Cerita Slamet, Nelayan yang Kembali ke Profesi Pengrajin Miniatur Kapal karena Faktor Pandemi

LAPORAN : TIO FURQAN

Slamet (50), seorang nelayan yang tinggal di kawasan Batang Arau, Kota Padang, sejatinya sudah paham betul soal detail kapal. Sama seperti nelayan pada umumnya. Kesehariannya memang mengarungi laut, menangkap dan memanfaatkan ikan hasil tangkapan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Namun, pandemi Covid-19 melumpuhkan segalanya. Pendapatannya nyaris hilang. Meski memang bukan hanya Slamet dan keluarganya saja yang merasakan dampaknya. Sebagai seorang suami dan ayah, Slamet pun memutar otak demi memenuhi kebutuhan harian. Walhasil, ia ingat pada kepandaian lama.

Slamet benar-benar hapal seluk beluk kapal. Lalu, berbekal sedikit jiwa seni dan ketelatenan membuat ukiran, Slamet pun beralih sementara sebagai pengrajin miniatur kapal, yang ia ukir dari bahan limbah berupa pelapah pohon salak. Bagi Slamet, inilah peruntungan baru di tengah masa pandemi ini.

Ia mengaku ide awal membuat miniatur kapal diperoleh saat berkunjung ke perkebunan salak milik salah seorang temannya. Saat itu, ia melihat banyak pelapah pohon salak yang ia pikir layak untuk diolah. Setelah membawa pulang beberapa pelapah pohon salak itu, ia lalu mulai mengukir kapal mini.

“Setelah kapalnya jadi, salah seorang anak dari pengunjung wisata Pantai Padang datang melihat dan tertarik untuk membelinya seharga Rp250 ribu. Sejak saat itu saya mulai yakin lagi karya ini menjanjikan. Saya teruskan membuatnya sampai sekarang,” kata Slamet saat berbincang dengan Haluan, Jumat (19/3).

Sebelum melaut, Slamet mengaku pernah beraktivitas sebagai pengrajin ukiran dalam rentang tahun 2000 hingga 2005. Namun sejak menikah dan memiliki anak pada tahun 2006, ia putuskan menghentikan aktivitas itu dengan alasan kesehatan anak. Sebab, kerajinan kayu menghasilkan banyak debu yang ia khawatirkan berisiko buruk bagi sang anak.

Sejak berhenti sebagai pengrajin kayu, Slamet pun memutuskan untuk melaut. Hingga berbilang tahun kemudian pandemi Covid-19 melanda. Tepatnya pada tahun 2020 lalu.Pendapatan dari melaut yang kian menyusut kemudian menjadi alasan utama Slamet kembali pada profesi lama. Menjadi pengrajin miniatur kapal agar api di dapur tetap menyala.

“Alhamdulillah, sejak memulai lagi dan sampai sekarang, ada-ada saja orang yang datang membeli karya saya,” kata pria yang juga dipercaya sebagai ketua persatuan nelayan setempat.

Slamet mengatakan, ia memilih pelapah pohon salak sebagai bahan utama karena selain mudah mendapatkannya, juga tidak terlalu susah dalam pengolahannya. “Sebelumnya, saya pernah mencoba berbagai macam bahan, seperti kayu dan lainnya, tapi karena kendala utamanya adalah alat, makanya saya memilih pelapah pohon salak. Mengolahnya cukup dengan pisau kater,” tuturnya lagi.

Untuk proses pembuatan miniatur kapal, Slamet terlebih dulu mencari pelapah pohon salak di kawasan perbukitan Gunung Padang. Pelapah yang ia ambil adalah pelapah pohon salak liar, dan bukannya pohon salak yang ditanam warga. Selanjutnya, pekerjaan dilanjutkan dengan membuang duri-duri dari pelapah tersebut.

“Setelah dipotong, lalu dijemur di atas atap. Untuk tahap penjemuran ini, memakan waktu paling cepat empat hari dan paling lama bisa satu minggu hingga sepuluh hari. Empat hari itu kalau cuaca panas terik, tapi kalau mendung mungkin lebih empat hari. Setelah itu, saya kupas kulitnya sehingga bisa mulai tahap pengukiran,” katanya.

Hingga saat ini, Slamet mengaku telah menyelesaikan miniatur berbagai jenis kapal. Mulai dari kapal tradisional nelayan, kapal pinisi, kapal layar, hingga kapal bagan. Untuk menyelesaikan satu unit miniatur kapal, Slamet mengaku menghabiskan waktu satu minggu, tergantung tingkat kerumitan miniatur itu sendiri.

“Sedangkan untuk harga jualnya, berkisar antara Rp100 ribu hingga 4,5 juta tergantung ukuran. Ukuran paling kecil itu panjang 50 sentimeter, dan yang panjang bisa sampai 1,5 meter. Untuk pembelinya, datang dari kalangan yang beragam. Mulai dari pejabat, turis, dan pengunjung pantai lainnya. Tapi kebanyakan, kapal yang saya buat sudah laku saat proses pembuatan masih 80 persen. Alhamdulillah ada saja yang datang dan langsung berniat membeli. Jadi, siapa yang cepat, dia yang dapat,” tuturnya lagi.

Slamet mengaku, kendala yang ia hadapi dalam usaha alternatifnya ini adalah akses permodalan, untuk membeli kebutuhan bahan pendukung seperti lem, pisau, cat, dan lain sebagainya. Selama ini, uang untuk membeli bahan pendukung itu berasal dari hasil penjualan miniatur kapal karyanya.

“Kadang terhenti sebentar kalau modalnya sedang tidak ada. Saya juga ingat saat pertama kali memulai usaha ini, di mana ekonomi saya bisa dikatakan sangat susah. Saya pergi ke rumah teman-teman untuk meminta sedikit lem, minta amplas, cat, dan lain-lain. Sampai sekarang, kaleng lem, kaleng cat, dan bekas amplas pemberian teman-teman itu masih saya simpan. Jadi kenangan dan sejarah betapa berartinya bantuan teman-teman saya saat itu,” ucapnya menutup. (*)

hantaran.co

Exit mobile version