PADANG, hantaran.co — Kasus positif Covid-19 harian secara nasional melonjak signifikan sepanjang Januari 2021, yang bahkan memaksa pemerintah menerapkan pembatasan ketat khususnya di Jawa dan Bali. Sementara itu, di Sumbar terjadi kecenderungan penurunan kasus harian sejak awal 2021, jika dibandingkan dengan lonjakan kasus pada Oktober 2020 yang sempat jadi sorotan.
Penambahan positif harian Covid-19 nasional beberapa kali mencatatkan rekor bulan ini. Seperti pada 16 Januari dengan 14.224 kasus, yang sejauh ini tercatat sebagai rekor tertinggi. Setelah itu, hingga Minggu 24 Januari kasus harian baru hampir selalu di atas 10 ribu. Total hingga kini, jumlah kumulatif positif nasional mencapai 999.256, dengan tambahan 9.994 kasus baru pada Senin (25/1/2021).
Sementara itu di Sumbar, rekor positif harian tercatat pada 17 Oktober 2020 dengan 547 kasus, hasil dari pemeriksaan 4.042 sampel swab. Ada pun pada 14 Januari 2021, Sumbar mencatatkan rekor pemeriksaan swab sebanyuk 8.617 sampel, dengan jumlah positif 191. Saat ini, jumlah kumulatif kasus di Sumbar mencapai 26.473 kasus dengan rasio positif 7,46 persen, jauh lebih rendah ketimbang rasio positif nasional di angka 16,91 persen.
Juru Bicara Satgas Penanganan Covid-19 Sumbar, Jasman Rizal, menilai, Sumbar sudah berada di jalur yang tepat dalam pengendalian Covid-19, dan bahkan menjadi daerah percontohan bagi daerah-daerah lain di Indonesia. “Berdasarkan data dan fakta yang ada, Sumbar di jalur yang tepat,” kata Jasman kepada Haluan, Senin (25/1/2021).
Penilaian itu, didasari Jasman dari sikap konsisten Pemda dalam mengedukasi dan melakukan sosialisasi, pelacakan kontak kasus, pengujian sampel, dan penerapan Perda Nomor 6 Tahun 2020, yang membuat masyarakat lebih taat protokol kesehatan (prokes) dan menjadi faktor paling penting dibalik klaim keberhasilan Sumbar mengendalikan Covid-19.
“Sebab itu, hingga kini Sumbar masih menjadi daerah terbaik dalam penanganan. Tingkat kesembuhan pasien di atas 90 persen dan keterisian rumah sakit hanya di angka 30-35 persen,” katanya lagi.
Namun demikian, ia menegaskan bahwa pemerintah daerah di Sumbar tidak akan berhenti melakukan edukasi dan penindakan di semua lini. Selain itu, program vaksinasi bagi masyarakat juga diikuti sesuai arahan Presiden Jokowi untuk semakin menekan penularan.
Terkait pengendalian kasus di Sumbar, pendapat berbeda dikemukakan Ketua Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia Cabang Sumbar, Defriman Djafri. Ia menilai, hal yang perlu dilihat untuk mengukur terkendalinya kasus adalah dengan melihat data onset penularan virus. Sebab selama ini, Satgas dan Laboratorium hanya melaporkan pertambahan kasus secara reguler.
“Dari data onset itu, kita bisa lihat lebih dalam upaya pelacakan kasus di Sumbar. Bisa saja, banyaknya sampel yang diperiksa adalah sampel orang yang melakukan swab berkali-kali, seperti orang yang sering melakukan perjalanan. Secara epidemiologi, sampel yang diperiksa itu adalah hasil pelacakan dari kasus yang ditemukan,” kata Defriman kepada Haluan.
Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Andalas (FKM Unand) itu menilai, data onset tersebut penting dipublikasikan untuk mengetahui kondisi riil penanganan Covid-19 di Sumbar. Sebab, data tersebut menjadi bagian vital dalam pengendalian, sebelum melakukan pemetaan terhadap kasus yang ditemui.
“Sehingga masyarakat bisa tahu, kasus baru itu merupakan imported case atau transmisi lokal yang juga belum bisa ditangani. Lalu, berapa persen kasus yang ditemukan sekarang berkaitan dengan kasus atau klaster penularan sebelumnya,” katanya lagi.
Dari analisa yang ia lakukan sejak akhir tahun lalu, Defriman menilai terlalu dini jika Satgas Covid-19 Sumbar menyatakan Sumbar sudah berada dalam status terkendali dalam penanganan Covid-19. Sebab, ia melihat pertambahan kasus di Sumbar masih naik turun.
“Belum flat. Jadi, belum bisa dikatakan terkontrol dalam strategi pengendalian, keterbukaan informasi, dan data tadi itu menjadi kunci. Penguatan strategi 5 M, 3 T, dan vaksinasi harus bersamaan. Tidak bisa satu dikuatkan sementara yang lain dikendurkan. Seluruhnya mesti jalan beriringan,” ucapnya.
Sementara itu untuk penambahan kasus secara nasional yang terus meroket, Defriman menilai hal itu merupakan konsekuensi atas pembukaan mobilitas masyarakat beberapa waktu lalu. Selain itu, juga dibarengi oleh penerapan aturan yang sebetulnya tidak komprehensif.
“Contohnya kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) di Jawa dan Bali. Dalam penanganan pandemi, semestinya tidak boleh pembatasan hanya fokus di daerah tertentu saja,” kata Defriman lagi.
Selain itu, yang juga patut dipertanyakan adalah keseriusan masyarakat Jawa-Bali dalam menjalani prokes. Kata Defriman, mestinya pembatasan mobilitas dan kepatuhan masyarakat kepada prokes, akan berujung pada penurunan kasus. “Tapi, kenyataan yang bisa dilihat malah sebaliknya, Jawa-Bali kasus positif terus melonjak,” katanya menutup. (*)
Riga/hantaran.co