Tak Perlu Panik Hadapi Resesi

Ekonomi

Resesi Ekonomi. Ilustrasi

Meski tengah resesi, kita harus tetap produktif dengan melakukan beragam aktivitas kemandirian. Misal, daerah-daerah yang selama ini tergantung pada produk daerah lain, harus mulai memproduksi kebutuhan sendiri.

Prof. Dr. Elfindri, SE, MA

Krisis saat ini jika dibanding 1998, maka 1998 itu lebih parah karena minus 13 persen sekian. Jadi, ya wajar saja ekonomi menurun di tengah pandemi Covid-19. Masyarakat tak perlu panik. Harga kebutuhan masih stabil dan ketersediaan pangan cenderung aman.

Dr. Hafrizal Handra, M.Soc.Sc

PADANG, hantaran.co — Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) menyampaikan bahwa pertumbuhan ekonomi (PE) Nasional pada kuartal ketiga 2020 kembali minus, setelah sebelumnya minus 5,32 persen pada kuartal kedua. Meski resesi belum secara resmi diumumkan, pengamat mengimbau masyarakat tak perlu panik karena wajar saja resesi terjadi di tengah pandemi.

Pengamat Ekonomi yang juga Rektor IV Universitas Andalas (Unand) Hafrizal Handra menyebutkan, pertumbuhan ekonomi yang negatif dalam dua triwulan pada tahun ini memang bisa dikategorikan sebagai resesi. Yaitu, terjadinya penurunan aktivitas luaran (output) ekonomi di segi permintaan dan produksi, baik barang dan jasa.

“Contoh di sektor pariwisata, banyak hotel tak terisi, rumah makan sepi, dan banyak jasa yang tidak dinikmati seperti biasa seperti penerbangan dan lain-lain. Itu dihitung seluruhnya sebagai penurunan output, dan tentu saja berdampak pada banyak sisi seperti pekerja yang terpaksa dirumahkan atau omzet yang menurun,” kata Hafrizal kepada Haluan, Senin (2/11/2020).

Minus “lima koma” pada triwulan kedua dan diperkirakan minus “empat koma sekian” pada triwulan ketiga, sambung Hafrizal, membuat estimasi penurunan PE sepanjang tahun 2020 akan terjadi pada minus “dua hingga tiga koma” sekian. Dengan harapan terjadi perbaikan pada kuartal keempat tahun ini.

“Ketimbang negara lain, Indonesia cenderung lebih baik. Hanya China yang cepat membaik ekonominya. Bahkan, dibanding krisis 1998, maka saat itu lebih parah. Saat itu minus 13 persen sekian. Jadi, wajar saja aktivitas masyarakat dan ekonomi menurun di tengah pandemi Covid-19 seperti sekarang,” katanya lagi.

Oleh karena itu, Hafrizal menilai masyarakat tidak perlu khawatir meski pun pertumbuhan ekonomi saat ini tengah minus. Sebab, resesi saat ini tidak menyebabkan harga kebutuhan menjadi naik dan cenderung terkontrol. Berbeda dengan krisis pada 1998 di mana harga kebutuhan naik karena inflasi meroket, sehingga saat itu masyarakat bereaksi.

Stabilitas harga, katanya lagi, menandakan persediaan pangan dan kebutuhan lain bagi masyarakat di dalam negeri berada di kondisi aman. Bahkan, karena minimnya permintaan pasar terhadap barang kebutuhan tersebut, harga barang-barang tidak akan naik, bahkan bisa jadi menurun.

Di tengah kondisi PE yang minus, kata Hafrizal lagi, salah satu andalan sumber pertumbuhan ekonomi adalah belanja pemerintah, yang telah dianggarkan hingga dua ribu triliun lebih dengan devisit atau berutang. Namun, jika tidak dibelanjakan dengan benar, menandakan perencanaan yang tidak bagus.

“Jika itu yang terjadi, artinya pemerintah tidak mampu menstimulus ekonomi. Namun, asal belanja ini dan belanja itu juga tidak boleh. Tetap harus efektif dan efisien. Belanja yang memerlukan perhatian khusus, terutama dalam rangka penanganan Covid-19 dan mendukung perekonomian,” ucapnya lagi.

Hafrizal Handra menekankan, bahwa resesi di tengah pandemi adalah suatu yang wajar yang juga dialami oleh banyak negara. Sehingga, masyarakat tidak perlu khawatir dan mengambil kesimpulan atas penjelasan kondisi ekonomi dari sumber-sumber yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.

“Pertumbuhan ekonomi dunia juga negatif. Hanya beberapa negara yang bisa recovery dengan cepat. Jadi, masyarakat tidak usah panik dan menerjemahkan resesi secara tidak benar. Sebab, wajar saja di tengah kondisi ini kita resesi,” tuturnya.

Produktif, Jangan Diam

Meski pun belum secara resmi disampaikan oleh presiden mau pun lembaga terkait, Guru Besar Ekonomi Unand Prof. Dr. Elfindri menegaskan bahwa Indonesia memang telah mengalami resesi karena pertumbuhan ekonomi yang negatif telah memuncak pada kuartal II yang lalu.

