Pemilih Condong ke Dinasti Politik

Politik

Dinasti Politik. Ilustrasi

PADANG, hantaran.co — Sebagian calon kepala daerah (Cakada) pada beberapa Pilkada di Sumbar memiliki hubungan kekerabatan dengan petahana hingga pejabat daerah. Bahkan, beberapa di antara calon tersebut tengah berada di ambang kemenangan berdasarkan hasil penghitungan riil sementara pada situs resmi pilkada.kpu.go.id.

Dari empat nama calon bupati pada Pilkada Kabupaten Sijunjung, bercokol nama Benny Dwifa Yuswir yang berpasangan dengan Iraddatillah selaku calon wakil bupati. Benny Dwifa sendiri adalah anak dari Bupati Sijunjung yang saat ini tengah menuntaskan periode kedua kemimpinannya di daerah itu, Yuswir Arifin.

Berdasarkan data Sirekap KPU hingga Jumat (11/12/2020) pukul 21.45 WIB, Benny Dwifa-Iraddatillah memimpin raihan suara sementara di angka 25,2 persen. Unggul tipis dari pasangan Hendri Susanto-Indra Gunalan dengan 23,0 persen; Arrival Boy-Mendro 18,6 persen; dan Ashelfine-Sarikal 17,7 persen.

Meski data tersebut baru menghimpun data 166 dari 524 TPS di Sijunjung, pasangan ini melalui Koordinator Tim Pemenangan Muchlis Anwar, Rabu 9 Desember malam, telah mendeklarasikan kemenangan berdasarkan hasil hitung cepat dari kalkulasi berkas C1 salinan KWK KPU RI di seluruh TPS.

“Alhamdulilah, berdasarkan hasil hitungan cepat real count oleh Liberty Institute, Benny-Radi unggul pada Pilkada Sijunjung 2020 dengan total raihan suara 25 persen,” kata Muchlis.

Sementara itu di Pilkada Solok Selatan, paslon Khairunas-Yulian Efi, terus memimpin raihan rekapitulasi resmi KPU dengan 39,5 persen. Dibayang-bayangi oleh paslon Abdul Rahman-Rosman dengan 35 persen, dan paslon Erwin Ali-Marwan dengan 25,5 persen. Khairunas sendiri adalah orang tua dari Zigo Rolanda, Ketua DPRD Solsel saat ini.

Akan tetapi, hasil rekapitulasi itu baru menampung data 155 dari total 461 TPS yang ada di kabupaten tersebut. Hingga Jumat (11/12/2020) pukul 21.57 WIB, baik Khairunas-Yulian Efi mau pun petahana Abdul Rahman-Rosman, sama-sama belum menyatakan telah memenangi pertarungan.

Di sisi lain, duo ayah dan anak, Hariadi BE dan Erick Hariyona, sama-sama maju sebagai calon bupati di Pilkada Agam dan Pilkada Pasaman Barat. Berpasangan dengan Novi Endri, Hariadi BE baru meraup 24,2 persen dari rekapitulasi resmi KPU yang sudah menyentuh 734 dari 1.380 TPS. Sementara itu Erick yang menggandeng Syawal, baru mengantongi 14,2 persen hasil rekap 273 dari total 1.034 TPS di Pasaman Barat.

Untung Rugi Dinasti

Melihat fenomena kemunculan cikal “dinasti politik” lewat beberapa Pilkada di Sumbar, Pengamat Politik Universitas Negeri Padang (UNP), Nora Eka Putri, menilai, masih terbatasnya pengetahuan masyarakat tentang politik dan berdemokrasi memang secara tidak langsung memberi ruang tumbuhnya dinasti politik.

“Secara nasional kita bisa lihat dari kemenangan telak anak dan menantu Presiden Joko Widodo di Pilkada Surakarta dan Pilkada Medan. Padahal keduanya belum punya pengalaman politik,” kata Nora kepada Haluan, Jumat (11/12/2020).

Terkait potensi kemenangan Benny Dwifa Yuswir pada Pilkada Sijunjung yang semakin terang, Nora menilai Benny memang memiliki modal lebih besar ketimbang calon lainnya. Salah satu modal terbesar itu tentunya nama besar sang ayah, Bupati Yuswir Arifin yang telah menjabat dua periode di daerah tersebut.

