PADANG, hantaran.co – MK telah menerima alat bukti terkait gugatan perselisihan hasil Pilgub Sumbar 2020 dari pasangan Mulyadi-Ali Mukhni (Mualim) dan Nasrul Abit-Indra Catri (NA-IC), Selasa (26/1/2021). Selanjutnya, pada 1 Februari mendatang, sidang berlanjut ke agenda pemeriksaan dan mendengar keterangan dari KPU Sumbar (termohon), Bawaslu Sumbar, serta pasangan Mahyeldi-Audy Joinaldy selaku pihak terkait.
Sidang pemeriksaan pendahuluan sendiri berisi agenda penyampaian pokok permohonan, pengesahan alat bukti, serta penyampaian hasil dan penetapan untuk pihak terkait. Pemohon Mualim hadir langsung melalui Veri Junaidi selaku kuasa hukum, serta Mulyadi yang hadir secara daring untuk memberikan keterangan sebagai pemohon prinsipal. Ada pun pemohon NA-IC, hadir melalui Vino Octavia selaku kuasa hukum.
Dalam persidangan, Mulyadi menyebutkan bahwa Pilgub Sumbar berlangsung jauh dari asas jujur dan adil. Selain itu, Mulyadi merasa dizalimi oleh penyelenggara Pilkada dan Sentra Gakkumdu Sumbar, yang menetapkan dirinya sebagai tersangka lima hari sebelum pemungutan suara dilakukan.
“Penetapan sebagai tersangka diumumkan langsung oleh Karo Penmas Mabes Polri. 16 tahun kami berkecimpung di dunia politik, baru kali ini tampak ada upaya sistematis dari pihak lain untuk memengaruhi pilihan masyarakat kepada kami. Penetapan tersangka dilakukan terburu-buru dan terkesan dipaksakan,” kata Mulyadi.
Ia menambahkan, penetapan tersangka terhadap dirinya sangat menyakitkan hati. Terlebih, setelah statusnya ditetapkan sebagai tersangka, pemberitaan negatif tentang dirinya juga menyebar dengan masif di media elektronik dan media sosial.
Sementara itu, Kuasa Hukum Mualim Veri Junaidi mengatakan, perolehan suara Mualim yang berada di urutan ketiga, patut diduga disebabkan oleh penyelenggaraan Pilgub yang tidak demokratis dan tidak berlandaskan asas jujur dan adil. Penyelenggara Pilkada Sumbar dinilai tidak menunjukkan prinsip equality dalam penegakan hukum.
“Hal ini dinilai dari penyelenggara dan Sentra Gakkumdu yang memaksakan penetapan Mulyadi sebagai tersangka, yang pada akhirnya, pada tahap penyedikan dihentikan karena tidak cukup alat bukti. Penetapan itu kami nilai sebagai upaya terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) untuk menggembosi perolehan suara Mualim,” kata Veri.
Sementara itu, Kuasa Hukum NA-IC, Vino Oktavia, dalam keterangannya meminta MK untuk membatalkan rekapitulasi di tingkat provinsi yang dilakukan KPU Sumbar dan meminta agar Paslon Nomor Urut 4 Mahyeldi-Audy didiskualifikasi sebagai calon, karena diduga telah melanggar peraturan perundang-undangan tentang penerimaan dan pelaporan dana kampanye.
“Paslon Nomor Urut 4 dan partai pengusung telah menerima sumbangan atau bantuan dari ASN atas nama Kepala Satpol-PP Kota Padang Alfiadi, berupa rumah yang disewakan dan dijadikan posko utama pemenangan Mahyeldi-Audy selama empat bulan masa kampanye. Rumah itu berada di Jalan Ahmad Yani Nomor 1b Kota Padang dengan harga sewa Rp100 juta,” kata Vino.
Nominal bantuan atau sumbangan dari Alfiadi itu, kata Vino, sudah melebihi batas sumbangan yang diatur dalam Peraturan KPU (PKU). Selain itu, Paslon Nomor Urut 4 juga tidak melaporkan sumbangan tersebut dalam Laporan Penerimaan dan Pengeluaran Dana Kampanye (LPPDK).
“Paslon hanya boleh menerima paling banyak Rp75 juta dari sumbangan perseorangan. Paslon Nomor Urut 4 juga tidak pernah melaporkannya ke KPU. Pada pelaporan pertama tanggal 30 Oktober dan laporan terakhir pada 6 Desember, dalam LPPDK Paslon Nomor Urut 4, tercantum nol rupiah dari sumbangan barang perseorangan,” kata Vino lagi.
Sementara itu pelanggaran yang dilakukan KPU Sumbar sebagai penyelenggara, kata Vino, ditemukan di Kota Pariaman, Kota Padang, dan di Kota Sawahlunto. Di Kota Pariaman, petugas KPPS tidak melakukan pemungutan suara di RSUD Pariaman, yang mengakibatkan 28 pemilih kehilangan hak pilih. Selain itu, saat rekapitulasi tingkat provinsi berlangsung, beberapa KPU kabupaten dan kota menyerahkan hasil rekapitulasi suara tanpa segel dan kotak.
“Di Kota Padang, KPPS memberikan tiga surat suara sekaligus kepada satu pemilih di TPS 02 Padang Pasir, Padang Barat. Lalu di Sawahlunto, di TPS 01 Desa Salak, Talawi, pencoblosan dilakukan dengan pena, tidak dengan paku. Selain itu KPU Solok Selatan, KPU Kota Solok, KPU Kota Pariaman, dan KPU Kabupaten Padang Pariaman melanggar ketentuan Pasal 33 Ayat 2 PKPU Nomor 19 Tahun 2020 dan penyerahan hasil rekapitulasi dari 4 KPU itu cacat secara hukum,” katanya lagi.
Vino memohon, agar MK memerintahkan KPU Sumbar menganulir perolehan suara Paslon Nomor Urut 4 dan menerbitkan keputusan tentang penetapan NA-IC sebagai Paslon yang memperoleh suara terbanyak, dengan perolehan suara yang benar menurut pemohon adalah Mualim 614.447 suara, NA-IC 679.069 suara, Fakhrizal-Genius Umar 220.893 suara, dan Mahyeldi-Audy nol suara.
“Sehingga suara sah adalah 1.514.409 suara. Selian itu, kami meminta MK memerintahkan KPU Sumbar melakukan PSU di RSUD Pariaman, satu TPS di Kota Padang, dan satu TPS di Sawahlunto, serta PSU di 4 kabupaten/kota yang menyerahkan hasil rekapitulasi tanpa segel dan kotak,” kata Vino lagi.
Sidang yang disiarkan secara daring itu dipimpin langsung oleh Ketua MK RI Anwar Usman, didampingi majelis panel Wahiduddin Adams dan Enny Nurbaningsih. Dalam persidangan, MK mengesahkan alat bukti dari dua pemohon dan menetapkan Paslon Nomor Urut 4 Mahyedi-Audy sebagai pihak terkait.
Hakim MK kemudian memerintahkan panitera untuk mencatat permohonan dari dua pemohon ke dalam buku registrasi perkara konstitusi (BRPK), dan mengundang pihak terkait untuk persidangan selanjutnya pada Senin 1 Februari 2020 pukul 08.00 WIB, dengan agenda mendengar keterangan pihak terkait, termohon, serta Bawaslu Sumbar. (*)
Riga/hantaran.co