CERITA MANTAN JIHADIS SURIAH DARI SUMBAR, Yahya Terjebak di Medan Perebutan Kekuasaan

Yahya, veteran perang Suriah asal Pasaman, saat diwawancari oleh youtuber Sofyan Tsauri channel beberapa waktu lalu. Yahya mengingatkan agar masyarakat tak mudah dipengaruhi oleh doktrin di media sosial. IST

Laporan : Riga Firdaus Asril

Yahya tak menyangka, ragam tontonan dan informasi yang ia terima dan gali dari berbagai sumber, justru mengantarnya ke medan perang Suriah pada 2014. Namun kemudian, girah (keinginan) untuk menolong kaum Muslimin Sunni dari penindasan rezim menjadi surut begitu ia sadar telah terjerumus pada pertempuran bermotif politis dan kekuasaan.

Selama dua tahun hingga 2016,  Yahya menyaksikan langsung carut-marut keadaan di Suriah. Awalnya ia berpikir, perang terjadi karena pihak yang ia perkuat tengah berjuang untuk Islam. Namun ternyata, perang didasari oleh perebutan kekuasaan dan sumber daya antar para elit politik.

“Motivasi awal saya ke sana adalah tidak tega melihat kaum Muslimin Sunni ditindas rezim Presiden Bashar Al-Assad. Girah saya bangkit. Timbul keberanian untuk jihad dan mati syahid. Setelah mencari tahu, saya putuskan untuk berangkat,” ujar veteran Jihadis Jabhah An-Nusrah yang berafiliasi dengan jaringan Al Qaeda itu kepada Haluan, Jumat (4/9).

Sesampai di Suriah, kata Yahya, ia bersama lima orang lainnya dari Sumbar dipecah jadi dua kelompok. Satu kelompok digabungkan ke dalam kelompok ISIS, sedangkan kelompok lain termasuk dirinya tergabung ke dalam kelompok Jabhah An-Nusrah.

“Waktu saya berangkat, yang dari Sumbar  itu lima orang, tapi sejauh ini hanya saya sendiri yang sudah kembali. Selain kami berlima, banyak juga orang Sumbar yang gabung masuk ISIS. Saya sendiri masuk kelompok  Jabhah An-Nusrah, afiliasinya ke Al Qaeda di bawah pimpinan  Abu Muhammad Al-Jaulani Al Fatih,” ujar Yahya lagi.

Selama di Suriah, Yahya mengaku ikut perperang selama dua tahun. Kebanyakan tugas yang ia terima adalah melakukan pembebasan wilayah. Selama di Suriah, ia juga mengaku sempat belajar dengan Syeikh Abu Firas Al Assuri, seorang juru bicara Jabhah An-Nusrah sekaligus mantan tentara nasional Suriah yang berangkat ke Afganistan untuk berjihad.

Konflik yang terjadi di Suriah, menurut Yahya, berawal dari masuknya kelompok takfiri (kelompok yang mudah memberikan vonis kafir) ke wilayah Suriah. Masuknya kelompok ini semula bertujuan untuk berdakwah. Namun, setelah beberapa lama, kelompok ini justru membangun kekuatan militer.

Kelompok takfiri ini, kata Yahya lagi, kemudian memunculkan fitnah dan memaksa semua orang untuk berbaiat kepada khilafah. Padahal, sebelum masuknya kelompok ini, oposisi pemerintah dan para mujahidin telah menguasai hampir 70 persen wilayah Suriah. Namun kemunculan ISIS berhasil membuat konsentrasi oposisi dan mujahidin terpecah.

“Oposisi dan mujahidin tidak hanya fokus menggulingkan pemerintah, tetapi juga harus menghadapi serangan dari kelompok takfiri dan ISIS yang berdiri di belakang, dan sangat jarang menyerang pemerintah,” katanya lagi.

Yahya melanjutkan, ISIS bahkan sempat menfatwakan bahwa semua warga yang ikut menjadi mujahidin adalah kaum kafir. Hingga beberapa kali ISIS menembakan gas beracun ke daerah lawan yang mereka namai kampung kafir atau darul kufur.

“Saya kembali ke Indonesia pada 2016 lalu. Saat perjalanan pulang, sempat ditangkap di Malaysia hingga akhirnya dideportasi ke Indonesia. Setiba di Indonesia, ditahan lima tahun. Saya sangat menyesali hari-hari itu,” kata Yahya lagi, yang juga pernah membeberkan kisahnya di kanal youtube Sofyan Tsauri channel beberapa waktu lalu.

Mengenang kesalahannya di masa lalu, pemuda asal Pasaman itu mengajak warga Indonesia, terutama generasi muda di Sumbar, agar tidak mudah terpengaruh dengan doktrin-doktrin perang yang bersiliweran di media sosial (medsos). Apalagi, tergiur untuk menjadi jihadis dan memutuskan berangkat untuk perang ke Suriah.

“Saya berpesan kepada teman-teman semua, umumnya pada seluruh warga Indonesia. Jika antum ada girah untuk berjihad, maka berpikirlah dulu sebelum berangkat. Sebab tak semuanya sesuai yang dilihat. Jangan terpengaruh doktrin di medsos atau dari mana pun untuk berangkat ke sana,” kata Yahya mengingatkan.

Sebelum berangkat ke Suriah pada 2014 lalu, Yahya mengaku sempat kuliah di Akademi Dakwah Indonesia (ADI) Aqabah Cabang Bukittinggi. Namun, saat perkuliahan baru jalan beberapa bulan, ia memutuskan berangkat ke medan perang di Suriah sebagai jihadis.

“Saya tidak sampai satu semester kuliah. Baru beberapa bulan. Hasrat untuk jihad memupuskan semuanya saat itu. Saya meninggalkan seluruh aktivitas di kampus. Sedikit beruntung, selama di Suriah saya menekuni bahasa Arab,” ucapnya menutup. (*)

Exit mobile version