SEBULAN “DIKERJAI” COVID-19 (BAGIAN 3), Melawan Jenuhnya Isolasi, Alhamdulillah Berkumpul Lagi

Isolasi

Suasana di lobi Rumah Sakit Umum Daerah dr. Rasidin Kota Padang, yang menjadi salah satu rumah sakit rujukan penanganan pasien Covid-19 di Sumbar. Di rumah sakit ini, penulis bersama keluarga menjalani hari-hari isolasi-rawatan selama kurang lebih sepekan. IST

Laporan: Rakhmatul Akbar (Wartawan Utama)

Vonis itu nyata. Tidak hanya saya yang positif terinfeksi virus corona. Istri dan anak bungsu juga terkena Covid-19. Tinggal si sulung yang negatif, dan kami sekeluarga terpaksa menjaga jarak dengannya yang telah diputuskan untuk “dikirim” ke kampung di Limapuluh Kota. Sebetulnya saya, istri, dan si bungsu cukup beruntung karena akhirnya bisa diisolasi-rawat dalam satu ruangan, meski tetap saja jenuh lambat laun menghampiri.

Rabu 20 Januari 2021 itu, Puskesmas Anak Air memutuskan hanya istri saya yang mesti dirawat di rumah sakit, sementara saya dan si bungsu dalam kategori bisa isolasi mandiri di rumah. Namun, pikiran mulai bercabang penuh tanya. Kenapa puskesmas hanya merujuk istri? Lalu, kalau kondisi istri berat, bagaimana dengan saya dan si bungsu. Bagaimana istri saya harus ke rumah sakit.

Kata istri saya hari itu, puskesmas awalnya hendak mengantar dirinya ke RSUD dr. Rasidin dengan ambulans. Namun, kendaraan itu sedang tak standby, sehinggakami disilakan berangkat dengan kendaraan sendiri. Namun, kami diminta menunggu di IGD karena harus didampingi tenaga medis dari Puskesmas untuk diurus masuk RS. 

Kami pun meluncur tanpa mampir ke rumah. Kami biarkan si sulung yang sedang berkemas dan menunggu nenek serta omnya. Kami hanya bisa berkabar lewat telepon. Sejak itu, kami tak lagi berjumpa secara fisik. Sejak itu, kami terpisah hingga kami bertiga negatif dan boleh pulang.

“Nak… kalau sudah jalan, kabari papa. Nanti di kampung, kamu isolasi diri dulu. Ingat pesan mama, jangan bersentuhan dengan atuk (kakek) dan ibuk (nenek) dan keluarga lain. Kamu di dalam kamar saja. Kalau mau keluar, ambil jalan ke ruangan yang jarang didekati keluarga. Tiga hari lagi, kamu swab lagi,” ujar saya berpesan pada si sulung yang sudah 13 tahun.

Pesan ini perlu disampaikan. Sebab, memang ia negative pada uji swab pertama, tapi selama dua hari setelah swab itu ia masih berinteraksi dengan kami. Tidur sudah bersama adiknya yang belakangan positif. Demi aman dan kebaikan bersama, ia kami wanti-wanti untuk jaga jarak dan pakai masker selama di kampung. Dan untuk memastikan kondisinya, anak gadih nan jolong gadang ini kami minta uji swab kembali. Demi kebaikan bersama.

Berangkatlah ia ke kampung sedangkan kami masih di RSUD dr. Rasidin, menanti tim medis dari Puskesmas Anak Aia yang akan menyerahterimakan kami ke tim medis rumah sakit. Posisi saat itu, yang dirujuk istri saya, bukan saya dan si bungsu. Setelah menanti cukup lama, tim medis Puskesmas Anak Aia datang. Pakaiannya lengkap, layaknya nakes yang menangani pasien Covid-19.

