PADANG, hantaran.co — Digitalisasi ekonomi dinilai sebagai solusi untuk mengatasi masalah perekonomian Sumbar yang masuk masa pemulihan akibat terjangan pandemi Covid-19. Namun, salah satu tantangan besar yang mesti dihadapi pemerintah daerah adalah cukup rendahnya tingkat melek digital masyarakat di Sumbar.
Pakar ekonomi dari Universitas Andalas (Unand), Fajri Muharja, mengatakan, perekonomian Sumbar harus bertransfomasi ke arah digitalisasi, terutama dalam kondisi pemulihan ekonomi yang saat ini berlangsung. Menurutnya, digitalisasi akan mendorong pertumbuhan ekonomi Sumbar untuk lebih cepat bangkit.
“Ekonomi akan bangkit lagi kalau bisa mendorong sektor-sektor unggulan Sumatra Barat seperti pertanian, pariwisata, dan industri-industri olahan, dengan memaksimalkan digitalisasi,” ujar Fajri dalam diskusi virtual ‘Arah Pembangunan Sumbar Pascapandemi’ pada Minggu (21/3/2021).
Menurut Fajri, sektor-sektor ekonomi itu sejauh ini belum tersentuh oleh digitalisasi dengan berbagai kemajuan teknologi yang tersedia saat ini. Terutama, sentuhan dari program-program yang disiapkan oleh pemerintah untuk mendorong digitalisasi ekonomi itu sendiri.
Selain itu, Fajri mengatakan, pemanfaatan teknologi oleh masyarakat sejauh ini juga masih rendah. Masyarakat Sumbar saat ini, masih terpaku pada aspek manfaat teknologi digital, yang hanya sebatas sarana untuk berkomunikasi dan mencari informasi. Padahal, kehadiran teknologi akan berperan besar dalam perkembangan ekonomi.
“Dari aspek digitalisasi, masyarakat Sumbar sebetulnya menggunakan teknologi itu masih untuk kebutuhan komunikasi, seperti Whatsapps segala macam untuk kebutuhan rutinitas,” ujarnya.
Fajri menyebutkan, digitalisasi ekonomi dalam kondisi pemulihan juga akan menguatkan sektor-sektor yang rentan saat krisis terjadi di sektor seperti pertanian dan perdagangan. Dua sektor tersebut, katanya, saat ini juga masih minim tersentuh oleh praktik-praktik digitalisasi.
Fajri mengatakan, bahwa digitalisasi ekonomi adalah kunci untuk membangkitkan pertumbuhan ekonomi di Sumbar, karena berdasarakan data Badan Pusat Statistik (BPS) dalam sepuluh tahun terakhir, perekonomian Sumbar terus mengalami penurunan. Pada tahun 2011, pertumbuhan ekonomi Sumbar 6,34 persen, sedang pada 2012 turun menjadi 6,31 persen.
Kemudian pada 2014, kembali turun pada angka 5,88 persen, pada 2015 turun lagi menjadi 5,53 persen, pada 2016 turun menjadi 5,27 persen, pada 2017 turun lagi menjadi 5,30 persen, pada 2018 turun menjadi 5,16 persen, pada 2019 turun ke 5,05 persen, dan pada 2020 menukik ke -1,06 persen. Menurut Fajri, sejak pemulihan pascagempa 2009 dan 2010, pertumbuhan ekonomi di Sumbar terus menurun.
“Dalam satu dekade terakhir, Sumbar ini ekonomi slowdown, sejak pascabencana 2009 sempat mengalami kenaikan dari 6,1 persen pada 2010 naik menjadi 6,5 persen. Tapi setelah program recovery bencana selesai ekonomi terus turun,” ujarnya.
Fajri mengatakan, berdasarkan pertumbuhan ekonomi Sumbar yang terus mengalami penurunan ini membuktikan jika perekonomian di Sumbar memang sudah bermasalah bahkan sebelum pandemi terjadi. Dan dengan adanya krisis ekonomi akibat Covid-19 ini, membuat perekonomian Sumbar semakin terpuruk.
Namun, kata Fajri, krisis yang terjadi di Sumbar tidak separah daerah lain. Hal ini karena perekonomian di Sumbar tidak terbuka, sehingga tidak mengalami krisis yang cukup dalam seperti di Batam atau Sumatra Utara.
“Ke depannya tidak bisa tidak, Sumbar harus memang melakukan digitalisasi ekonomi yang sentuhannya riil oleh pemerintah di perekonomian masyarakat seperti, pertanian, pariwisata, perdagangan, dan lain sebagainya,” ujarnya. (*)
Darwina/hantaran.co