Berbicara soal ekonomi yang sangat melekat dengan kehidupan seluruh orang, seharusnya sistem ekonomi yang digunakan (di Sumbar) itu sesuai dengan syariat islam. Mulai dari aktivitas pemenuhan kebutuhan, materiil, jasa, dan sebagainya.
Dr. Syukri Iska, M.Ag
Pakar Ekonomi Syariah IAIN Batusangkar
PADANG, hantaran.co -– Potensi ekonomi Sumatra Barat yang variatif dapat dimaksimalkan sebagai wadah perkembangan ekonomi syariah, seperti pemaksimalan di sektor wisata, kuliner, hingga UMKM dan koperasi.
Pakar ekonomi syariah IAIN Batusangkar, Dr. Syukri Iska, kepada Haluan menyebutkan, pertumbuhan ekonomi syariah di Sumbar sangat berpotensi merambah ranah yang lebih luas. Terutama di sektor-sektor potensial yang memang tengah berkembang di Sumbar.
“Pariwisata Sumbar sangat potensial untuk dikembangkan dengan konsep halal tourism, termasuk juga sektor wisata kuliner, fasilitas penginapan, dan objek wisata. Secara geografis, daerah di Minangkabau atau Sumbar ini sangat mernarik, dan sangat kondusif untuk pengembangan ekonomi syariah,” kata Syukri kepada Haluan, Rabu (16/6/2021).
Secara historikal, sambung Syukri, kelembagaan ekonomi syariah mulai terbentuk seiring dengan terbentuknya lembaga keuangan syariah pada tahun 1940-an di Mesir dan Malaysia, yang baru bisa berkembang dan eksis pada tahun 1980-an. Sementara itu di Indonesia, lembaga keuangan syariah baru lahir pada 1992, yang ditandai dengan hadirnya Bank Muamalat sebagai bank umum syariah pertama.
Artinya, kata Syukri, ekonomi syariah di Indonesia sudah berkembang hampir 30 tahun, tetapi pertumbuhan atau perkembangan perbankan syariah di Indonesia ini belum berbanding lurus dengan perkembangan populasi umat Islam. Faktanya, jumlah populasi umat Islam di Indonesia saat ini kurang lebih 200 juta jiwa, atau 85 persen dari total populasi. Namun, pangsa pasar atau penguasaan aset bank syariah dibanding total aset seluruh perbankan per Desember 2020 baru tercatat 6,5 persen.
Fakta tersebut, kata Syukri, bertolak belakang dengan Malaysia yang memiliki penduduk kurang lebih 33 juta jiwa, dengan persentase jumlah warga muslim sekitar 55 persen. Namun, penguasan aset perbankan syariah di negara tetangga itu telah mencapai 40 persen dari total aset seluruh perbankan.
“Tentu sangat jomplang sekali jika dibandingkan dengan Indonesia. Padahal, mereka memulai hanya 10 tahun lebih awal dari kita. Memang perkembangan di Indonesia itu ada, tapi belum signifikan. Ada beberapa hal yang mengakibatkan tumbuh ekonomi syariah kita belum siginifikan,” ujarnya.
Syukri menyatakan, salah satu tantangan dalam pertumbuhan ekonomi syariah baik di Sumbar atau pun di Indonesia secara umum adalah tingkat literasi atau pemahaman masyarakat yang masih lemah. Merujuk pada penelitian Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS) pada 2019, indeks literasi keuangan syariah masyarakat Indonesia baru 8,9 persen. Artinya, dari 100 orang Indonesia, hanya 9 orang yang memiliki pemahaman yang baik tentang ekonomi syariah.
Sementara itu, untuk pemahaman masyarakat terhadap lembaga keuangan konvensional dalam waktu bersamaan sudah mencapai angka 37,7 persen. Artinya, kata Syukri, ada 38 dari 100 orang Indonesia yang memiliki pemahaman yang bagus terhadap ekonomi konvensional.
“Memang ini wajar karena lembaga keuangan ini sudah ada lebih dari satu abad yang lalu. Tapi tetap saja ini adalah kesenjangan dan mengakibatkan pertumbuhan ekonomi Islam di Indonesia itu tidak menggembirakan,” ujarnya lagi.
Ada pun di Sumbar, Syukri menambahkan, aset perbankan syariah baru mencapai 8,2 persen dari total seluruh aset perbankan. Padahal, persentase jumlah penduduk muslim di Sumbar mencapai 90 persen lebih dari total populasi.
Selain meningkatkan literasi, menurut Syukri, perkembangan ekonomi syariah juga harus didukung dengan program berkelanjutan dari pemerintah daerah (Pemda). Terutama sekali dalam hal menyiapkan kebijakan yang strategis dalam mendorong sistem keuangan yang ada menuju sistem ekonomi syariah.
“Ini tentu langkah yang cukup radikal dan butuh keberanian. Meskipun sudah ada beberapa pergerakan, tapi pimpinan daerah belum satu spirit untuk mewujudkan ini. Berbicara soal ekonomi yang sangat melekat dengan kehidupan seluruh orang, maka seharusnya sistem ekonomi yang digunakan itu sesuai dengan syariat islam. Aktivitas ekonomi mulai dari pemenuhan kebutuhan, materiil, jasa, dan sebagainya,” katanya menutup. (*)
Riga/hantaran.co