Opini

Kemerdekaan RI ke-80: Antara Romantisme Sejarah dan Tanggung Jawab Masa Depan

47
×

Kemerdekaan RI ke-80: Antara Romantisme Sejarah dan Tanggung Jawab Masa Depan

Sebarkan artikel ini

Oleh: Okis Mardiansyah

Delapan puluh tahun sudah bangsa Indonesia berdiri sebagai negara merdeka. Sejak proklamasi pada 17 Agustus 1945, merah putih tak pernah berhenti berkibar, menandai lahirnya sebuah bangsa yang berdaulat setelah berabad-abad direnggut kebebasannya oleh penjajah. Namun, pertanyaan yang patut kita ajukan pada usia ke-80 Republik ini adalah: sejauh mana makna kemerdekaan itu benar-benar kita rasakan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara?

Setiap tahun, kita merayakan Hari Kemerdekaan dengan upacara bendera, lomba rakyat, pawai budaya, dan berbagai seremoni penuh gegap gempita. Semua itu penting, karena menjadi pengingat sejarah panjang perjuangan bangsa. Namun, kemerdekaan tidak boleh berhenti pada simbol dan seremoni belaka. Kemerdekaan adalah ruang yang harus diisi dengan kerja nyata, ruang untuk memastikan setiap warga negara memperoleh haknya, bebas dari penindasan, serta hidup bermartabat di tanah airnya sendiri.

Di titik inilah kita harus jujur, kemerdekaan sering kali masih terasa belum sepenuhnya merata. Ada saudara-saudara kita yang hidup dalam kemiskinan, ada yang kesulitan mengakses pendidikan, ada pula yang masih jauh dari layanan kesehatan yang layak. Bahkan, di tengah modernitas saat ini, masih ada daerah terpencil yang belum menikmati listrik atau akses jalan yang memadai. Pertanyaannya: apakah mereka juga merasakan arti merdeka yang sama seperti yang dirayakan di pusat kota?

Bangsa ini memang sudah terbebas dari kolonialisme fisik, tetapi bukan berarti terbebas dari penjajahan dalam bentuk lain. Penjajahan gaya baru hadir dalam rupa kesenjangan ekonomi, dominasi modal asing, eksploitasi sumber daya alam yang tak berpihak pada rakyat, hingga ketidakadilan hukum yang menjerat rakyat kecil, padahal mereka melindungi yang berkuasa. Lebih dari itu, praktik korupsi yang terus saja menggerogoti negeri ini, sesungguhnya itu adalah bentuk pengkhianatan terhadap kemerdekaan itu sendiri.

Di era globalisasi, penjajahan juga hadir dalam bentuk ketergantungan. Kita kerap bangga dengan pembangunan infrastruktur, tapi lupa bahwa banyak proyek strategis masih ditopang oleh utang luar negeri. Kita senang dengan perkembangan teknologi, tetapi masih terlalu bergantung pada produk asing, sementara inovasi lokal kurang diberi ruang. Apakah ini wujud bangsa yang benar-benar merdeka?

Generasi terdahulu berjuang dengan bambu runcing untuk mengusir penjajah. Generasi sekarang menghadapi medan perjuangan yang berbeda, tetapi tidak kalah berat. Musuh kita adalah kebodohan, ketidakadilan, korupsi, kemiskinan, dan keterbelakangan. Mengalahkan musuh-musuh ini membutuhkan senjata baru, yakni: pendidikan yang berkualitas, integritas moral, serta penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Generasi muda hari ini adalah tulang punggung masa depan bangsa. Namun, masih banyak dari mereka yang kehilangan arah karena minimnya kesempatan dan ketidakadilan sosial. Bonus demografi yang kerap dibanggakan bisa berubah menjadi beban jika negara gagal menyiapkan lapangan kerja, pendidikan berkualitas, dan ekosistem yang sehat untuk berkarya. Kemerdekaan tidak akan bermakna jika anak-anak bangsa hanya menjadi penonton di negeri sendiri, sementara sumber daya negeri dikuasai oleh segelintir elite atau pihak asing.

Usia 80 tahun bagi sebuah bangsa adalah usia kedewasaan. Seharusnya, Indonesia sudah tampil sebagai negara yang matang, berdaulat secara politik, berdiri secara ekonomi, dan berkepribadian dalam budaya sebagaimana cita-cita Trisakti yang diwariskan Bung Karno. Tetapi faktanya, masih banyak pekerjaan rumah yang belum terselesaikan.

Kesenjangan antar wilayah masih lebar, praktik politik uang masih merajalela, hukum sering kali tumpul ke atas dan tajam ke bawah, serta kebijakan publik kerap mengabaikan suara rakyat kecil. Kita memang patut berbangga dengan capaian pembangunan dan peran Indonesia di kancah internasional. Namun, kebanggaan itu tidak boleh menutupi kenyataan bahwa masih banyak rakyat yang menjerit dalam diam, menanti makna kemerdekaan yang sesungguhnya.

Kemerdekaan sejati bukan hanya tentang bebas dari penjajahan asing, melainkan tentang kemampuan sebuah bangsa untuk berdiri di atas kakinya sendiri. Ia hadir ketika petani bisa hidup sejahtera dari sawahnya, nelayan berdaulat di lautnya, buruh mendapatkan upah layak dari keringatnya, dan generasi muda diberi ruang untuk berkarya tanpa terkekang birokrasi dan diskriminasi.

Kemerdekaan sejati juga bermakna hadirnya keadilan hukum yang benar-benar berpihak pada kebenaran, bukan pada kekuasaan. Kemerdekaan berarti pembangunan yang merata, dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas hingga Pulau Rote. Kemerdekaan berarti ketika rakyat kecil merasa negara hadir, bukan hanya menjelang pemilu, tetapi dalam setiap denyut kehidupan sehari-hari.

Delapan puluh tahun kemerdekaan Indonesia adalah sebuah pencapaian besar yang patut disyukuri. Namun, lebih dari itu, kemerdekaan adalah amanah yang harus terus dijaga dan diperjuangkan. Ia bukan hadiah, melainkan tanggung jawab bersama. Generasi demi generasi harus memastikan bahwa perjuangan para pendiri bangsa tidak boleh sia-sia, bahwa kemerdekaan ini tidak hanya menjadi milik segelintir elite, melainkan benar-benar dirasakan oleh seluruh rakyat.

Di usia yang ke-80, bangsa ini harus berani berbenah. Jangan sampai kemerdekaan hanya menjadi romantisme sejarah, tanpa menghadirkan kesejahteraan nyata. Jangan sampai kita terjebak dalam perayaan yang megah, tetapi lupa pada substansi. Karena pada akhirnya, kemerdekaan sejati hanya akan bermakna jika rakyat benar-benar sejahtera, adil, dan bermartabat di negeri sendiri.

Selamat ulang tahun ke-80 Republik Indonesia. Merdeka bukan sekadar kata, melainkan tanggung jawab untuk mewujudkan cita-cita bangsa: Indonesia yang adil, makmur, dan berdaulat.