubernur Sumbar ikut membangun ekonomi Sumatera Barat, pada tahun 1992 Datuk Amin menggalang pengusaha besar asal Minang lainnya mendirikan PT Nagari Development Corporation (NDC). Di antara pemegang saham PT NDC, selain Aminuzal Amin adalah Abdul Latif, Fahmi Idris, Is Anwar, Basrizal Koto, dan Zairin Kasim. Di antara peran NDC waktu itu membantu 40 persen modal Bank Pembangunan Daerah Sumbar (kini Bank Nagari) ketika bank milik pemda ini perlu suntikan modal. Setelah Bank Nagari kuat, tahun 1997 PT NDC menarik modalnya kembali.
Selain memimpin PT Permindo Oil Trading, pada masa jayanya tahun 1990-an, Datuk Amin juga juga mempunyai usaha bersama Grup Bakrie. Antara lain, beliau pernah menjabat Komisaris PT Bank Nusa, milik Grup Bakrie. Tentu ada bisnis yang lain lagi.
Demikianlah, setiap orang ada masanya, dan setiap masa ada orangnya. Sebagai putra Minang, H. Aminuzal Amin Dt. Rajo Batuah telah m,emainkan perannya yang penting pada masanya. Setelah Reformasi 1998, beliau mulai menarik diri dari dunia bisnis. Tapi bagaimana pun, beliau sudah menapakkan jejaknya sebagai satu anak anak Minang yang sukses dalam berusaha.
Seiring usia, sejak sepuluh tahun lalu, kesehatan beliau makin menurun. Akhirnya, perjalanan sampai ke batas. Hari Jumat kemarin, Datuk Amin menghembuskan nafas yang terakhir, berpulang ke Rahmatullah, dalam usia 83 tahun. Selamat jalan Datuk Amin.*
Komentar