Istri yang dirujuk pun dibawa masuk untuk menjalani serangkaian pemeriksaan—lupa saya apa-apa saja yang diperiksa, sedangkan saya dan si bungsu yang tetap cerita harus menanti di luar. Begitu keluar dari ruangan IGD, ia mengabari saya bahwa kami semua diputuskan untuk dirawat. Dokter mendiagnosa ada persoalan di sekitar paru-parunya karena Covid-19 ini. Karenanya, ia harus di bawah pengawasan dokter dan nakes. Lantas mengapa jadinya semua yang dirawat? Ternyata, istri saya yang meminta, karena ia tahu si bungsu yang juga positif tak mungkin dibiarkan dijaga oleh saya, bapaknya yang juga positif.

“Dokter memberi izin kita semua dirawat bersama dalam satu ruangan rawat inap. Kita pulang dulu beres-beres kebutuhan, termasuk kelengkapan administrasi, harus kita lengkapi,” kata istri saya saat itu.

Untuk bisa pulang, katanya lagi, harus pakai surat pernyataan. Entah apa alasan persisnya, tapi konon ada pasien yang melarikan diri dalam masa perawatan. Oleh karena itu, meski rencananya pulang sesaat guna berkemas, tetap harus pakai surat izin dan surat pernyataan.  Kalau tak salah ingat, kami pulang pukul 13.30 WIB, dan harus sudah di IGD RSUD dr. Rasidin lagi untuk memulai perawatan pada pukul 16.30 WIB.

Kami pun bergegas pulang dan bergegas berkemas. Telat sedikit, kami sampai di RSUD lagi. Dari kediaman di Kelurahan Batipuah Panjang, Anak Aie, jaraknya sekitar 4 sampai 5 Km. Dalam catatan hidup saya, Alhamdulilllah ini baru pengalaman pertama menginap di rumah sakit sebagai pasien. Alhamdulillah, usia kini sudah 42 tahun. Sekali dapat sakit nan harus rawat inap, Covid-19 pula judulnya.

Dalam proses pemeriksaan awal, semua berjalan lancar. Saya harus diinfus dan ini juga pengalaman pertama. Ujung jari dijepit. Kata nakes-nya saat itu, untuk mengukur saturasi jantung. Darah diperiksa, tensi juga. Paru-paru saya di-rontgen. Cukuplah. Istilah-istilah medis memang tak akrab di telinga saya. Alhamdulillah.

Momentum sepanjang di rumah sakit sebenarnya biasa-biasa saja. Hanya, rutinitasnya terasa monoton sehingga bikin jenuh. Setelah istirahat sepanjang malam pertama, pagi harinya kontrol catatan kesehatan dilakukan. Pasien bergantian datang ke ruang tengah di lantai III untuk memeriksan tensi darah dan saturasi jantung. Setiap hari ini harus dijalani walau kadang tim medis yang ke ruangan kami.

Di pagi pertama di rumah sakit itu, saya akhirnya berjumpa dengan Mario. Sejawat yang diperkirakan sama-sama terpapar dari sumber yang sama. Ia tampak lemas. Sapaan saya hanya dijawab sekadar dan ia pun berlalu begitu saja ke biliknya. Tapi, Alhamdulillah saya membaik walau hari ke hari kegiatan di rumah sakit itu terasa membosankan.

Sejak hari pertama hingga beberapa hari kemudian, doa dan perhatian rekan-rekan menjadi penguat imun sekaligus menambah kekuatan untuk segera sehat. Tapi pada tahapan ini menjadi sinyal bagaimana Covid itu menyakitkan kita luar dalam. Isolasi!

Kalau persoalan medis, saya pikir semua ada program nan jelas dari bangun tidur hingga tidur. Di rumah sakit, tidur saja kita dipantau oleh kamera pengintai (cctv). Kalau urusan medis, jelas aturan dan tata caranya. Tapi ini persoalan mental. Persoalan bagaimana kita bisa menguasai keadaan di tengah ruang yang terbatas. Paling jauh, kita bisa berjemur. Itu pun, saya sempat ditegur dokter. Saya belum boleh berjemur dengan selang infus yang masih tertancap di tangan.

