Bunyian Kayu Dalo Dari Pedalaman Rimba Silokek

TALEMPONG KAYU DURIAN GADANG

Talempong

Tradisi seni talempong. IST

LAPORAN : KIKI NOFRIJUM

Rasanya, seni tradisi sampai sekarang ini masih kurang mendapatkan ruang gerak. Adapun geliatnya yang muncul ke permukaan (festival, iven-iven budaya, maupun yang lainnya), itupun sepertinya ada batas ruang, tidak jelas ujung pangkalnya, dan tidak jelas juga tepat sasarannya. Apakah diperuntukkan bagi masyarakat bawah yang akan menginterpretasikan nilai-nilai budaya, apakah diperuntukkan bagi masyarakat menengah yang akan mengaminkan saja, atau diperuntukkan bagi masyarakat atas yang akan menyokong jalannya nilai-nilai kebudayaan.

Pada akhirnya tujuan seni tradisi sebagai salah satu wujud kebudayaan itu tetaplah tidak tersampaikan, dan akhirnya pula, gema kebudayaan itu masih seperti itu-itu juga. Padahal Budayawan Indonesia, Hilmar Farid pernah menuliskan, bahwa kebudayaan itu salah satu bagian dari energi terbarukan yang akan ikut berperan vital bagi ketahanan nasional nantinya.

Belum lagi seni tradisi itu datangnya dari pedalaman kampung yang terabaikan, di mana keberadaannya sekarang ini belum tentu juga dijaga oleh masyarakatnya. Sesekali penggiat seni, akademisi, maupun pihak lainnya hanya merantaukan seni tradisi ke daerah perkotaan ke dalam bentuk iven ataupun festival budaya. Alhasil, sifatnya hanya menjadi sebuah pertunjukan dan apresiasi seni yang tidak ada kelanjutan pasti.

Banyak dari kita yang kini telah menghiraukan peradaban dari daerah-daerah pedalaman. Padahal, sesungguhnya peradaban dari daerah pedalaman itu memiliki sumbangsih besar terhadap jalannya peradaban yang bertransisi menuju era kemajuan. Namun kenyataannya kini, di era yang berbondong-bondong menuju kemajuan kita ibarat acuh dan sengaja untuk lupa akan betapa pentingnya mengetahui hal yang demikian.

Bayangkan jika itu tidak kita kemas, lalu hilang segala saksi sejarah dan peradaban yang ada di pedalaman sana, betapa meruginya kita jika kita benar-benar memahami akan pentingnya itu. Apalagi penguatan nilai-nilai kebudayaan itu telah dikuatkan pula oleh Undang-undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, di mana semuanya harus bertanggung jawab untuk menjaga, merawat, mengamankan, maupun dalam bentuk lainnya.

Di antara daerah pedalaman yang ada di Sumatra Barat ini, salah satunya dapat kita lihat dan rasakan di Nagari Durian gadang, Kecamatan Sijunjung, Kabupaten Sijunjung. Daerah ini merupakan salah satu daerah pedalaman yang hanya dinaungi oleh bebukitan, rimba lebat, dan sungai Batang Kuantan yang mengalirinya.

Nagari Durian Gadang yang masih terbilang jauh dari kata maju, nyatanya memiliki peradaban yang cukup besar, salah satunya seni tradisi. Nagari Durian Gadang ini memiliki seni tradisi yang unik dan hanya dimiliki oleh masyarakat Durian Gadang saja, yakninya kesenian musik tradisi Talempong Kayu Durian Gadang.

Talempong Kayu Durian Gadang ini memanglah tidak sefamiliar seni musik tradisi lainnya. Akan tetapi bila ditilik lebih dalam, Talempong Kayu Durian Gadang memiliki nilai historis yang sangat menarik. Semua yang mengitari Nagari Durian Gadang mulai dari rimba dan aliran sungai Batang Kuantan, memiliki keterikatan yang saling terhubung. Intinya, seni tradisi Talempong Kayu Durian Gadang ada karena rimba dan aliran Batang Kuantan tersebut.

