Sumbar Merespons SKB 3 Menteri

kabupaten solok libur sekolah

pelajar. Ist

PADANG, hantaran.co — Banyak kalangan di Sumbar menilai Surat Keputusan Bersama (SKB) Kementerian Pendidikan, Kementerian Agama, dan Kementerian Dalam Negeri tentang Penggunaan Pakaian Seragam dan Atribut di Lingkungan Sekolah sebagai kebijakan reaksioner dan berlebihan. Bahkan, juga dianggap terkesan mengenyampingkan tujuan pendidikan itu sendiri.

Ketua Mejelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Padang Duski Samad mengatakan, pemerintah pusat tampak terlalu reaksioner jika SKB tiga menteri diterbitkan untuk menjawab kisruh yang terjadi di SMK Negeri 2 Padang beberapa waktu lalu. Sebab menurutnya, perspektif hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) tak sepenuhnya bisa diterapkan ke dalam dunia pendidikan.

“Ibarat menembak burung pipit dengan meriam. Berlebihan jika ini karena kisruh SMK Negeri 2. Kami dari dunia pendidikan amat menyayangkan aturan ini. Sangat menciderai dunia pendidikan. Terlebih aturan tampak dibuat tergesa-gesa,” kata Duski kepada Haluan, Minggu (7/2).

Guru Besar Fakultas Tarbiyah (Kependidikan) UIN Imam Bonjol Padang itu mengingatkan, bahwa salah satu dari tujuan pendidikan adalah menciptakan generasi berkarakter, beriman, bertakwa, dan cerdas. Oleh sebab itu, dunia pendidikan turut mengatur reward serta punishment (penghargaan dan hukuman).

“Selain ada pelajar yang perlu diberi penghargaan, maka ada pula yang mesti diberi ketegasan agar tujuan dari pendidikan itu bisa tercapai. Di sini terlihat HAM sendiri tak sepenuhnya dipraktikkan dalam dunia pendidikan,” katanya lagi.

Duski menilai, dunia pendidikan tidak selayaknya melakukan pembiaran atau memberikan kebebasan kepada para pelajar, termasuk dalam hal berpakaian. Namun, jika diterapkan secara berlebihan sebagaimana SKB 3 Kementerian tersebut, maka ia khawatir pendidikan militer pun tak akan menjamin terciptanya prajurit yang kuat.

Hal senada disampaikan Anggota Komisi II DPR RI asal Sumbar Guspardi Gaus, yang ikut menyayangkan terbitnya SKB 3 menteri yang ia nilai telah salah kaprah. Terlebih menurutnya, masih banyak persoalan pendidikan yang lebih esensial untuk dicarikan solusinya, seperti pembelajaran daring yang masih berlangsung bagi sebagian pelajar di daerah terpencil dan tertinggal.

“Sampai sekarang masih banyak sekolah yang belum menyelenggarakan proses proses belajar mengajar (PBM) tatap muka. Mestinya, masalah-masalah seperti itu yang harus diprioritaskan untuk diselesaikan,” katanya kepada Haluan, Sabtu (6/2).

Menurut Guspardi, kebijakan yang diterbitkan secara bersama oleh Mendikbud, Menag, dan Mendagri atas landasan kisruh di SMKN 2 Padang tersebut, menunjukkan sikap pemerintah yang gagal paham dalam menyikapi persoalan, sehingga kebijakan yang dihasilkan terlihat sangat berlebihan.

“Padahal kasus SMKN 2 Padang yang terjadi di Ranah Minang yang menganut filosofi “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah itu telah diselesaikan Pemda Sumbar dengan aman dan damai,” kata Guspardi lagi.

Selain itu, Guspardi mengaku khawatir jika penerapan SKB tersebut kemudian dapat memicu kontroversi selanjutnya. “Saya menilai SKB ini salah kaprah dan berpotensi menimbulkan permasalahan baru. Sebab ini membebaskan para peserta didik yang notabene belum dewasa untuk boleh memilih seragam dan atribut tanpa aturan seragam dan atribut kekhususan agama,” kata Politikus PAN itu lagi.