Dibanding pasien Covid-19 lain, saya mungkin lebih beruntung. Saya bisa “menetap” di rumah sakit bersama anak dan istri. Jadi, ada teman cerita. Ada teman berbagi, dan bercanda, serta teman untuk diusili. Si bungsu yang OTG masih saja ceria. Tak terbayang bagaimana rekan saya Mario menjalani hari-harinya sendiri di ruangan yang lebih kecil. Tak terbayang betapa terbatas mobilitasnya. Padahal, sehari-hari kami ber-kencak kemana saja, sebagai wartawan. Belum lagi mereka yang perokok. Saya pikir inilah sakitnya Covid-19. Ia menyakiti mental.

Kalau sakit nan lain, saat kita hanya bisa rebah saja di tempat tidur, kita masih bisa dikunjungi keluarga dan dijenguk sahabat. Tapi ini? Kita terasa sehat dan makin membaik, tapi terisolasi. Kita dikurung bak di penjara. Teman-teman yang hendak menyerahkan buah tangan saja “terpaksa” hanya sampai meja sekuriti. Akses masuk benar-benar ditutup. Seperti teman-teman dari Jaringan Pemred Sumbar (JPS) yang hanya bisa ber-say hello lewat video call saat mengantar buah tangan dan kebutuhan pribadi kami saat dirawat.

Di hari kelima dan keenam, akhirnya saya benar-benar jenuh. Pada saat bersamaan, saya, istri, dan anak serta sejumlah pasien di RSUD menjalani uji swab konversi 2x. Harinya, Minggu dan Senin, 24-25 Januari 2021). Saya piker, inilah momentum untuk menyandarkan harap agar hasilnya negatif. Momentum untuk bisa keluar dari “penjara” menyesakkan ini. Jadi, saat-saat itu saya harus kuat sembari menanti kabar hasilnya. Pada saat bersamaan, mental juga dilapisi lagi guna menghadapi kemungkinan hasil jika masih positif. 

Malam keenam pun dilewati, dan Selasa 26 Januari 2021 pagi menyingsing. Membuka pagi, saya berjemur lagi . Kebetulan, saat itu selang infus sudah dilepas. Sepertinya, ini sinyal kondisi mulai membaik. Dan saat yang dinanti pun tiba. Pak Jubir Satgas Penanganan Covid-19 Sumbar mengirimkan kabar dalam secarik gambar format jpeg program Microsoft excel.

Saya negatif. Alhamdulillah. Itu masih hasil saya. Bagaimana dengan istri dan si bungsu? Ternyata mereka masih positif. Hingga konversi 2x  uji swab keduanya juga masih positif. Namun ada catatan menarik. Grafik CT Value istri saya membaik dan mendekati angka maksimal untuk negatif, yakni 35, yaitu dengan RdRP 34,21. Kondisi ini seiring dengan membaiknya indra penciumannya sejak beberapa hari sebelumnya, dan indra perasanya yang sudah normal.

Sementara si bungsu, juga naik ke angka 31,74. Walau masih jauh dari batas angka 35, tapi secara fisik ia tampak lebih fit dibanding mamanya. Namanya juga OTG. Begitulah selalu.

Secara umum, dr. Wafda Aulia dalam beberapa diskusi sebelumnya sudah memberikan gambaran. Gejala yang dialami pasien Covid-19 tak serupa. Saya contohnya, hingga dinyatakan negatif konversi 2x, indra penciuman tetap bekerja baik. Karenanya, ia memang mewanti-wanti untuk tak terlalu berpatokan dengan pengetesan seperti itu. Selain itu, banyak juga yang positif Covid-19 tapi tanpa gejala, si bungsu saya contohnya.

Hasil uji swab konversi 2x yang berbeda tentu membuat langkah saya dengan langkah istri dan si bungsu jadi berbeda pula. Saya sudah dapat lampu hijau untuk berkemas dan meninggalkan rumah sakit. Istri dan anak? Belum. Walau kondisi membaik. Soal izin, tentu kewenangan dokter. Maka, bersepakatlah kami untuk berdiskusi dengan dokter.

