PADANG, hantaran.co — Pemerintah pusat dan pemerintah daerah di Sumbar diharapkan dapat menghindari terjadinya perbedaan data laporan kasus Covid-19. Sebab, hal itu dapat memicu menurunnya tingkat kepercayaan publik terhadap usaha-usaha dalam pananganan pandemi. Oleh karena itu, akses informasi harus dibuka selebar-lebarnya.
Hal itu disampaikan Ketua Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia (PAEI) Provinsi Sumbar Defriman Djafri, untuk menanggapi kerap terjadinya perbedaan antara data antara pemerintahan pusat dengan pemerintah daerah di Sumbar, terutama sekali data terkait peta zonasi Covid-19.
“Dampak perbedaan data zonasi bisa mempertebal ketidakpercayaan publik pada pemerintah. Sebab akan muncul dugaan data dimanipulasi, entah oleh pusat atau provinsi. Kami sebagai epidemiolog meyakini jumlah kasus bertambah dari hari ke hari, tapi bicara keparahannya tentu data rumah sakit yang jadi pembanding,” kata Defriman kepada Haluan, Kamis (20/5).
Defriman menyebutkan, jika muncul perbedaan data antara pemerintah pusat dan daerah, hal itu mungkin disebabkan keterlambatan mendata atau mendeteksi perkembangan kasus. Sementara faktanya sekarang, katanya, kasus Covid-19 mengalami peningkatan, termasuk di Sumbar sendiri.
Selain itu, sambung Defriman, jika bicara metode onset dalam penetapan zonasi, hanya 20 persen yang bisa dijelaskan secara data kasus, ada pun selebihnya merupakan kasus pasien tanpa gejala yang sulit untuk terdeteksi.
“Dari data kasus yang pernah saya analisis, hanya 20 persen kasus yang memiliki gejala. Tentu hanya itu yang bisa dijelaskan onset-nya. Ada pun 80 persen lainnya adalah pasien OTG. Bagaimana mau menentukan onset–nya? Masih meraba-raba atau dikira-kira saja onset-nya,” ujarnya lagi.
Menurut Defriman, hal yang penting dalam pendataan adalah akuntabilitas dari data ditemukan, yang kemudian diolah dengan benar dan dilaporkan dengan benar. Data tersebut katanya, harus dibuka selebar-lebarnya kepada masyarakat.
“Untuk menanggulangi dugaan-dugaan yang akan muncul dari masyarakat, Satgas mesti menjawab dengan melakukan analisis data secara tajam. Tidak hanya berbicara mengenai zonasi dan pertambahan kasus. Sebab yang belum terjawab sampai sekarang adalah klaster penyebaran. Apakah Satgas melakukan analisa terhadap klaster penyebaran. Kuncinya, keterbukaan dan analisis data yang lebih detail,” ujarnya lagi.
Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Unand itu juga menilai, satu daerah bisa dikategorikan masuk zona hijau lantaran jumlah pemeriksaan yang rendah, sehingga kemungkinan kasus yang ditemukan juga rendah. Padahal, mobilitas masyarakat terpantau tinggi pada saat mudik dan libur Lebaran lalu, ditambah lagi saat ini objek wisata sudah kembali dibuka.
Sebelumnya, perbedaan data antara Pemerintah Pusat melalui Satgas Nasional dan Pemprov Sumbar atau Satgas Penanganan Provinsi, sudah terlihat sejak April lalu. Tepatnya saat Satgas Nasional menetapkan tiga daerah masuk dalam zona merah Covid-19, sedangkan peta zonasi Satgas Pemprov merilis Sumbar bebas dari zona merah.
Terbaru, pada Kamis 20 Mei 2021 (kemarin.red), Satgas Nasional Penanganan Covid-19 menetapkan dua daerah di Sumbar masuk zona merah atau berisiko tinggi penularan Covid-19 usai libur Lebaran, yaitu Kota Bukittinggi dan Kabupaten Solok. Dua daerah tersebut tergabung dalam 7 kabupaten dan kota di seluruh Indonesia yang terkategori zona merah.
“Ada tujuh daerah yang saat ini dalam zona merah, Sleman di Yogyakarta, Salatiga di Jawa Tengah, Kota Palembang di Sumatra Selatan, Kota Pekanbaru di Riau, Deli Serdang di Sumatra Utara, serta Bukittinggi dan Kabupaten Solok di Sumatra Barat,” ujar Juru Bicara Satgas Nasional Covid-19 Wiku Adisasmito dalam konfrensi pers pada kanal Youtube BNPB, Kamis (20/5/2021).
Namun secara terpisah, Juru Bicara Satgas Penanganan Covid-19 Sumbar Jasman Rizal membantah jika saat ini terdapat daerah berstatus zona merah di Sumbar. Ia menyatakan, berdasarkan peta zonasi Satgas Provinsi pekan ini, di Sumbar hanya terdapat daerah zona kuning dan zona oranye.
“Sumbar saat ini tidak ada zona merah. Kita di sumbar selalu mengevaluasi dan menghitung zonasi itu setiap hari Sabtu, dan diumumkan setiap hari Minggu berdasarkan 15 indikator berbasis data onset,” ujar Jasman dalam keterangan tertulis.
Jasman menyatakan, perbedaan data sudah sering terjadi. Ia menduga, data yang digunakan oleh Satgas Nasional dalam penetapan zonasi menggunakan data publis, bukan data onset yang menjadi acuan Satgas Provinsi.
“Ini sudah sering sekali (maaf) keteledoran yang tidak bertanggung jawab terhadap kondisi di Sumbar. Harusnya para pihak yang menyatakan ada zona merah di Sumbar berkoordinasi dulu dengan yang punya data. Sumber data cuma satu, yaitu Satgas Provinsi Sumbar, lain dari itu tidak dapat dipertanggungjawabkan,” ujarnya. (*)
Riga/hantaran.co