Buntut Panjang Polemik Berjilbab di SMKN 2 Padang

Siswa

Kerudung. Ilustrasi

PADANG, hantaran.coPolemik kewajiban berjilbab di SMKN 2 Kota Padang berbuntut kian panjang. Kemendikbud RI bahkan menegaskan harus ada sanksi tegas bagi pihak yang melanggar aturan satuan pendidikan dalam kasus tersebut. Sementara itu beberapa tokoh di Sumbar ikut angkat bicara memberi respons.

Kasus ini berawal dari keberatan yang disampaikan orang tua dari salah seorang pelajar SMKN 2 Padang berinisial JCH, yang menolak aturan wajib berjilbab karena anaknya berstatus nonmuslim. Meski pun kemudian pihak sekolah mengakui kesalahan, nyatanya persoalan ini terus menggelinding hingga ke pemerintah pusat.

Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumbar Shofwan Karim Elha menilai, mestinya aturan yang diterapkan di sekolah memang tidak boleh mengganggu hak masyarakat dalam memperoleh pendidikan. Sepanjang pakaian yang digunakan siswi sopan tidak perlu dipaksa untuk menggunakan jilbab.

“Namun, jika siswi nonmuslim menggunakan jilbab atas kemauannya sendiri, ya tidak masalah. Dibutuhkan kedewasaan dari seluruh pihak dalam polemik yang terjadi ini,” kata Shofwan.

Shofwan Karim menyandinkan polemik tersebut dengan apa yang dilakukan oleh salah seorang mahasiswi nonmuslim di Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar, yang mengaku bisa beradaptasi di lingkungan Perguruan Tinggi Islam dengan cara mengenakan jilbab.

“Itu dilakukan tanpa paksaan dari pihak kampus. Malah, kampus memberi kebebasan, tapi akhirnya mahasiswi itu yang memutuskan untuk menggunakan jilbab untuk beradaptasi. Ini yang seharusnya dijadikan contoh. Namun, untuk menuju ke situ, butuh kedewasaan dari semua pihak,” katanya mengulang.

Di sisi lain, Mantan Wali Kota (Walkot) Padang Fauzi Bahar mengakui bahwa aturan penggunaan jilbab di sekolah di Kota Padang lahir saat ia menjabat pada 2005 lalu. Namun, ia mengaku heran aturan tersebut kemudian dipermasalahkan setelah 15 tahun berjalan tanpa ada yang menmpersoalkan.

“Itu sudah lama sekali, kok baru sekarang diributkan? Kebijakan 15 tahun yang lalu itu. Semula, berupa imbauan, tapi kemudian menjadi Instruksi Walikota Padang No 451.442/BINSOS-iii/2005. Sudah ada sejak zaman saya jadi wali kota, bukan sekarang saja,” kata Fauzi, sebagaimana dikutip dari detik.

Fauzi mengatakan, selain menjaga kaum perempuan, kebijakan itu dimaksudkan untuk melestarikan kebudayaan Minangkabau. “Jauh sebelum republik ini ada, gadis Minang sudah berbaju kurung. Kita mengembalikan adat Minang berbaju kurung itu. Pasangan baju kurung adalah selendang. Agar tak diterbangkan angin, ada kain yang dililitkan ke leher, itulah yang namanya jilbab,” katanya lagi.

Sementara itu, Pengamat Komunikasi Politik dari Universitas Andalas (Unand) Najmuddin M Rasul menilai, polemik aturan berjibal di SMKN 2 Padang yang baru terjadi pada tahun ini bisa saja dilatarbelakangi oleh motif tertentu lain. Sebab, aturan tersebut telah ada sejak tahun 2005 dan tidak pernah memunculkan persoalan seperti sekarang.

“Di tengah situasi negara yang dirundung banyak persoalan besar, membuat banyak orang bisa berspekulasi bahwa ini adalah pengalihan isu belaka. Jika benar demikian untuk kasus ini, maka teori yang dipakai adalah teorinya Tesa S. Huntington (1990), Clash of civilization atau pembenturan antara budaya dengan agama,” kata Najmuddin kepada Haluan.

Dugaan tersebut, kata Najmuddin, bukan disampaikan tanpa alasan. Sebab, selain aturan itu telah diterapkan sejak lama, sejauh ini ia juga menilai bahwa kehidupan masyarakat lintas agama di Kota Padang dan Sumbar pada umumnya, berjalan nyaris tanpa riak sedikit pun.