Pagi itu, dokter memang dating untuk mengecek kondisi. Dan ternyata, Selasa pagi itu, adalah hari terakhir kami berjumpa dokter yang mengurusi kami selama sepekan. Dengan sejumlah argumen, kami berhasil meyakinkan dokter agar kami bertiga diizinkan pulang. Dokter yang memberi izin tentu punya pertimbangan medis sehingga lampu hijau menyala. Akhirnya, pasien di ruang bedah 1, Lantai III RSUD dr. Rasidin, boleh pulang ke rumah.

“Ibu dan si kecil isolasi mandiri ya. Itu wajib,” kata dokter itu dengan nada suara yang lembut tapi tegas.

“Baik bu. Kami perhatikan itu,” kata istri saya menyahut dengan semringah.

Cerah sekali rasanya hari itu, dan kami tak kuasa menahan waktu izin keluar rumah sakit pukul 16.00 WIB. Lama benar hari berjalan. Sering rasanya saya mengintip jam tangan. Bahkan, ketika mendekati pukul 15.00 WIB, waktu terasa bergerak seperti siput. 

Menjelang pukul 16.00 WIB, kami mendapat kabar bahwa ambulans yang disediakan untuk mengantar kami pulang tak tersedia. Padahal, sejak awal kami sudah meminta tak usah diantar. Kebetulan, mobil masih terparkir di depan IGD RSUD dr. Rasidin, tepat di sebelah mobil Mario yang harus dirawat lebih lama. Lebih dari sepekan setelah kami boleh pulang. Mario akhirnya diizinkan pulang setelah 21 hari perawatan.

Ini berkah lain pula sebenarnya. Jika istri dan anak diantar dengan ambulans, saya tak bisa membayangkan bagaimana lingkungan merespons kami, walaupun ketika terjangkiti Covid-19, saya sudah mengabari ketua RT tempat kami menetap. Akhirnya, bertiga-tiga kami pulang, sambil mampir ke kediaman orang tua di Tunggul Hitam. Kami menjemput sambal masakan orang tua yang dirindukan istri, kacang goreng plus ikan asin balado.

Sampai di rumah, semua terasa begitu nyaman. Tapi sisa-sisa Covid-19 belumlah lurus. Lemas masih menjelang. Sementara kondisi istri dan si bungsu yang masih positif terus membaik. Tapi tetap, jaga jarak dan pakai masker kami patuhi. Si bungsu nyaris tak berubah, ia tetap ceria, seperti sejak dinyatakan positif pada Rabu 20 Januari 2020.

Si bungsu tetap bermain gadget, menonton televise, dan menggambar di bukunya hingga konversi 2x-nya dinyatakan negatif, termasuk istri saya. Hari itu, Jumat 5 Februari 2021. Kemudian, saya putuskan menjemput si sulung ke Limapuluh Kota. Dan beban itu akhirnya benar-benar reda pada Jumat 5 Februari itu, saat menerima hasil uji swab konversi kedua. Istri dan si bungsu sudah negatif.

Karena semua keluarga termasuk saya sudah negatif, hari itu, menjadi hari pertama saya beraktivitas di luar rumah, termasuk kembali ke dapur redaksi. Saya harus menuntaskan penggalan-penggalan kisah Covid-19 kami di klaster keluarga. Cukup panjang waktunya untuk menyelesaikan tulisan ini. Pernah saat masih dua hari dirawat, saya bercucuran keringat dingin saat mengawali tulisan ini.

Tak kuat rasanya. Tak kuasa menahan letih dengan keringat dingin membasahi tubuh. Laptop yang saya bawa ke rumah sakit harus dimatikan, tapi tetap berada di tempat tidur. Saya memilih rebah demi mengembalikan stamina. Jadi, sekali lagi, jangan abaikan Covid-19. Jangan pernah dengar cerita tak jelas soal asal usulnya itu. Saya yang mungkin sebagai penderita level sedang, sudah merasakan Covid-19 itu perih. (*)

hantaran.co

Exit mobile version