Puasa Syawal Bukan Sunah?

Sunah

Ilustrasi Puasa

JAKARTA, hantaran.co — Setelah bulan Ramadan, umat Islam memasuki bulan Syawal. Mayoritas (jumhur) ulama menyampaikan, pada Syawal terdapat puasa sunah Syawal yang dilakukan selama enam hari–tidak mesti berturut-turut. Agak berbeda dengan mereka, Imam Malik berpendapat bahwa puasa di bulan Syawal itu bukanlah sebuah amalan sunah.

Pendapat jumhur ulama mazhab Hanafi, Syafii, dan Hambali, memang berpendapat bahwa puasa enam hari di bulan Syawal itu sunah. Mereka berpegang pada hadis yang diriwayatkan dari sahabat Abu Ayyub al-Anshariy. “Barang siapa yang berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka baginya (ganjaran) puasa selama setahun penuh” (HR Muslim).

Ustaz, Ahmad Zarkasih, dalam buku Yang Harus Diketahui Dari Puasa Syawal terbitan Rumah Fiqih Publishing menjelaskan alasan Imam Malik menyatakan, puasa enam hari di bulan Syawal bukanlah sunah.

“Pendapat yang mengatakan bahwa puasa enam hari di bulan Syawal makruh adalah pendapat yang dipegang oleh madzhab Imam Malik di Madinah,” ujar Ustaz Zarkasih dalam bukunya dikutip dari Republika.co.id.

Ia menerangkan, madzhab Imam Malik di Madinah bukan tidak tahu adanya hadis Abu Ayyub al-Anshariy ini. Justru sang imam paling tahu tentang hadis, beliau juga seorang ahli hadis (muhaddits). Bahkan, Imam Malik dikenal sebagai imam mazhab yang sangat kuat sekali dalam pengamalan hadis di setiap fatwa-fatwa beliau.

Ustaz Zarkasih menjelaskan, yang perlu diketahui bahwa hadis Abu Ayyub al-Anshariy ini, walaupun sahih, hadis ini menyelisih ‘Amal Ahl Madinah (amalan penduduk Madinah). Selain itu, jalur periwayatannya adalah tunggal (ahad), yaitu diriwayatkan oleh satu orang di setiap tingakatan sanadnya. Bukan hadis mutawatir yang diriwayatkan oleh orang banyak dalam setiap tingkatan sanad.

Imam Ibnu Abdil-Barr, ulama terkemuka madzhab Maliki mengatakan dalam kitabnya, al-Istidzkar (3/379): “Imam Malik menyebutkan perihal puasa enam hari (di bulan) Syawal bahwa beliau tidak pernah melihat seseorang dari kalangan ahli fikih dan ahli ilmu yang berpuasa enam hari Syawal, beliau (Imam Malik) juga berkata tidak satu pun riwayat yang sampai kepadaku tentang puasa Syawal dari salah satu ulama salaf.”

Ustaz Zarkasih menerangkan, mazhab Imam Malik memang terkenal sekali menggunakan ‘Amal Ahl Madinah sebagai sandaran hukum (mashdar al-Syari’ah). Ketika ada hadis ahad (tunggal) yang mana kandungannya itu bertentangan dengan amalan penduduk Madinah, walaupun itu sahih, yang akan dimenangkan adalah amalan penduduk Madinah.

Apa yang dilakukan dan dipraktekkan oleh Imam Malik dalam fatwa beliau terkait Amal Ahl Madinah bukan tanpa alasan. Hadis ahad yang shohih tidak langsung diamalkan, jika itu memang bertentangan dengan pekerjaan penduduk Madinah. Berbeda dengan hadis mutawatir yang langsung diamalkan tanpa melirik pekerjaan penduduk Madinah.

Ustaz Zarkasih menjelaskan, Nabi Muhammad SAW, selain di Makkah, beliau juga membangun syariah di Madinah, bisa dikatakan bahwa Madinah adalah Mahall al-Tasyri’ (tempat atau kota pensyariatan). Banyak syariat-syariat Islam diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW ketika beliau di Madinah.

“Dan ketika syariat itu diturunkan, Nabi Muhammad SAW pasti menginformasikan kepada para sahabat, lalu dijalankan syariat itu oleh para sahabat. Sampai akhirnya Nabi Muhammad SAW meninggal, syariat yang pernah diturunkan dan dijalankan tidak mungkin hilang,” jelas Ustaz Zarkasih.

Ia melanjutkan, syariat itu terus dijalankan dan turun temurun kepada generasi-generasi selanjutnya setelah sahabat di Madinah. Akhirnya itu menjadi kebiasaan yang biasa dilakukan oleh penduduk Madinah. Artinya bahwa ‘Amal Ahl Madinah itu diriwayatkan bukan hanya oleh satu orang, akan tetapi diriwayatkan oleh seluruh penduduk negeri.

Ustaz Zarkasih mengatakan, ketika sampai pada masanya Imam Malik, beliau justru tidak melihat ada orang alim dan juga para ahli fiqih di Madinah yang berpuasa enam hari di bulan Syawal setelah Ramadhan.

Jadi, kalau dibanding dengan hadis Abu Ayyub al- Anshariy yang hanya diriwayatkan oleh satu orang di setiap tingkatan sanad, tentu jauh lebih kuat ‘Amal Ahl Madinah yang diriwayatkan oleh penduduk satu negeri.

Maka wajar saja kalau memang Imam Malik lebih mengedepankan pekerjaan penduduk Madinah daripada hadis ahad. Beliau melihat bahwa Madinah dianugerahi sebagai tempat turunnya syariat.

Imam Malik mengatakan, “Dan para ahli ilmu memakruh-kan itu (puasa enam hari di bulan Syawal), dan mengkhawatikan bahwa itu adalah sebuah bidah, dan (khawatir) kalau orang-orang awam menganggap itu bagian dari Ramadhan (padahal bukan).” (al-Istidzkar 3/379)

Ustaz Zarkasih menegaskan, sejatinya kekhawatiran sang imam saat ini sudah tidak bisa dijadikan alasan atas kemakruhan puasa Syawal. “Sebab tidak ada orang awam zaman sekarang yang meyakini bahwa puasa Syawal itu adalah sebuah kewajiban yang merupakan bagian dari Ramadhan,” jelasnya. (*)

hantaran.co

Exit mobile version