Ditengah Babak Belurnya Hukum Indonesia, Reformasi Total MA

JAKARTA, hantaran.co – Penetapan Hakim Agung Gazalba Saleh sebagai tersangka korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) minggu lalu sebenarnya tidak mengagetkan. Terseretnya satu lagi hakim agung dalam kasus suap pengurusan perkara hanya menegaskan bahwa mafia peradilan di Mahkamah Agung (MA) memang nyata dan masif.

Karena itu, selain KPK harus terus mengembangkan kasus itu dan menangkap semua yang terlibat, reformasi luar biasa di MA harus benar-benar dilakukan. Sebagaimana juga dikatakan banyak pihak, termasuk Wakil Presiden Ma’ruf Amin dan Indonesia Corruption Watch (ICW), harus dibuat kebijakan pengawasan yang ketat di MA.

Reformasi luar biasa di MA tidak dapat ditawar karena telah lama benteng keadilan terakhir itu dirusak penjaganya sendiri. Mereka tidak sekadar menjatuhkan wibawa peradilan, tetapi juga membuat negara rugi hingga ratusan miliar rupiah. Karena itu, sekadar penangkapan yang tidak diikuti reformasi luar biasa hanya membuat jaringan mafia MA tiarap sementara. Keberadaan mereka tetap akan terus melanggengkan budaya kotor, bahkan mewariskannya kepada hakim hingga jajaran pegawai lainnya.

Masifnya jaringan mafia di MA dapat dilihat sendiri dalam kasus yang menjerat Gazalba, yang sebelumnya juga sudah menjerat Hakim Agung Sudrajad Dimyati. Dalam kasus pengurusan kasasi perdata PT Koperasi Simpan Pinjam Intidana, selain Sudrajad, pada September itu KPK juga menetapkan tersangka terhadap hakim yustisial/panitera Elly Tri Pangestu, Desy Yustria dan Muhajir Habibie selaku PNS kepaniteraan MA, serta Albasri dan Nuryanto Akmal selaku PNS MA. Dari uang suap sekitar Rp2,2 miliar, Sudrajad menerima Rp800 juta.

Sebelum sama-sama tersangkut di kasus Intidana, Sudrajad dan Gazalba juga sama-sama merupakan hakim dengan rekam jejak yang bermasalah. Sudrajad bahkan sudah diduga menyuap anggota Komisi III DPR RI agar lulus fit and proper test calon hakim agung pada 2013. Setelah diperiksa Komisi Yudisial, ia gagal menjadi hakim agung, tetapi tahun berikutnya ia malah dipilih menjadi hakim agung kamar perdata. Sementara itu, Gazalba diketahui langganan menyunat hukuman. Di antaranya, ia menyunat hukuman panitera pengganti PN Jakut, Rohadi, di kasus suap penyanyi Saipul Jamil, dari 7 tahun menjadi 5 tahun, kemudian menyunat hukuman mantan anggota Komisi V DPR Musa Zainuddin dari 9 tahun penjara menjadi 6 tahun penjara, dan ia pula yang mendiskon hukuman mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo dari 9 tahun penjara menjadi 5 tahun. Tidak hanya itu, Gazalba membuat pelaku kejahatan lingkungan bebas dari tuntutan. Contohnya, di kasus kebakaran lahan kepala sawit Kalteng, Gazalba dan Sugeng Sutrisno menolak kasasi jaksa hingga membuat perusahaan sawit inisial KS bebas dari tuntutan ganti rugi kebakaran hutan sebesar Rp935 miliar.

Sebelum semua kasus tersebut mencuat, telah berulang kali korupsi yang menjerat anggota MA terungkap. Pada 2004, KPK menemukan dugaan kasus suap Probosutedjo melalui pengacaranya, Harini, sebesar Rp5 miliar ke staf bagian perjalanan MA Pono Waluyo. Namun, tidak ada hakim agung dijadikan tersangka. Pada 2016, KPK menangkap Kepala Subdirektorat Kasasi dan Peninjauan Kembali Perdata Khusus MA Andri Tristianto Sutrisna yang disangkakan menerima duit suap sebesar Rp400 juta dari Direktur PT Citra Gading Asritama Ichsan Suadi. Tahun itu pula, KPK melakukan OTT terhadap Sekjen MA saat itu, Nurhadi. Bersama menantunya, Rezky Herbiyono, Nurhadi diduga menerima suap dan gratifikasi hingga Rp46 miliar. Dengan berbagai kasus itu, sudah sepatutnya pula kita mempertanyakan kinerja Badan Pengawasan MA. Patut dicurigai pula badan tersebut ikut melanggengkan budaya korupsi, jika tidak menutup mata atas segala kebobrokan yang terjadi.

Karena itu, reformasi total juga harus dilakukan pada lembaga tersebut beserta dengan sistem pengawasannya. Tanpa menunggu baik pengawasan maupun perbaikan dari eksternal, MA sebagai institusi seharusnya benar-benar malu akan citra mereka yang telah ‘babak belur’. Semestinya pula MA justru yang menjadi garda terdepan untuk mereformasi lembaga mereka sendiri. MA harus segera melakukan evaluasi menyeluruh terhadap integritas semua jajaran mereka. MA juga harusnya aktif berkoordinasi dengan KPK dan KY untuk mengidentifikasi segala celah korupsi di lembaga mereka dan membuat kebijakan pengawasan yang lebih baik.

Sumber: Media Indonesia

Exit mobile version