Tradisi Mairik Macu, Berburu Pohon Pilihan di Tengah Hutan

mairik macu pohon pilihan hutan

Sejumlah warga menarik pohon dari tengah hutan di kampung bernama Paladangan, Kecamatan Malalak, Kabupaten Agam

“Awaaaaasss,”teriak seorang warga. Buumm…pohon besar itu tumbang menghantam tanah.

Ratusan warga bersorak, berlarian mengerumuni pohon yang tingginya sekitar 2 kali tiang listrik itu. Mereka bergegas mengambil posisi untuk segera menarik pohon itu keluar dari hutan.

Pohon itu adalah pohon pilihan. Tak sembarangan dipotong. Apalagi diperjual belikan (ilegal logging).

Bagi masyarakat Jorong Bisati, Kecamatan Sungai Sarik, Kabupaten Padang Pariaman, proses penebangan pohon itu dinamakan Mairik Macu atau menarik pohon yang akan dijadikan tiang masjid secara bersama-sama dari hutan.

Mairik diartikan (Menarik) Macu (tiang tinggi di tengah masjid).

Pagi itu. Di pinggang bukit barisan nan hijau, di kampung bernama Paladangan, Kecamatan Malalak, Kabupaten Agam. Warga mayoritas ibu-ibu baru saja turun dari sejumlah mobil truk. Disusul puluhan pria dewasa lainnya menggunakan sepeda motor.

Mereka berasal dari Jorong Bisati, Kecamatan Sungai Sarik, Kabupaten Padang Pariaman, atau sekitar 15 kilometer dari  tempat mereka berhenti yakni di Paladangan.

Mereka hendak menuju lokasi tempat prosesi Mairik Macu. Setelah sampai di lokasi yakni di hutan karet mereka berkumpul, beberapa orang pria menggunakan peci hitam lalu duduk bersila di atas tikar pandan.

Dipimpin seorang Datuak (Datuk/orang yang dituakan, tokoh adat), yang bernama Ali Umar Datuak Putiah (70).

Sebelum pohon ditebang, Datuak mengadakan rapat bersama sejumlah tokoh lainnya.

Tak lama kemudian, ia pun membaca tahlil diikuti oleh masyarakat lainnya. Sabut kelapa pun dibakar. Tak lupa kemenyan pun ditabur di atas sabut. Asap mengepul. Bau khas itu mulai menusuk hidung.

Suasana pun berubah seakan membakar semangat warga untuk menebang pohon.

Datuak Putiah lalu menyuruh seorang warga untuk memanjat pohon yang akan ditebang berukuran dua kali rangkulan orang dewasa itu. Ranting pohon itu ditebang, tersisa hanya pohon berbentuk tiang yang lurus menjulang ke atas.

Ritual dimulai. Datuak memotong seekor ayam jantan berwarna putih, yaitu berbulu putih, kaki dan paruhnya pun putih di dekat pohon.

“Ini syarat yang harus dilakukan sebelum menebang pohon,” ujar Datuak Putih.

Suasana senyap terasa. Hanya siluan angin dari balik pepehonan. Datuak Putih meminta kain sarung kepada seorang warga, lalu ia lilitkan ke atas kepalanya.

Bibir pria berpostur kecil dan berjengot warna putih itu, bergerak membaca doa, sambil berdoa ia pun mengiris jeruk limau ke dalam sebuah panci berisi air.

Seikat daun ikut dimasukan ke dalam panci berisi air dan jeruk limau itu. Lalu, air itu dipercikan ke batang pohon yang akan ditebang, prosesi itu dinamai Paureh. Diikuti dengan Mambatiah Nasi Kuniang dimana nasi kuning diaduk dengan ayam yang sudah dibakar, dan dilemparkan ke arah empat penjuru mata angin.

Selanjutnya satu buah kapak disirami dengan air dari panci berisi jeruk limau, lalu Datuak Putiah pun menganyunkan kapaknya ke pohon sebanyak tiga kali, dan dilanjutkan dengan mengumandangkan Azan.

