MITIGASI SUMBAR 2021, Siap Siaga Bencana Perlu Bersama

Selter

Selter merupakan salah satu bagian mitigasi bencana di Sumbar yang disiapkan bila sewaktu-waktu megatrush Mentawai terjadi. IRHAM

Tentu kita wajib punya planning. Seperti pembangunan shelter bencana. Kebetulan Ketua BNPB Pak Doni Monardo, nanti kami bersama Bapak Gubernur akan menghadap khusus untuk membicarakan Sumbar, untuk melihat bantuan-bantuan apa saja yang bisa disalurkan dari pusat ke Sumbar.

Audy Joinaldy

Wakil Gubernur Sumbar

PADANG, hantaran.co — Penguatan kesiapsiagaan terhadap bencana di Sumbar membutuhkan keterlibatan semua pihak. Sebab pada faktanya, wilayah Sumbar berpotensi ditimpa 12 jenis bencana sebagaimana kategori yang tertera dalam dokumen rencanan penanggulangan bencana nasional.

Sehari setelah Presiden Joko Widodo menggelar Rakornas Penanggulangan Bencana 2021 di Istana Negara, Komunitas Pemerhati Sumbar (Kapas) menggelar diskusi bertajuk “Mitigasi Bencana di Sumbar” yang berlangsung di Daima Hotel Padang, Rabu (4/3/2021). Dari diskusi tersebut, ikut dipaparkan seberapa siap Sumbar dalam menghadapi potensi bencana.

Kepala Pelaksana (Kalaksa) BPBD Sumbar, Erman Rahman, dalam paparannya menjelaskan, Sumbar memang ditakdirkan sebagai kawasan “supermarket” bencana. Sebab, ancaman bencana di Sumbar menyebar mulai dari laut hingga ke darat. Oleh karena itu, penanganan bencana di Sumbar harus melibatkan semua pihak.

“Sehingga penanggulangan bencana dapat dilakukan dengan baik dan mampu mengurangi risiko bencana. Bencana sulit kita prediksi. Oleh karena itu perlu peningkatan kesiapsiagaan seperti mitigasi dan pencegahan,” kata Erman Rahman.

Untuk diketahui, dalam dokumen rencanan penanggulangan bencana nasional, Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) setidaknya memiliki 12 ancaman bencana yang terbagi tiga jenis. Pertama, bencana geologi yang terdiri dari gempa bumi, tsunami, gunung api, gerakan tanah/tanah longsor).

Kemudian, bencana hidrometeorologi seperti, banjir, banjir bandang, kekeringan, cuaca ekstrim, gelombang ekstrim, kebakaran hutan dan lahan. Ketiga, bencana antropogenik berupa, epidemic wabah penyakit, dan kegagalan teknologi atau kecelakaan industri. Data pada 2013 menunjukkan, 205 juta jiwa penduduk tinggal di daerah rawan bencana.

“Di Sumbar, salah satunya ancaman bencana terbesar adalah gempa besar atau megatrush Mentawai, di mana mitigasinya sangat diperlukan dalam rangka pengurangan risiko pascabencana,” ujar Erman lagi.

Erman menerangkan, megatrush Mentawai dengan potensi gempa hingga 8,9 Skalarichter (SR)patut diwaspadai karena mengancam hampir satu juta jiwa penduduk Sumbar, yang tinggal menyebar di tujuh kabupaten/kota kawasan pesisir pantai. Menurut laporan BMKG, terjadi hampir 500 kali gempa kecil dan sedang di jalur megatrush Mentawai tersebut.

Anggaran dan Teknis

Erman mengaku, Pemda melalui BPBD telah melakukan berbagai upaya pengurangan risiko bencana melalui pelatihan peningkatan kapasitas masyarakat dan simulasi kebencanaan. Terkait hal ini, ditemui terpisah oleh Haluan di Kantor BPBD Sumbar, Kepala Seksi (Kasi) Pencegahan Bidang Kesiapsiagaan BPBD Sumbar Indra Veri mengatakan, bahwa upaya pengurangan risiko bencana harus lebih diintensifkan.

“Mitigasi bencana perlu diperkuat sehingga risiko bencana bisa diminimalisir. Presiden kemarin menyampaikan begitu, bahwa mitigasi bencana harus terintegrasi dari hulu sampai ke hilir. Oleh karena itu, tentu saja gubernur nanti akan menyusun semua perencanaan itu dalam RPJMD lima tahun ke depan,” katanya.

Terkait kesiapan anggaran, Wakil Gubernur (Wagub) Sumbar Audy Joinaldy saat dihubungi terpisah oleh Haluan menjamin, bahwa Pemprov Sumbar akan mengupayakan berbagai cara agar ketersediaan anggaran dapat mendukung upaya peningkatan kesiapsiagaan bencana di Sumbar.