“Keterpilihan atau kemenangan Benny juga bisa didapat lebih mudah karena masyarakat menilai ayahnya berkinerja baik selama memimpin. Masyarakat mungkin menilai anaknya akan mampu meneruskan kinerja sang ayah,” kata Nora.

Di sisi lain, Peneliti dari Spektrum Politika, Asrinaldi, menilai, pencalonan Benny Dwifa Yuswir sebagai Calon Bupati Sijunjung saat sang ayah masih menjabat sebagai bupati di daerah tersebut jelas tidak menyalahi aturan. Sebab, selama memenuhi persyaratan, setiap warga negara memang memiliki hak untuk memilih dan dipilih.

“Namun, secara etika dalam berpolitik memang agak janggal. Sebab, siapa yang bisa jamin saat keluarga masih berkuasa dan anggota keluarga lainnya maju, tidak akan berpengaruh pada pilihan masyarakat. Selain itu, yang jelas itu semakin menutup ruang bagi calon lain, dan berpotensi munculnya conflict of interest dalam kebijakan nantinya,” kata Asrinaldi.

Begitu pun dengan Pilkada Solok Selatan. Asrinaldi menilai, jika kemudian Calon Bupati terpilih secara resmi adalah Khairunas, sementara Ketua DPRD Solok Selatan saat ini Zigo Rolando yang merupakan anak kandungnya sendiri, juga berpotensi memunculkan konflik kepentingan.

“Ini mesti jadi perhatian. Hubungan antara eksekutif dan legislatif itu setara. Kewenangan eksekutif diawasi legislatif, sampai ke Perda dan anggaran, itu disetujui bersama. Meski legislatif kerjanya kolektif kolegial, tapi dengan posisi sang anak sebagai ketua, tentu berpengaruh cukup besar,” kata Asrinaldi lagi.

Hal senada disampaikan oleh Nora Eka Putri. Menurutnya, jika Khairunas memang terpilih, sementara sang anak adalah Ketua DPRD Solok Selatan, maka potensi munculnya konflik kepentingan memang sangat terbuka. “Kecuali fraksinya, fraksi Golkar, tidak terlalu dominan di DPRD Solok Selatan, sehingga kerja pengawasan dapat lebih berjalan,” katanya.

Sementara itu, terkait pencalonan Hariadi BE dan Erick Hariyona di Pilkada Agam dan Pilkada Pasaman Barat, Asrinaldi yang juga Dosen Ilmu Politik Universitas Andalas itu menilai, masyarakat di kedua daerah itu tampak telah memiliki preferensi dalam memilih, sehingga faktor Emma Yohana yang merupakan istri dan ibu dari kedua calon tersebut, belum bisa menggaransi kemenangan.

“Memang tidak serta merta sosok Emma Yohana memberi pengaruh besar. Jika jabatan keluarganya langsung bersentuhan dengan masyarakat di daerah seperti bupati atau wali kota, barangkali akan lebih bisa memobilisasi dukungan. Jika senator seperti Emma Yohana, masih cukup sulit,” katanya lagi.

Pendidikan Politik

Kemunculan dinasti politik, kata Asrinaldi lagi, salah satunya memang bisa terjadi saat pemahaman dan pendidikan politik di tengah masyarakat belum berjalan dengan baik. Namun, selain pengetahuan, Asrinaldi juga menilai pemerintah dapat melakukan intervensi untuk menekan dinasti politik melalui aturan perundang-undangan.

“Dulu ada aturan pelarangan cakada dengan potensi konflik kepentingan dengan petahana, tapi dibatalkan MK tahun 2015 lalu. Putusan itu sebetulnya bisa dibuat lebih bijak. Namun MK memutuskan dengan logika demokrasi liberal, yang sebenarnya baru bisa dipakai saat pemahaman politik masyarakat sudah tinggi,” katanya menutup.

Lemahnya pendidikan politik, kata Nora Eka Putri, memang berpeluang membuat suburnya dinasti politik di Indonesia, tak terkecuali Sumbar. Nora Eka Putri menilai, tugas pendidikan politik sendiri tak hanya berada di pundak KPU sebagai penyelenggara pemilu. Namun, juga menjadi tugas utama partai politik.

“Banyak persoalan lain yang belum selesai dalam aturan kepemiliuan kita. Sejauh ini memang pesta demokrasi masih pada tataran prosedural, baru sebatas pemilihan dan simbol-simbol saja,” katanya menutup. (*)

Riga/hantaran.co

Exit mobile version