Pertamina Kritis, DPR Minta Pemerintah Bayar Utang Rp100 T

JAKARTA, hantaran.co – Komisi VII DPR RI mendesak pemerintah segera membayar utang sebesar Rp100 triliun kepada PT Pertamina (Persero).

Dikutip dari CNBC Indonesia, hal tersebut dilakukan agar arus kas perusahaan negara tidak semakin tertekan akibat kenaikan harga minyak mentah dunia.

“Komisi VII mendesak pemerintah agar kompensasi kepada Pertamina yang bernilai Rp100 triliun segera dibayarkan guna mencegah krisis likuiditas Pertamina yang dapat mengganggu pengadaan dan penyaluran BBM nasional,” kata Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Eddy Soeparno saat membacakan kesimpulan Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi VII dengan Direktur Jenderal Migas Kementerian ESDM, BPH Migas dan Pertamina, Selasa (29/3/2022).

Selain itu, pihaknya juga mendukung perubahan komposisi pemberian subsidi dan kompensasi dengan meningkatkan porsi BBM subsidi yang lebih besar. Komisi VII juga mendesak supaya Dirjen Migas Kementerian ESDM menyiapkan roadmap dan infrastruktur cadangan minyak strategis atau Strategic Petroleum Reserves (SPR) guna mewujudkan cadangan BBM nasional.

Berdasarkan pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, pemerintah memiliki kewajiban alias utang kepada Pertamina dan PLN dengan total mencapai Rp109 triliun hingga akhir 2021.

Kompensasi ini dilakukan karena pemerintah meminta Pertamina menahan harga jual Bahan Bakar Minyak (BBM) non subsidi atau penugasan seperti Premium, Pertalite, dan PLN juga tidak menaikkan tarif listrik non subsidi kepada masyarakat.

“Secara total dalam hal ini pemerintah memiliki kewajiban Rp109 triliun. Ini sampai akhir 2021,” ujar Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam konferensi pers APBN, Senin (28/3/2022).

Setidaknya, sepanjang 2020 kompensasi yang harus dibayarkan pemerintah karena menahan kenaikan harga BBM dan tarif listrik adalah Rp63,8 triliun. Pemerintah mencicil di tahun berikutnya sebesar Rp47,9 triliun. Namun, khusus BBM masih ada sisa yang harus dibayarkan sebesar Rp15,9 triliun.

Kemudian pada 2021, harga kembali ditahan walaupun dari sisi global mulai ada kenaikan harga minyak dunia. Hal ini akhirnya menambah jumlah kompensasi yang harus dibayarkan, sebesar Rp93,1 triliun.

Sementara total kompensasi yang harus dibayarkan saat ini adalah Rp109 triliun, meliputi Rp84,4 triliun untuk BBM dan Rp24,6 triliun untuk listrik.

“APBN mengambil seluruh stock yang berasal dari minyak dan listrik. Masyarakat tidak mengalami dampak namun APBN yang harus mengambil konsekuensinya,” tuturnya.

Pada 2022, kata Sri Mulyani tekanan ini diperkirakan bakal berlanjut. Ia melaporkan harga minyak mentah Indonesia (ICP) rata-rata sudah mencapai US$ 90,81 per barel (ytd), lebih tinggi dari asumsi APBN yang sebesar US$ 63 per barel.

Di sisi lain, ada kenaikan konsumsi BBM dari 1,18 juta KL menjadi 1,39 juta KL pada 2022, dan LPG 3 kg dari 603,3 juta kg menjadi 632,7 juta kg. Pelanggan listrik subsidi juga meningkat jadi 37,2 juta menjadi 38,2 juta pelanggan.

“Kondisi ini masih akan berlangsung sampai 2022. Sebab, sampai 3 bulan ini belum ada perubahan. Sehingga akan menyebabkan kenaikan tagihan kompensasi yang diperhitungkan,” ucapnya.

hantaran/rel

 

Exit mobile version