Talempong Kayu Durian Gadang dan Batang Kuantan

Aliran sungai Batang Kuantan dan kesenian musik tradisi Talempong Kayu Durian Gadang tidak akan bisa dilepaskan ikatannya, karena keduanya merupakan satu kesatuan yang saling terikat satu sama lainnya. Sejarah yang hingga kini hanya dilisankan secara turun temurun itu meninggalkan bukti sejarah sebagai pegangan terkuat (Nature of Point), yaitu keberadaan kelompok seni Sanggar Aliran Batang Kuantan yang menjadi pewaris tunggal kesenian Talempong Kayu secara turun temurun.

Talempong Kayu Durian Gadang ini lahir dari peradaban sungai Batang Kuantan. Sehingga, kesenian Talempong Kayu hanya dimiliki dan berada di sekitaran aliran Batang Kuantan tepatnya bagi masyarakat di Nagari Durian Gadang. Menurut tuturan sejarahnya, Talempong Kayu merupakan alat musik yang memang terbuat dari kayu dengan bahan dasar kayu Dalo.

Kayu Dalo sendiri begitu banyak keberadaannya di rimba Durian Gadang sealiran Batang Kuantan. Kayu Dalo ini ditransisikan menjadi Talempong Kayu dikarenakan masyarakat Durian Gadang yang dulunya sering beraktivitas ke hutam untuk mencari kayu bakar maupun bekerja, meyakini bahwa kayu Dalo dapat menghasilkan bunyi yang begitu alami dengan dengungan yang unik dan khas dibandingkan dengan kayu-kayu jenis lainnya.

Dalam pembuatannya, balok-balok dari kayu Dalo yang ukuran panjangnya sekitar 50cm itu dikeping menjadi dua bagian. Ada sekitar 5 atau 6 balok yang dikeping itu akan menjadi dasar dari Talempong Kayu tersebut. Jauh sebelum adanya pengukur bunyi nada, masyarakat Durian Gadang hanya meyakini insting alami dari dirinya untuk menentukan bunyi nadanya menjadi nada pentatonik yang dikenal sekarang ini. Sebagai periasnya sekarang ini, Talempong Kayu yang telah jadi itu akan diwarnai dengan cat di bagian pangkal dan ujung Talempongnya.

Setalah pola dan bunyi yang dihasilkan telah menghasilkan ritme yang teratur dan enak didengar, barulah Talempong Kayu itu bisa dimainkan. Talempong Kayu yang akan dimainkan juga akan diiringi dengan alat musik khas lainnya seperti Gondang Sapasang (Gendang sepasang), Aguang (Gong), dan Boto (Botol).

Dalam permainannya, Talempong Kayu akan dimainkan oleh sekitar 5 atau 6 orang yang terdiri dari 2 orang pemain Talempong Kayu, 2 orang pemain Gondang Sapasang, 1 orang pemain Aguang dan 1 orang lagi pemain Boto. Cara memainkannya pun dimainkan dengan posisi duduk, terutama bagi yang memainkan Talempong Kayu duduknya merentangkan kedua kaki dengan Talempong Kayu berada di atas kedua paha pemain. Paduan bunyi yang dihasilkan dari masing-masing pola itu akan menghasilkan irama dan harmonisasi bunyi yang disebut sebagai kesenian musik tradisi Talempong Kayu Durian Gadang.

Meski kelengahan menerjang keberadaannya, kesenian Talempong Kayu Durian Gadang yang telah mulai lekang dek panas dan lapuk dek hujan itu masih dijaga sepenuh hati oleh Sanggar Aliran Batang Kuantan. Adanya Sanggar Aliran Batang Kuantan kini tidak hanya menjadi saksi sejarah yang menceritakan masyarakat, rimba Durian Gadang, dan aliran sungai Batang Kuantan saja, akan tetapi juga menggambarkan sebuah keraguan akan keberadaan Talempong Kayu Durian Gadang di masa mendatang. Sebab, Sanggar Aliran Batang Kuantan hanya diisi oleh pelaku seni yang telah lanjut usia, tanpa adanya tanggung jawab generasi muda untuk melanjutkannya.