Hal itu sebagai petanda pohon boleh ditebang dan berharap semuanya berjalan lancar.

Mesin sinsaw pun dihidupkan. Rantai tajamnya perlahan memotong pohon.

Tak hanya sampai di situ. Seekor kambing yang sudah disiapkan dipotong di atas bekas akar pohon yang sudah ditebang.

Selanjutnya, masyarakat pun bergotong royong membawa pohon itu sambil mengumandangkan salawat nabi untuk keluar dari hutan.

Hal yang tak kalah mendebarkan adalah. Ketika masyarakat menarik pohon terdengar bunyi letusan, duaaar…..

Ternyata suara tersebut berasal dari badia lansa (senjata tradisional untuk berburu masyarakat setempat). Terdengar ada 5 kali tembakan saat pohon digiring keluar.

“Tembakan itu dilakukan untuk memberi semangat masyarakat untuk menarik pohon yang cukup berat itu keluar,” terang Datuak Putiah.

“Allahhuakbar…taaruuuiiiihh,”teriak warga member aba-aba.

“Ini lah keunikan prosesi Mairik Macu, dan ini sudah dilakukan sejak neneng moyang kami sejak dahulunya, ini juga sebagai peninggalan yang berharga. Dimana prosesi ini juga bagian untuk kita beramal, karena membantu pembangunan masjid,” terang Datuak Putuiah.

Ia menjelaskan, Mairik Macu dilakukan ketika salah surau (masjid) dalam tahap pembangunan atau perbaikan.

Sedangkan untuk melakukan prosesi Mairik Macu banyak syarat yang harus dilakukan, diantaranya jika ada salah seorang masyarakat meninggal dunia maka prosesi dibatalkan.

Mairik Macu ini adalah momen dimana masyarakat secara bersama-sama saling membantu untuk orang banyak terutama untuk umat,” ungkapnya.

Ia menjelaskan, beberapa hari sebelum pohon ditebang, masyarakat yang diwakili oleh beberapa orang yang ahli mengenai pohon, atau yang disebut orang tukang, sudah mencari lokasi dimana pohon yang akan dijadikan prosesi Mairik Macu itu. Jika sudah ketemu maka masyarakat pun beramai-ramai untuk menebangnya.

Wali Jorong Bisati, Azwar Anas mengatakan, Mairik Makcu dilakukan karena surau tempat masyarakat malakukan salat serta kegiatan lainnya rusak akibat gempa pada tahun 2009 lalu.

“Surau tempat kami salat yakni di Surau Gadang Tonggak Bisati rusak akibat gempa tahun 2009 lalu. Untuk itu kami perlu melakukan perbaikan dengan cara Mairik Macu,” ucapnya.

Ditambahkannya, dalam prosesi Mairik Macu warga menyumbangkan tenaga, uang, dan doa. Dengan tolong menolong saat menarik pohon secara juga bagian dari beramal.

Terutama saat pohon itu ditarik secara bersama-sama dengan jarak 200 meter dari lokasi penebangan.

Saat pohon sudah ditarik masyarakat pun mengangkutnya ke atas satu unit truk, lalu mengikatkan ujung kayu ke salah satu gerobak besi dengan 2 roda agar ujung kayu tidak rusak digerus aspal.

Sesampai di lokasi Surau Gadang Tonggak Bisati, ratusan warga yang mengikuti prosesi Mairik Macu terlihat semangat dan gembira meskipun sebagian dari mereka sudah tidak muda lagi.

Namun, rasa kebersamaan dan kecintaan terhadap tradisi dapat  menghapus rasa lelah,penat, serta peluh oleh jilat matahari. Energi itu kembali muncul ketika puluhan ibu-ibu mempersiapkan nasi beserta gulai kambing yang di potong saat di lokasi penebangan kayu, untuk dihidangkan. Tawa, senyum, lapar, berbaur di  depan surau/masjid dengan harapan-harapan masyarakat yang masih menjunjung tradisi itu.

 

*Wawancara dilakukan wartawan Haluan (jaringan Hantaran.co) pada 2013*

Exit mobile version