“Instruksi itu jika dilihat lebih dalam, maka tidak ada pemaksaan bagi siswi nonmuslimnya. Filosofi lahirnya aturan itu juga sebagai upaya Pemerintah Kota Padang untuk mempertahankan kearifan lokal dan melindungi remaja dari pengaruh buruk,” katanya lagi.

Kedudukan Hukum

Di sisi lain, Ketua Badan Pengurus Wilayah Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI) Sumbar Muhammad Fauzan Azim menerangkan, bahwa aturan pakaian bagi pelajar di tingkat dasar dan menengah telah diatur dalam Permendikbud 45 tahun 2014 tentang Pakaian Seragam Sekolah Bagi Peserta Didik Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah.

“Pakaian sekolah sudah dibagi dalam tiga kategori, yaitu seragam nasional, pramuka, dan pakaian seragam khas sekolah. Pakaian khas ini diatur oleh setiap sekolah dengan tetap memperhatikan hak setiap warga negara untuk menjalankan keyakinan agamanya masing-masing,” kata Fauzan kepada Haluan, Minggu (24/1).

Menurut Fauzan, kewajiban siswi nonmuslim menggunakan jilbab memang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, dan dapat dikatakan melanggar hak asasi pelajar tersebut. Berbeda halnya jika sekolah mewajibkan semua siswi memakai rok panjang. Sebab, rok panjang tidak menunjukkan identitas keagamaan.

“Aturan berbusana di SMKN 2 Padang ini memang diatur dalam Instruksi Walikota Padang Nomor 451.442/BINSOS-iii/2005. Dikeluarkan tahun 2005 oleh Wali Kota Fauzi Bahar. Jika itu bukan kehendak siswi sendiri, ya tidak boleh dipaksakan. Aturan itu sebenarnya bisa batal demi hukum, karena itu kebijakan atau aturan yang tidak mengikat,” kata Fauzan lagi.

Sikap Kemendikbud

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) sendiir mengaku menyesalkan dan menilai polemik yang terjadi di SMKN 2 Padang sebagai bentuk tindakan intoleransi Oleh karena itu, Kemendikbud menyatakan harus ada sanksi tegas terhadap setiap pelaku yang terbukti melanggar peraturan di satuan pendidikan tersebut.

Hal itu disampaikan Direktur Jenderal Pendidikan Vokasi Kemendikbud Wikan Sakarinto, dalam rilis pers yang diakses Haluan di laman resmi kemdikbud.go.id. “Ketentuan tentang pakaian di satuan pendidikan telah diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan,” kata Wikan.

Ketentuan tentang seragam sekolah, sambungnya, diatur melalui Permendikbud Nomor 45 tahun 2014 tentang Pakaian Seragam Sekolah Bagi Peserta Didik Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah, di mana tidak mewajibkan model pakaian kekhususan agama tertentu menjadi pakaian seragam sekolah.

Selain itu, sekolah disebut tidak boleh membuat peraturan atau imbauan bagi peserta didik untuk menggunakan model pakaian kekhususan agama tertentu sebagai pakaian seragam sekolah. Sekolah juga tidak boleh melarang jika peserta mengenakan seragam sekolah dengan model pakaian kekhususan agama tertentu berdasarkan kehendak orang tua, wali, dan peserta didik yang bersangkutan.

“Dinas Pendidikan harus memastikan Kepala sekolah, guru, pendidik, dan tenaga pendidikan untuk mematuhi Permendikbud Nomor 45 tahun 2014,” ujar Wikan lagi.

Menyikapi kasus ini, Kepala Dinas Pendidikan Sumbar, telah menyatakan sikapnya bahwa akan melakukan evaluasi terhadap aturan yang sifatnya diskriminatif, dan mengambil tindakan tegas terhadap aparatnya yang tidak mematuhi peraturan. Wikan mengapresiasi langkah pemerintah daerah yang bertindak cepat untuk menuntaskan persoalan ini.

“Kami mendukung setiap langkah investigasi dan penuntasan persoalan ini secepat mungkin untuk memastikan kejadian yang sama tidak terulang baik di sekolah yang bersangkutan atau di daerah lain,” ucapnya. Kemendikbud berharap, seluruh warga pendidikan mampu memahami, menjalankan, dan menjaga agar rasa saling menghormati dan toleransi dapat diwujudkan semaksimal mungkin. “Jangan terjadi lagi praktik pelanggaran aturan terkait pakaian seragam yang menyangkut agama dan kepercayaan di satuan Pendidikan. Kami akan mengambil langkah tegas,” ucapnya menutup. (*)

Riga/hantaran.co

Exit mobile version