Guspardi menilai, penerapan aturan tersebut bisa saja menggiring peserta didik untuk kemudian berfikir liberal. Padahal, cita-cita pendidikan nasional adalah menjadikan manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, sebagaimana termaktub dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

“Pertanyaannya, bagaimana akhlak mulia para peserta didik dapat tercapai jika para siswa bebas memilih pakaiannya sendiri,” katanya lagi.

Di samping itu menurut Guspardi, SKB 3 Menteri ini tampak ikut mengebiri semangat otonomi daerah (Otda) Nomor 32 tahun 2004, dan diamandemen dengan UU Nomor 12 tahun 2008, yang menjelaskan bahwa kewenangan pengaturan dan tata cara berpakaian di sekolah diatur oleh pemerintah daerah, karena lebih memahami keberagaman adat budaya dan kearifan lokal di daerah masing-masing.

“Yang tidak boleh itu adalah pemaksaan bagi siswa yang berlainan keyakinan untuk memakai atribut tertentu di luar keyakinan agama yang dianutnya. Kan itu saja,” katanya lagi.

Guspardi memaparkan, dalam UU tentang Pemerintahan Daerah ditegaskan, otda adalah hak penduduk yang tinggal dalam suatu daerah untuk mengatur, mengurus, mengendalikan, dan mengembangkan urusannya sendiri demi kepentingan masyarakat setempat, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

“SKB ini mengatur cara berpakaian mulai jenjang SD sampai SMA, yang merupakan rentang masa pertumbuhan dan perkembangan pelajar. Pelajar kita itu ada yang Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Justru pada usia saat sekolah, mereka harus ditanami keyakinan bahwa berpakaian yang baik adalah sebagaimana yang diajarkan oleh agama masing-masing,” kata Guspardi lagi.

Guna menimbang berbagai kemungkinan yang muncul di belakangnya, Guspardi pun meminta agar SKB 3 menteri itu dibatalkan. “Jangan ditambahi lagi beban karena mengurus kontroversi di kemudian hari. Mari kita jaga kerukunan dan harmoni kehidupan antarumat beragama, karena kita semua bersaudara,” katanya menutup.

Minang Sangat Terbuka

Di sisi lain, Budayawan Minangkabau Musra Dahrizal atau akrab disapa Mak Katik menilai SKB 3 menteri tidak perlu ditanggapi berlebihan. Sebab, aturan serupa yang mengatur ketentuan berpakaian bagi pelajar sudah pernah diterapkan di Kota Padang saat dipimpin Hasan Basri Durin pada 1976 lalu.

“Saat itu digunakan istilah asimilasi. Jadi, murid beragama Islam yang sekolah misalnya di Sekolah Don Bosco dan murid nonmuslim yang bersekolah di negeri, diberikan kebebasan untuk menggunakan pakaian sesuai keyakinan masing-masing. Yang diatur saat itu hanyalah, setiap sekolah diwajibkan membuat aturan tentang rok pelajar yang harus berada di bawah lutut,” kata Mak Katik.

Menurut Mak Katik, memang sewajarnya para pelajar diberi kebebasan berpakaian sesuai keyakinan, adat, dan kebudayaan masing-masing. Namun untuk warga Minang sendiri, patut dipahami bahwa fungsi pakaian adalah untuk menutup aurat dan melampok (menutup.red) malu.

“Kalau sudah talampok (tertutup) malu keluarga dengan pakaian yang digunakan, ya sudah, cukup. Saya melihat pakaian simbol agama tertentu yang digunakan pelajar juga tidak akan berpengaruh pada moralitas pelajar. Sebab yang penting itu adalah isi,” katanya lagi.

Di sisi lain, jika kemudian kisruh di SMK Negeri 2 Padang membuat ada pihak yang menilai Sumbar intoleran, Mak Katik menilai anggapan itu sebagai ungkapan yang sama sekali tidak berdasar. Sebab, sejak dulu masyarakat Minangkabau adalah masyarakat yang sangat terbuka dengan pendatang, termasuk bisa hidup berdampingan dengan masyarakat nonmuslim.