“Tentu saja kita wajib punya planning ke depan. Seperti pembangunan shelter bencana. Kebetulan Ketua BNPB Pak Doni Monardo, nanti kami bersama Bapak Gubernur akan menghadap khusus untuk membicarakan Sumbar, untuk melihat bantuan-bantuan apa saja yang bisa disalurkan dari pusat ke Sumbar,” kata Audy, Kamis (4/3/2021).

Sementara itu dalam diskusi “Mitigasi Bencana di Sumbar” di Daima Hotel, Kordinator Forum Pengurangan Risiko Bencana (PRB) Sumbar, Khalid Saifullah mengatakan, penyebarluasan pengetahuan tentang mitigasi bencana harus senantiasa dilakukan demi mengurangi risiko bencana.

Untuk melakukannya, sambung Khalid, manajemen risiko terkait pencegahan, mitigasi, dan kesiapsiagaan memang mutlak diperlukan. Ia pun menekankan, bahwa peningkatan kapasitas masyarakat dalam menghadapi potensi ancaman bencana memerlukan sinergitas dari semua elemen pemerintah dan masyarakat.

“Kita berharap untuk meningkatkan kapasitas itu, ada tanggung jawab bersama. Pihak seperti LSM dan pemerhati bencana perlu digandeng. Kami sendiri di PRB sudah menargetkan pembentukan tim PRB dan Kelompok Siaga Bencana (KSB) di setiap nagari. Saat ini, ada 52 nagari yang ditaget untuk pembekalan Maret ini di Solok Selatan,” tuturnya.

Sementara itu, Kasi Kesiapsiagaan BPBD Sumbar, saat ditemui di kantornya mengatakan, situasi pandemi Covid-19 yang berlangsung memang membuat beberapa upaya penguatan mitigasi menjadi terhambat. Seperti simulasi bencana yang tidak bisa menghimpun orang banyak karena terbatasi oleh aturan protokol kesehatan (prokes).

“Menurut kami salah satu jalan keluarnya adalah sosialisasi melalui berbagai media. Selain itu, peningkatan jumlah shelter gempa dan tsunami di wilayah pesisir memang sangat diperlukan, dan itu menjadi wilayaj teknis Dinas PUPR. Di Sumbar, jumlah shelter yang ada memang belum dapat memenuhi kapasitas seluruh warga yang tinggal di pesisir pantai,” katanya.

Sebagai jalan alternatif, sambungnya, telah dibuat kebijakan dan perencanaan kebencanaan seperti penyesuaian bentuk bangunan di kawasan pesisir pantai. Contoh, seperti bangunan masjid yang disarankan dapat multifungsi, di mana lantai atas bisa digunakan sebagai bangunan shelter atau tempat evakuasi sementara.

Sementara itu untuk kesiapan mitigasi bencana lain seperti banjir, Indra menyebutkan bahwa masyarakat masih perlu pembiasaan etika membuang sampah, agar saat hujan tidak terjadi genangan air karena saluran air yang tersumbat.

Selain itu, kata Indra, Presiden dalam Rakornas Kebencanaan 2021 menekankan pentingnya manajemen tanggap darurat serta kemampuan melakukan rehabilitasi dan rekonstruksi yang cepat. Selain itu, sistem peringatan dini juga harus berfungsi dengan baik, bekerja dengan cepat, serta akurat.

“Sosialisasi kebencanaan memang harus terus-menerus ditingkatkan. Mulai dari lingkup sosial yang paling kecil yaitu keluarga, serta melakukan simulasi bencana secara rutin di daerah-daerah yang rawan, sehingga warga semakin siap menghadapi potensi bencana,” ucapnya menutup.

Peliputan Bencana

Dalam diskusi “Mitigasi Bencana di Sumbar” di Daima Hotel turut hadir Ketua Jaringan Jurnalis Siaga Bencana (JJSB) Sumbar John Nedy Kambang, yang menilai bahwa secara perspektif, jurnalis harus senantiasa berada dekat dengan titik bencana untuk mengabarkan kejadian bencana.

“Ini agar informasi yang disampaikan kepada masyarakat sesuai dengan kondisi riil di lapangan,” kata John.

John juga menerangkan tiga fase pemberitaan dalam peliputan bencana yang seharusnya dilakukan oleh jurnalis yaitu, fase prabencana, fase saat bencana, dan fase pascabencana. Namun, selama ini hampir banyak jurnalis hanya fokus pada fase bencana saja, dan lupa melakukan tugasnya pada fase prabencana dan pascabencana. (*)

David/Darwina/hantaran.co

Exit mobile version