Masyarakat Sitiung 4 Masih Tetap Jaga Tradisi Arak Pengantin Diiringi Tambua Tasa, Ternyata Ini Maknanya

DHARMASRAYA, hantaran.co — Tradisi ma arak anak daro jo marapulai (membawa pengantin-red) dengan diiringi alat musik tradisional Tambua Tasa, masih dilakukan oleh masyarakat Sitiung 4, Kabupaten Dharmasraya, pasalnya warga setempat merupakan warga transmigrasi lokal dari Maninjau Kabupaten Agam.

Ma arak anak daro jo marapulai dengan alunan Tambua Tasa merupakan tradisi keluarga pengantin untuk memberitahu kepada masyarakat bahwa anak cucu kemenakan sudah menjalin hubungan pernikahan.

Menurut salah seorang tokoh masyarakat setempat, Mulyadi, kepada hantaran.co menjelaskan, tradisi arak-arakan pengantin dengan alat musik tradisional Tambua Tasa tersebut memang terbawa dari daerah asal Maninjau Kabupaten Agam.

Penampilan Tambua Tasa itu katanya, bukan hanya sewaktu arak-arakan pengantin, tetapi pada malam sebelum hari H, Tambua Tasa sudah di mainkan untuk memberi tahu warga bahwa besok pengantin akan diarak sepanjang jalan.

Sampai saat ini katanya, tradisi itu tidak luntur dan bahkan semakin berkembang, buktinya group Tambua Tasa yang ada di Sitiung 4 terus bertambah, apalagi, Tambua Tasa bukan hanya ditampilkan saat ada pesta perkawinan, tetapi pasa acara acara resmi Tambua Tasa dapat di tampilkan, seperti menyambut para pejabat yang datang mengunjungi wilayah Sitiung 4, atau juga di wilayah lain yang membutuhkan musik tradisional Tambua Tasa.

Selain itu, kata mantan Ketua Pemuda Nagari Koto Gadang ini, di acara acara besar resmi lainnya, Tambua Tasa juga sering tampil untuk memeriahkan acara tersebut. Misalnya saja acara HUT RI, HUT Kabupaten Dharmasraya dan lainnya.

Anggota Tambua Tasa sebanyak 12 orang itu tidak hanya mengharapkan bayaran saja, anak-anak muda itu penampilan Tambua Tasa yang ia mainkan juga sebagai alat pelepas hobi, karena Tambua Tasa bukan setiap hari bisa tampil.

Mulyadi yang juga calon Wali Nagari Koto Gadang tersebut menambahkan, bayaran yang diberikan oleh si pemakai, dikumpulkan oleh pengurus dan dibagi sekali setahun atau waktu waktu tertentu.

Ia berharap agar kesenian tradisional jangan sampai hilang ditelan bumi, untuk melestarikan kebudayaan Minangkabau itu memang harus dari kesadaran masyarakat itu sendiri untuk selalu memakai adat dan budaya Minangkabau itu.

Ia memang agak sedikit miris melihat pada acara acara pesta atau acara acara budaya Minangkabau tetapi tidak memakai kesenian tradisional Minangkabau itu sendiri.

“Siapa lagi yang akan melestarikan kalau bukan masyarakat Minangkabau itu sendiri,” tutupnya.(*)

Maryadi/hantaran.co

Exit mobile version