INDONESIA RESMI RESESI, Ekonomi Sumbar Minus 2,87 Persen

Pertumbuhan Ekonomi. IST

Masih negatif di kuartal III, tapi laju pertumbuhan ekonomi Sumbar membaik ketimbang kuartal II. Semoga nanti di kuartal IV lajutnya lebih baik lagi.

Pitono

Kepala BPS Sumbar

PADANG, hantaran.co — Dampak pandemi Covid-19 masih terus berlanjut terhadap pertumbuhan ekonomi (PE) Sumbar serta Nasional. Berdasarkan laporan BPS, PE Sumbar pada kuartal III 2020 mengalami kontraksi mengalami kontraksi atau minus 2,87 persen. Sementara itu secara nasional, laju perekonomian minus 3,49 persen.

Ekonomi Sumbar yang minus pada kuartal III 2020 merupakan lanjutan atas tren negatif pada kuartal II yang tercatat minus 4,90 persen. Sama halnya dengan kondisi ekonomi secara nasional, yang sebelumnya pada kuartal II juga minus 5,32 persen. Dengan dua kali pertumbuhan yang negatif, secara resmi Indonesia masuk jurang resesi.

Meski demikian, Kepala BPS Sumbar Pitono dalam konferensi persnya secara daring mengatakan, meski ekonomi Sumbar pada triwulan ketiga kontraksi 2,87 persen (yoy), akan tetapi pertumbuhan itu mengalami perbaikan dari kuartal II yang tercatat 4,59 persen. “Masih negatif, tapi lajunya membaik ketimbang kuartal sebelumnya,” katanya, Kamis (5/11/2020).

Pitono menilai perbaikan yang terjadi itu cukup signifikan, mengingat Sumbar dan Indonesia bahkan dunia, masih berjuang untuk menghentikan pandemi Covid-19 yang telah berlangsung sejak bulan ketiga tahun 2020. “Kita masih punya kuartal keempat tahun ini, yang kita harapkan lebih baik lagi lajunya dari kuartal ketiga,” kata Pitono lagi.

Angkatan Kerja Meningkat

Selain itu, BPS Sumbar juga mencatat terjadinya peningkatan jumlah angkatan kerja pada Agustus 2020 sehingga jadi sebanyak 2,77 juta orang. Jumlah itu naik 87.740 orang ketimbang jumlah angkatan kerja pada Agustus 2019. Pitono menegaskan, bahwa komponen pembentuk angkatan kerja adalah gabungan penduduk bekerja dan penduduk menganggur.

“Agustus 2020 ini sebanyak 2,58 juta orang penduduk Sumbar bekerja, dan 190.610 orang lainnya menganggur. Dibanding tahun lalu, jumlah penduduk bekerja bertambah sebanyak 41.480 orang dan pengangguran bertambah sekitar 46 ribu orang,” kata Pitono lagi.

Sementara itu untuk Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT), pada Agustus 2020 tercatat sebesar 6,88 persen. Artinya, dari 100 orang angkatan kerja di Sumbar, sekitar 7 orang tengah menganggur. Dibanding tren tahun sebelumnya, nilai TPT pada Agustus 2020 mengalami peningkatan sebesar 1,50 poin.

“Dilihat dari tingkat pendidikan, TPT di tamatan universitas itu paling tinggi di antara tingkat pendidikan lain, yaitu sebesar 11,50 persen. Menyusul di belakangnya tamatan Sekolah Menegah Kejuruan (SMK) sebesar 10,58 persen. Artinya, penawaran tenaga kerja yang tidak terserap itu terbanyak di tingkat pendidikan Universitas dan SMK. Sementara itu mereka yang berpendidikan rendah, cenderung mau menerima pekerjaan apa saja,” kata Pitono lagi.

Berdasarkan status pekerjaan utama di Sumbar, buruh/karyawan/pegawai masih mendominasi komposisi tenaga kerja di angka 30,13 persen. Diikuti status berusaha sendiri dengan 20,84 persen, berusaha dibantu/buruh tidak tetap/buruh tidak dibayar dengan 18,05 persen, dan pekerja keluarga/tidak dibayar 16,05 persen.

“Perekonomian memang menurun sejak diberlakukannya pembatasan aktivitas di tengah pandemi. Ekonomi Sumbar sudah minus sejak kuartal II tahun 2020 ketika pandemi dimulai dan ikut berdampak pada dinamika ketenagakerjaan,” ucapnya menilai.

Titik Terburuk Berakhir

Sementara itu secara nasional, BPS juga melaporkan bahwa produk domestik bruto (PDB) RI pada kuartal III 2020 minus 3,49 persen (year on year/yoy). Dengan demikian, Indonesia resmi masuk ke jurang resesi, setelah pada kuartal II-2020 ekonomi RI juga terkonstraksi alias negatif.

“Dengan berbagai catatan peristiwa pada triwulan II-2020, ekonomi Indonesia kalau PDB atas dasar harga konstan kita bandingkan pada kuartal II-2019, maka ekonomi kontraksi 3,49 persen,” kata Kepala BPS Suhariyanto, Kamis (5/11).