“Masyarakat Minang tidak akan menganggu orang lain selama ia juga tidak diganggu. Sesuai dengan filosofi yang digunakan yaitu, panyuko di alek datang, panyantun di urang lalu,” katanya menutup.

Respons Pemda

Terkait pelaksanaan SKB 3 Menteri tentang ketentuan berpakaian di sekolah yang wajib diterapkan paling lama 30 hari setelah aturan disampaikan, Ketua DPRD Sumbar Supardi menegaskan pihaknya saat ini tidak dalam posisi menolak atau menerima kebijakan tersebut. Namun, aturan yang dikeluarkan hendaknya perlu kajian lebih mendalam.

“Banyak hal yang harus menjadi rujukan. Selain kearifan lokal, juga filosofis adat Minangkabau sendiri. Kami belum dalam posisi menolak atau menerima, tapi akan berusaha mencari solusi terbaik. Jangan sampai pelajar kita juga jadi korban kebijakan. Jika pencetus utama lahirnya SKB adalah kisruh SMKN 2 Padang, maka SKB ini terlalu dangkal. Mudah sekali lahirnya,” kata Supardi.

Supardi pun berharap, agar hasil koordinasi dengan unsur terkait, bisa melahirkan rekomendasi yang strategis. Salah satunya dengan meminta pemerintah pusat untuk meninjau kembali kebijakan yang telah diterbitkan tersebut. “Kami belum bisa berandai-andai, DPRD dan Pemprov harus mencari solusi terbaik,” katanya menutup.

Sementara itu, Pemko Padang sendiri yang memiliki aturan terkait penggunaan seragam sekolah yang kemudian memancing kisruh di SMKN 2 Padang, hingga berita ini diturunkan belum menyatakan sikap resmi terhadap SKB 3 menteri tersebut. Wali Kota Padang Mahyeldi mengatakan, pihaknya masih menantikan detail dari isi SKB.

 “Kita tunggu dulu secara detail. Harus jelas dulu apa saja isinya SKB ini. Hasil koordinasi dengan Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Sumbar belum ada surat resmi dari Pemerintah Pusat kepada Pemda. Jangan sampai sikap dan komentar kita nanti justru mendapatkan respons negatif. Sebaiknya kita tunggu dulu,” ujar Mahyeldi.

Sementara itu, Wakil Menteri Agama (Wamenag) Zainut Tauhid Sa’adi menepis tudingan bahwa SKB 3 Menteri tentang penggunaan seragam sekolah peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan sebagai upaya sekularisasi oleh negara.

“Substansi SKB itu tegas. Tidak ada larangan mengenakan seragam atau atribut agama tertentu. Yang dilarang adalah pemaksaan mengenakan seragam atau atribut agama di sekolah. Ini artinya negara tetap membolehkan peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan mengenakan pakaian sesuai keyakinan agama masing-masing. Dengan demikian tuduhan negara melakukan sekularisasi kurang tepat dan berlebihan,” ucap Zainut, Minggu (7/2).

Zainut menyebutkan, SKB seragam sekolah diharapkan menumbuhkan kesadaran masyarakat dalam keberagaman dan kebhinekaan. Oleh karena itu, penerapannya akan melahirkan sikap keberagamaan yang inklusif dan toleran. “Hadirnya SKB diharapkan menghindarkan sikap berlebihan para pengambil kebijakan dalam membuat peraturan yang dapat mengganggu harmoni kehidupan beragama di masyarakat,” ujarnya lagi, sebagaimana dikutip dari detikcom.

Ia menyampaikan, aturan SKB seragam sekolah tersebut tidak melanggar aturan bernegara. Malah, menurut dia, aturan itu memperjelas konstitusi soal kebebasan beragama. “Keluarnya SKB 3 Menteri yang mengatur penggunaan pakaian seragam sekolah sudah sesuai dengan amanat konstitusi. Keluarnya SKB 3 Menteri mempertegas jaminan hak kebebasan beragama, baik siswa, guru, maupun tenaga kependidikan di sekolah,” katanya menutup. (*)

Riga/Leni/hantaran.co

Exit mobile version