“Yang paling merasakan dampak resesi ini adalah daerah-daerah di Pulau Jawa selaku penopang ekonomi utama. Selama pandemi berlangsung ini, yang paling menderita juga daerah-daerah di Pulau Jawa karena minus pertumbuhannya lebih tinggi dari daerah luar Jawa,” kata Elfindri.

Faktor jebloknya investasi asing dan investasi dalam negeri, dinilai Elfindri sangat mempengaruhi negatifnya pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, harapan pertumbuhan ekonomi utama dalam kondisi resesi memang dari sektor konsumsi dan pengeluaran pemerintah.

“Pemerintah perlu membuat program-program yang bisa menggenjot konsumsi dan pengeluaran. Orang yang bergaji minimum agar diberi subsidi, meskipun tidak seluruhnya, tapi tujuannya agar orang bisa berbelanja,” katanya lagi.

Untuk menyikapi resesi, Elfindri pun mengimbau agar masyarakat tidak tinggal diam dan tetap produktif dengan melakukan beragam aktivitas kemandirian. Misal, bagi daerah-daerah yang selama ini tergantung pada produk dari daerah lain, maka harus mulai memproduksi kebutuhan sendiri.

Di samping itu, Elfindri menilai hal yang tidak boleh dilupakan selama resesi adalah mengamankan pangan nasional. Langkah-langkah seperti peningkatan kualitas pertanian beserta pengolahan hasil pertanian perlu dilakukan, sembari terus mengurangi impor dan monopoli.

“Biasanya mengimpor terigu, maka kurangi konsumsi terigu, diganti dengan ubi yang bisa diolah jadi tepung dan sebagainya. Kita harus bertahan seperti itu. Mencontoh Amerika Serikat yang resesi pada 2016, saat itu Trump mengurangi pajak, maka pemerintah Indonesia saat ini juga harus mengurangi pajak, di samping juga menyederhanakan regulasi dan mengekspansi mutu dalam negeri,” ucapnya menutup.

Percepat Belanja

Sementara itu, Presiden Jokowi kembali meminta jajarannya untuk mempercepat realisasi belanja anggaran pada kuartal keempat tahun 2020. Di kuartal terakhir ini, ia meminta agar realisasi tersebut benar-benar berada pada titik yang paling maksimal.

“Kuartal keempat ini sangat penting agar bisa memperbaiki lagi. Syukur bisa masuk ke positif di kuartal yang keempat sehingga belanja (anggaran), spending, harus menjadi kejar-kejaran kita semua,” ujar Jokowi saat memimpin sidang kabinet paripurna di Istana Negara, Jakarta, Senin (2/11).

Kuartal kedua lalu, sebagaimana diketahui, pertumbuhan ekonomi nasional berada di angka minus 5,32 persen. Sementara di kuartal tiga, kondisi serupa diperkirakan masih akan terjadi meski berada dalam tren yang semakin membaik. “Ini memang kalau dibandingkan negara lain ya masih jauh lebih baik. Tapi ini patut kita berikan tekanan untuk yang kuartal keempat,” kata Jokowi.

Dalam kesempatan tersebut, Jokowi juga menekankan bahwa apabila belanja anggaran pada kuartal empat telah terselesaikan dan maksimal diserap, maka seluruh jajarannya sudah harus bersiap untuk melaju pada kuartal pertama pada tahun 2021 mendatang.

Ia mengingatkan, bahwa setelah masing-masing kementerian dan lembaga menerima Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA), maka pada saat itu pula proses lelang dan belanja anggaran dapat segera dilakukan.

“Kuartal pertama 2021 juga harus mulai didesain dari sekarang agar kegiatan itu dimulai di bulan Januari, terutama yang paling cepat adalah bantuan sosial. Yang belanja-belanja modal, terutama infrastruktur, baik di Kementerian PU, Perhubungan, dan kementerian lain yang bisa digiring untuk segera dimulai, maka (segera) mulai,” ucapnya.

Selain itu, Joko Widodo juga menyinggung soal peluang untuk memulihkan sekaligus meningkatkan kondisi investasi di Indonesia. Baru-baru ini, di tengah tekanan ekonomi akibat pandemi, Indonesia memperoleh perpanjangan fasilitas Generalized System of Preferences (GSP) dari Amerika Serikat yang memungkinkan produk-produk Indonesia untuk lebih mudah memasuki pasar Amerika Serikat. “Kita harapkan ekspor kita akan bisa naik melompat karena fasilitas GSP ini diberikan kepada kita,” ucap Jokowi.

Lebih jauh, Jokowi juga melihat adanya kesempatan dari perpanjangan fasilitas tersebut untuk dapat menarik investasi ke Indonesia. “Orang ingin mendirikan industri, pabrik, dan perusahaan di Indonesia akan menjadi lebih menarik karena untuk masuk ke Amerika kita diberikan fasilitas itu,” ucapnya menutup. (*)

Yesi/ishaq/hantaran.co

Exit mobile version