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan, meski pertumbuhan ekonomi kembali negatif pada kuartal III tahun ini, namun titik terburuk perekonomian Indonesia sudah terlewati.

“Hal ini lebih baik dari triwulan sebelumnya yang sebesar 5,32 persen, menunjukkan proses pemulihan ekonomi dan pembalikan arah dari aktivitas ekonomi nasional menunjukkan ke arah zona positif,” ujar Sri Mulyani, Kamis (5/11/2020).

Bendahara negara itu menjelaskan, perbaikan utamanya ditopang dari sisi produksi. Perbaikan dari sisi produksi ditopang oleh pertumbuhan positif belanja pemerintah sebesar 9,76 persen.

“Penyerapan belanja negara yang mengalami akselerasi atau peningkatan pada kuartal III ini sampai akhir September yaitu pada periode akhir kuartal III tumbuh 15,5 persen. Terutama ditopang oleh realisasi bantuan sosial dan dukungan untuk dunia usaha terutama usaha menengah kecil,” kata Sri, dikutip dari kompas.

Menurut Sri Mulyani, percepatan realisasi anggaran pemerintah ini akhirnya mampu mendorong pemulihan ekonomi nasional. Bahkan, belanja pemerintah menjadi satu-satunya komponen pengeluaran dalam PDB yang mengalami pertumbuhan positif.

“Percepatan realisasi belanja negara yang meningkat sangat pesat pada kuartal III telah membantu peningkatan atau pembalikan dari pertumbuhan konsumsi pemerintah, yang mengalami pertumbuhan positif 9,8 persen, meningkat sangat tajam apabila dibandingkan kuartal II yang mengalami negatif minus 6,9 persen,” tutupnya.

Tak Perlu Khawatir

Sebelumnya, Pengamat Ekonomi yang juga Rektor IV Universitas Andalas (Unand) Hafrizal Handra menyebutkan, masyarakat tidak perlu khawatir meski pun Indonesia masuk jurang resesi. Sebab, hal itu tidak sampai menyebabkan harga kebutuhan menjadi naik, dan sebaliknya masih cenderung terkontrol.

“Berbeda dengan krisis pada 1998 di mana harga kebutuhan naik karena inflasi meroket, sehingga saat itu masyarakat bereaksi. Stabilitas harga menandakan persediaan pangan dan kebutuhan lain di dalam negeri dalam kondisi aman,” kata Hafrizal Handra kepada Haluan.

Di tengah kondisi PE yang minus, kata Hafrizal lagi, salah satu andalan sumber pertumbuhan ekonomi memang adalah belanja pemerintah, yang telah dianggarkan hingga dua ribu triliun lebih dengan devisit atau berutang. Namun, jika tidak dibelanjakan dengan benar, menandakan perencanaan yang tidak bagus.

“Jika itu yang terjadi, artinya pemerintah tidak mampu menstimulus ekonomi. Namun, asal belanja ini dan belanja itu juga tidak boleh. Tetap harus efektif dan efisien. Belanja yang memerlukan perhatian khusus, terutama dalam rangka penanganan Covid-19 dan mendukung perekonomian,” ucapnya lagi.

Sementara itu, Guru Besar Ekonomi Unand Prof. Dr. Elfindri menilai, yang paling merasakan dampak resesi di Indonesia adalah daerah-daerah di Pulau Jawa, selaku penopang ekonomi utama. Selama pandemi berlangsung ini, daerah tersbeut juga yang paling menderita karena minus pertumbuhannya lebih tinggi dari daerah di luar Jawa.

Faktor jebloknya investasi asing dan investasi dalam negeri, dinilai Elfindri sangat mempengaruhi negatifnya pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, harapan pertumbuhan ekonomi utama dalam kondisi resesi memang dari sektor konsumsi dan pengeluaran pemerintah.

“Pemerintah perlu membuat program-program yang bisa menggenjot konsumsi dan pengeluaran. Orang yang bergaji minimum agar diberi subsidi, meskipun tidak seluruhnya, tapi tujuannya agar orang bisa berbelanja,” katanya lagi.

Untuk menyikapi resesi, Elfindri pun mengimbau agar masyarakat tidak tinggal diam dan tetap produktif dengan melakukan beragam aktivitas kemandirian. Misal, bagi daerah-daerah yang selama ini tergantung pada produk dari daerah lain, maka harus mulai memproduksi kebutuhan sendiri.

Di samping itu, Elfindri menilai hal yang tidak boleh dilupakan selama resesi adalah mengamankan pangan nasional. Langkah-langkah seperti peningkatan kualitas pertanian beserta pengolahan hasil pertanian perlu dilakukan, sembari terus mengurangi impor dan monopoli.

“Biasanya mengimpor terigu, maka kurangi konsumsi terigu, diganti dengan ubi yang bisa diolah jadi tepung dan sebagainya. Kita harus bertahan seperti itu. Mencontoh Amerika Serikat yang resesi pada 2016, saat itu Trump mengurangi pajak, maka pemerintah Indonesia saat ini juga harus mengurangi pajak, di samping juga menyederhanakan regulasi dan mengekspansi mutu dalam negeri,” ucapnya menutup. (*)

Yesi/hantaran.co

Exit mobile version