Asa Baru Memurnikan Beras Solok (Bag. 1)

Saat Rasa, Bentuk, dan Iklim Menentukan Selera

memurnikan beras solok

Ilustrasi beras solok

Laporan: Rivo Septi Andries

Bareh Solok bareh tanamo, Bareh Solok lamak rasonyo. Penggalan bait lagu yang dipopulerkan penyanyi Minang Almarhumah Elly Kasim dan Ernie Johan itu menggambarkan betapa enaknya Beras Solok, sehingga sampai-sampai menjadi senandung.

Lagu yang populer sejak tahun 1960-an itu iku membantu Beras Solok menjadi semakin dikenal di Sumatra Barat, bahkan hingga pulau lainnya di Indonesia. Bahkan, rumah makan (Padang) yang ada di se-nusantara juga memakai beras ini.

Budayawan Minang, Musda Dahrizal atau yang biasa disapa Mak Katik mengatakan, Beras Solok memang terkenal dengan cita rasanya yang enak, dan semakin populer berkat lagu Bareh Solok.

“Lagu tersebut mengsugesti sehingga menjadi lebih populer terutama di kalangan menengah ke atas. Kenapa? Karena pada saat sudah mulai banyak orang yang mempunyai tape atau kaset. Inilah yang membuat Beras Solok semakin dikenal,”ucapnya.

Dari segi selera, dikatakan Mak Katik, masyarakat Minangkabau mempunyai “syarat” khusus dalam memilih beras atau nasi.Salah satu karakter beras yang dicari adalah beras bakarai. Dalam bahasa Minang, bakarai diartikan tidak lengket, tetapi lembut. Karakter inilah yang disukai lidah masyarakat di Sumbar.

“Kalau beras Pandan Wangi dari Jawa itu, seperti bergetah, seperti ketan. Jadi, kalau dimakan dengan kuah kurang enak. Sementara masakan Minang banyak yang berkuah dan berminyak sehingga cocok dengan nasi yang bakarai. Kebiasaan masyarakat memakai beras Bakarai sudah berlangsung lama. Sehingga kalau orang Minang pergi marantau atau keluar daerah, pasti nasi yang dicari juga yang bakarai,” kata Mak Katik lagi.

Lebih lanjut disampaikannya, ia mempercayai bahwa beras yang baik juga dipengaruhi lokasi sawah (tanah). Jika berada di lokasi yang tepat, juga akan menghasilkan beras yang baik. Dan Solok, termasuk memiliki sawah dengan tanah yang tepat, khususnya tanah di bawah Gunung Talang.

“Jadi kalau lunau-nya agak hitam, dan di bawah gunung itu akan bagus. Di Solok kan di bawah Gunung Talang. Hal itu bisa dibandingkan. Cobalah tanam Sokan atau Anak Daro di daerah lain seperti Lubuk Minturun (Padang) atau Aia Pacah (Padang), pasti berbeda, tidak akan bertemu rasanya. Artinya, tetap Sokan dan Anak Daro yang di Solok yang punya rasa yang khas,”ucapnya.

Hanya di Sumbar dan Kalimantan

Pemulia padi varietas Anak Daro, Syahrul Zen mengatakan, rasa nasi itu ditentukan oleh preferensi dan mempunyai kategori. Di antaranya, beras pulen dan beras pera. Beras jenis pera ini banyak disukai di dua daerah di Indonesia, yakni di Sumbar dan Kalimantan Selatan.

“Beras pera ini yang berkembang umumnya disukai etnis Minang. Selain itu, beras pera dalam analisa kimianya memiliki amilosa di atas lima persen. Kemudian, ada beras pulen yang amilosanya di bawah 25 persen. Beras ini yang disukai di luar Sumbar. Untuk beras pera selain di Sumbar, ada sebagian kecil di Kalimantan Selatan yang menyukai jenis ini,” tuturnya.

Ia menyampaikan, ada kecenderungan unik selera masyarakat di Sumbar dalam memilih (mengelompokkan) beras. Dicontohkannya, beras nasional dan internasional memiliki ciri ramping dan panjang. Untuk di Sumbar, meski berasnya beras pera, tetapi jika memiliki ciri ramping dan panjang, akan dimasukkan ke kategori 2 oleh masyarakat. Para pedagang juga mempunyai peran dalam mengelompokkan. Ini terjadi pada varietas Batang Piaman yang panjang dan ramping.

“Padahal, Batang Piaman masuk beras bagus. Jadi di Sumbar ini kecenderungannya berasnya tidak terlalu panjang dan tidak juga terlalu pendek, dan bulat. Nah yang disukai itu Beras Solok seperti Anak Daro, 42, dan Sokan,” kata Zen.

Dijelaskannya, Solok dan daerah lain di Sumbar mempunyai perbedaan dari hasil berasnya. Bahkan di Solok tidak semua wilayah yang menghasilkan beras yang bagus. Beras kelas tertinggi di Solok ada di sekitar Nagari Jawi-Jawi dan Talang, karena di lokasi ini iklim dan lingkungan sangat menentukan produktivitas. Bahkan mempengaruhi rasa.

“Iklim daerah sedang itu mempengaruhi produktivtas, intensitas kemarau, jadi mataharinya tinggi sempurna airnya cukup. Tapi perbedaan suhu siang dan malam nyata,” tuturnya.

“Contoh kalau di Nagari Guguak (Kabupaten Solok) malamnya dingin tampak sekali kontrasnya. Sedangkan di Padang tidak jauh perbedaan suhu antara siang dan malamnya. Jadi di malam itu ada perombakan karbohidrat dan gula, sehingga mengakibatkan produktivitas itu tinggi di daerah dataran sedang,”ujarnya lagi.

Ia menyebutkan, iklim juga berpengaruh pada tanaman. Semakin tinggi tanaman, maka semakin tinggi elevasi, dan umurnya semakin panjang. Jika varietas Sokan ditanam di dataran rendah seperti di Kota Padang, maka umurnya hanya 100 hari.Sementara jika ditanam di Jawi-Jawi, bisa mencapai 115 dan 120 hari.

Menurutnya, dalam pemilihan varietas, diperlukan vairietas yang mau beradaptasi dengan lingkungan. Umumnya, varietas yang bisa bertahan dengan ketinggian mencapai ketinggian 700 meter dari permukaan laut (mdpl).

“Untuk di atas 700 meter, suhunya sangat berpengaruh. Kalau Sokan dianjurkan hanya sampai ketinggian 700-800 seperti di Padang Panjang. Tapi dengan catatan pada musim hujan usahan jangan ditanam karena pada musim itu ketehanan penyakit pada varietas ini rentan,”ucapnya.

Sementara itu untuk Anak Daro, dari hasil pengalaman petani, mampu bertahan di ketinggian 1.200 mdpl dari permukaan laut. “Itu di daerah Pandai Sikek. Saya pernah melakukan penilitian di situ. Tapi produktifitasnya tentu berbeda dengan yang 800 mdpl,” katanya. (bersambung…)

 

Exit mobile version