Kusamnya Sejarah di Monumen Pamudo Syarif

Monumen Pamudo SyarifdiJalan Pemuda Kota Padang, Senin (9/11/2020). Sejak dipindahkan dari lokasi semula di kompleks Plaza Andalas saat ini pada 2005 lalu, kondisi monumen itu tampak kusam tak terawat. RIGA F. ASRIL

LAPORAN : Riga F. Asril

Tugu atau monumen perjuangan selayaknya jadi media untuk mengenang, menghargai, dan meneladani kisah-kisah heroik para pahlawan, yang mempersembahkan kemerdekaan bagi republik ini. Sayangnya, makin banyak tugu perjuangan yang terabaikan, bahkan hanya jadi simbol perlintasan serta lalu lalang kendaraan.

Satu dari belasan tugu perjuangan yang keadaannya memprihatinkan di Kota Padang adalah Monumen Pamudo Syarif, yang berdiri di Jalan Pemuda Kota Padang. Monumen ini awalnya dibangun untuk mengenal dan mengabadikan perjuangan Muhammad Syarif, pejuang asal Kota Padang yang gigih menentang Belanda.

Pantauan Haluan, monumen yang dibangun pada 1984 dan didisain oleh Drs. Nasbahri C. Koto itu, sudah tak lagi terawat. Terlebih, letaknya yang jauh dari pinggir jalan, membuat siapa pun cukup sulit untuk mengetahui keberadaan monumen tersebut. Bahkan, keberadaanya seolah dikaburkan oleh salah satu pusat perbelanjaan, serta terkurung di tengah jejeran lapak pedagang.

Lindawati (52), seorang pedagang kaki lima di sekitar Monumen Pamudo Syarif mengingat, bahwa tugu tersebut dipindahkan ke lokasi saat ini pada 2005 lalu. Sejak itu pula, Lindawati mengaku jarang meihat tugu itu tersentuh perawatan, apatah lagi upaya perbaikan dan pengecatan ulang.

“Dulu kalau tidak salah monumen dipindahkan tahun 2005 ke sini. Sebab di tempatnya semula akan dibangun plaza. Saya dengar tahun 2006 ada rencana untuk merenovasi sekiling monumen itu untuk dibangun taman, tapi sampai sekarang tidak kejadian. Rasanya tidak ada juga orang dari pemerintahan yang datang,” kata Lindawati kepada Haluan, Senin (9/11).

Oleh karena rencana renovasi kawasan monumen tidak kunjung terealisasi, Lindawati dan beberapa pedagang lain pun menggunakan tempat di sekitar tugu itu untuk berjualan makanan. “Sekarang, kadang-kadang sekali sebulan kami pedagang ini yang ganti-gantian membersihkan monumen itu. Hanya membersihkan saja,” katanya lagi.

Sementara itu, Zal (70), yang ditemui Haluan di salah satu warung di dekat Monumen Muhammad Syarif itu mengatakan, sebelumnya di lokasi tempat berdirinya tugu saat ini adalah terminal angkutan umum. Sebelum dipindahkan, tugu itu diakui Zal dapat terlihat jelas dari jalan dan tampak terawat dengan baik.

“Setelah dipindahkan, tidak lagi dirawat. Saya dari dulu sudah bekerja di sini. Saat terminal masih aktif dan tugu masih di posisinya yang dulu, tugu ini terawat dengan baik. Sekarang, sudah begitu keadaannya. Banyak yang tidak tahu kalau di situ ada tugu. Karena tempatnya tersuruk,” kata Zal.

Zal mengaku, sedikit banyak mengetahui tentang tugu Muhammad Syarif. Dari cerita-cerita yang ia peroleh saat masih aktif bekerja sebagai agen angkutan terminal, ia tahu bahwa Muhammad Syarif adalah sosok pemuda pejuang dari Koto Marapak, yang menentang penjajahan, hingga akhirnya dihukum mati oleh Pemerintahan Hindia Belanda.

“Sejak tugu dipindahkan, memang tidak ada pihak pemerintah yang datang melihat. Sekarang, banyak yang tidak tahu kalau di situ ada tugu pahlawan. Lihatlah sekarang, temboknya sudah hitam dan tugunya tidak lagi jelas bentuknya,” kata Zal lagi.

Berdasarkan catatan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Padang, di pusat ibu kota provinsi Sumbar saja setidaknya terdapat belasan tugu dan monumen perjuangan. Namun alih-alih jadi media pembelajaran tentang sejarah, banyak tugu hanya difungsikan sebagai tempat rekreasi dan cuci mata.

“Dinas Pariwisata biasanya melakukan perawatan sesuai dengan keadaan tugu. Jika keadaan tugu masih bagus, tidak perlu setiap tahun dilakukan perawatan. Tapi, jika ada tuga yang keadaannya sudah butuh perawatan, seperti cat yang sudah pudar atau lain-lain maka segera akan kita lakukan perawatan,” kata Arfian, Senin (9/11/2020).

Terkait kondisi Tugu Muhammad Syarif, Arfian mengatakan akan segera membicarakannya dengan jajaran terkait perawatan tugu. Momentum peringatan Hari Pahlawan, katanya, juga akan dimanfaatkan untuk segera memelihara beberapa tugu perjuangan di Kota Padang yang terkesan luput dari perhatian.

“Perencanaan untuk itu sudah ada. Nanti, di setiap tugu-tugu itu, Pemerintah Kota Padang merancang program Barwista (Barcode Wisata Sejarah). Nanti, masyarakat hanya tinggal memindai saja lewat smartphone pada barcode yang akan ditempelkan di tugu-tugu itu. Nanti, otomatis akan muncul sejarah atau makna tugu itu. Insyaallah segera realisasi,” katanya menutup.

Mengenang Muhammad Syarif

Dari berbagai sumber sejarah, Muhammad Syarif diketahui sebagai anak tunggal dari Abdul Moeis dan Nurliah. Ayahnya seorang pedagang keliling yang telah menggelar dagangan hingga ke Jambi bahkan Singapura. Sebelumnya, Muhammad Syarif pernah mengenyam pendidikan di Sekolah Taman Sari, di sekitar Kampus Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Andalas (FH Unand) saat ini.

Di masa persiapan kemerdekaan, Muhammad Syarif tergabung dalam Balai Penerapan Pemuda Indonesia (BPPI), sebuah gerakan yang bertujuan untuk memberitakan kemerdekaan Indonesia ke berbagai pelosok, dengan pusat kegiatan di kawasan Pasar Gadang Kota Padang. Muhammad Syarif juga tergabung di Pemuda Republik Indonesia (PRI) menjabat Ketua, didampingi Abdullah Busai selaku wakil ketua, dan Yahya selaku sekretaris.

Ada dua versi cerita tentang penangkapan Muhammad Syarif oleh Belanda. Pertama, Muhammad Syarif disebut ditangkap pada 26 November 1945 saat terjadinya pengepungan Belanda di Koto Marapak. Saat itu, Muhammad Syarif menerima kabar orang tuanya sakit dan memilih segera pulang. Namun begitu sampai di rumah, Syarif ditangkap dan dieksekusi di Penjara Muaro. (*)

Exit mobile version