Agam, hantaran.Co–Di balik senyum kecil seorang anak bernama Zikri Alhakim (9 tahun), tersimpan perjuangan besar melawan penyakit genetik yang telah menemaninya sejak bayi. Sudah sembilan tahun ia harus menjalani transfusi darah secara rutin demi bertahan hidup.
Zikri mulai diketahui sakit ketika berusia tiga bulan. Sang ibu, Upik Ramlah, masih ingat betul bagaimana awalnya anaknya didiagnosis memiliki masalah pada paru-paru.
“Waktu itu dokter bilang ada gangguan di paru-paru. Setelah berobat, kondisi Zikri bukannya membaik, malah semakin lemah. Akhirnya dokter menyarankan pemeriksaan lebih lanjut,” ujar Upik kepada Haluan saat ditemui di kediamannya, Senin (27/10).
Baru ketika Zikri berusia sembilan bulan, hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa ia mengidap penyakit genetik thalasemia mayor, sebuah kondisi kelainan darah yang membuat tubuh tidak mampu memproduksi hemoglobin secara normal.
“Sejak saat itu, setiap bulan Zikri harus transfusi darah. Sampai sekarang, sudah sembilan tahun kami jalani,” tutur Upik lirih.
Kini, Zikri Alhakim tinggal bersama Upik dan ayah sambungnya. Sang ayah kandung telah pergi meninggalkan mereka sejak Zikri baru berusia tiga hari.
“Ayah kandungnya pergi begitu saja dan sejak itu saya memutuskan berpisah. Dulu sempat ada bantuannya, tapi sekarang sudah tidak lagi,” kisah Upik dengan nada sendu.
Meski berat, Upik bertekad memberikan pengobatan terbaik untuk putranya. Namun, kondisi ekonomi keluarga menjadi kendala besar. Suaminya kini hanya bekerja sebagai buruh lepas yang gaji tak menentu, sementara Upik berjualan kacang goreng dari rumah untuk menambah penghasilan.
“Kalau lagi ramai, lumayan bisa bantu beli kebutuhan Zikri. Tapi kadang juga mandek, nggak ada yang beli,” ujarnya.
Saat ini, satu-satunya harapan tetap datang dari BAZNAS Kabupaten Agam yang memberikan bantuan sebesar Rp500 ribu setiap bulan selama tiga bulan, sebelum kemudian diperbarui kembali.
“Alhamdulillah masih ada bantuan dari BAZNAS. Itu sangat membantu untuk ongkos ke rumah sakit,” kata Upik.
Meski mendapat bantuan BPJS untuk pembelian obat, biaya transportasi dan konsumsi bergizi tetap menjadi beban tersendiri.
“BPJS memang menanggung obat, tapi kami tetap butuh biaya ke rumah sakit dan makanan bergizi buat Zikri. Kadang saya bingung harus ambil dari mana,” ujarnya dengan mata berkaca-kaca.
Di balik kondisi yang serba sulit, Upik tetap menjadi sumber semangat bagi anaknya. Ia bercerita, pernah suatu waktu Zikri ingin menyerah karena lelah harus bolak-balik rumah sakit.
“Zikri sempat bilang, ‘Bu, capek transfusi terus.’ Saya hanya bisa peluk dia dan bilang, kita harus kuat, nak. Ibu nggak akan berhenti berjuang,” katanya.
Kini, Zikri sudah memiliki pendonor darah tetap, sesuatu yang sangat disyukuri oleh Upik. “Semoga pendonor-pendonor itu selalu diberi kesehatan, karena mereka sangat berarti bagi kehidupan Zikri,” ucapnya haru.
Harapan terbesar Upik sederhana, agar perekonomian keluarganya bisa membaik sehingga ia tak lagi bingung setiap kali waktu transfusi tiba.
“Saya ingin usaha kecil saya bisa jalan, biar bisa terus obati Zikri tanpa harus minta-minta. Tapi untuk memulai lagi, saya nggak punya biaya,” katanya pelan.
Sementara itu, dari balik senyum lembutnya, Zikri menyimpan satu harapan yang belum pernah padam, bertemu dengan sang ayah kandung. “Dia sering bilang ingin ketemu ayahnya, walau cuma sekali,” tutur Upik.
Di tengah perjuangan panjang yang belum usai, kisah Zikri dan ibunya menjadi cermin ketabahan seorang anak dan kekuatan cinta seorang ibu, berjuang tanpa henti demi seberkas harapan hidup.