Sulitnya Mencari Panggung untuk Berbunyi

Meskipun ikatan sejarah Talempong Kayu dan Batang Kuantan ibarat ibu dan anak , tapi agaknya kini kemajuan mulai melepaskannya secara perlahan. Sejarahnya seakan menghilang dan bunyi dari Talempoing Kayu sendiri begitu sulit untuk didengar sekarang ini. Talempong Kayu Durian Gadang ini telah kesulitan untuk mencari panggungnya.

Entahlah, apakah ini juga dipengaruhi oleh sejarahnya atau tidak, Talempong Kayu Durian Gadang sendiri secara fungsinya dulu memang hanya sebagai media penghibur saja. Talempong Kayu ini hanya berperan di belakang layar. Artinya, suara Talempong Kayu hanya dapat didengar dan ditemukan ketika sekelompok ibu-ibu dan bapak-bapak yang tengah sibuk bergotong royong memasak (Manolong Ka Dapua) di belakang dapur ketika adanya upacara perkawinan seseorang. Sambil memasak dan bercanda gurau melepas penat, mereka memainkan Talempong Kayu tersebut.

Selain itu, Talempong Kayu Duriang Gadang juga difungsikan untuk mengiringi prosesi adat lainnya, seperti pengiring pertunjukan Silek Podang yang juga menjadi silat khas masyarakat Durian Gadang, pengangkatan gelar, dan berbagai upacara adat lainnya.

Kini apa mau dikata, dengung suara dari susunan balok kayu Dalo itu semakin jauh dari pendengaran. Suaranya sayut-sayut terdengar, baik itu pada pegelaran adat ataupun yang lainnya. Bukti pahit yang ditinggalkan hanyalah bertahannya Sanggar Aliran Batang Kuantan yang tetap setiap memainkan dan menjaganya. Tercatat, Sanggar Aliran Batang Kuantan hanya beberapa kali tampil dalam pertunjukan yang terbilang besar.

Bila disimpulkan, sangatlah jelas bahwa kompleksitas dari kearifan lokal Nagari Durian Gadang terbungkus baik oleh komponen-komponen (masyarakatnya, rimbanya, adat budayanya, dan juga Batang Kuantan yang mengalirinya) yang saling menghubungkannya.

Tentu kini dan selanjutnya, keberadaan akan nilai-nilai sejarah dan peradaban yang dilahirkan oleh aliran Batang Kuantan itu haruslah diselamatkan. Penyelematannya tentu harus datang dari berbagai aspek yang akan selalu mendorongnya. Sebab tanggung jawab kebudayaan bukanlah diperuntukkan bagi orang kompeten yang membidangi urusan kebudayaan saja, tapi urusan kebudayaan itu adalah tanggung jawab bersama.

Ada banyak cara untuk kita bisa berperan dalam penyelamatannya. Mulai dari dukungan moril (tanpa merendahkan), mengarsipkan dan mendokumentasikannya, menuliskan dan mempublikasikannya, serta cara-cara lainnya yang berorientasi kepada nilai-nilai pelestarian agar keberadaan seni tradisi, termasuk kesenian musik tradisi Talempong Kayu Durian Gadang bisa ada dan memiliki generasi penerus di masa yang akan datang. Sebab, kebudayaan bukanlah sekadar untuk peningkatan sektor kebudayaan dan kepariwisataan saja, tapi kebudayaan adalah sebagai salah satu wujud untuk menjaga dan meningkatkan ketahanan nasional bagi bangsa dan negara nantinya. (*)

Exit mobile version