Opini

Atraksi Mewah, Realita Kelam? Menelisik Isu di Balik Taman Safari

×

Atraksi Mewah, Realita Kelam? Menelisik Isu di Balik Taman Safari

Sebarkan artikel ini

Oleh: Ayu Andira
Mahasiswi UIN Imam Bonjol Padang

Taman Safari Indonesia (TSI) kerap menjadi pilihan utama saat merencanakan liburan keluarga. Menyaksikan singa, panda, hingga zebra dari jarak dekat tentu menjadi pengalaman yang mengesankan.

Tidak hanya menyajikan hiburan, TSI juga mengklaim diri sebagai tempat edukasi dan konservasi. Namun, di balik kemegahan dan atmosfer ceria yang ditawarkan, tersimpan sejumlah isu yang tak kalah serius.

Baru-baru ini, TSI kembali menjadi sorotan publik akibat dua isu besar: dugaan eksploitasi tenaga kerja dan keterlibatan dalam perdagangan satwa dilindungi.

Kisah ini bermula dari kesaksian beberapa mantan pekerja Oriental Circus Indonesia (OCI) yang mengaku mengalami perlakuan tidak manusiawi, mulai dari kekerasan hingga tekanan kerja yang berat. Meski tidak secara langsung menyebut TSI sebagai pihak yang bertanggung jawab, dugaan keterkaitan antara individu di OCI dan TSI membuat publik bertanya-tanya.

Pihak TSI telah menyatakan tidak memiliki hubungan hukum maupun bisnis dengan OCI. Namun, keterkaitan personal antara oknum di kedua lembaga tersebut memunculkan spekulasi bahwa praktik tidak etis ini saling terhubung dalam satu sistem yang lebih luas.

Tak hanya soal tenaga kerja, TSI juga pernah terseret dalam dugaan kasus perdagangan satwa langka pada 2019. Saat itu, Bareskrim Polri mengungkap praktik “pemutihan dokumen” yang bertujuan melegalisasi satwa hasil perburuan liar. Meski status TSI dalam kasus ini hanya sebagai pihak yang dimintai keterangan, keterlibatan mereka tetap menimbulkan pertanyaan besar: mengapa lembaga konservasi bisa tersangkut dalam jaringan perdagangan ilegal?

TSI telah menyampaikan klarifikasi: menegaskan bahwa mereka tidak memiliki kerja sama resmi dengan OCI, menjalankan aktivitas sesuai prinsip konservasi dan hukum, memprioritaskan kesejahteraan satwa dan pekerja.

Namun, di era keterbukaan informasi, klarifikasi semata belum cukup. Masyarakat, khususnya generasi muda yang semakin peduli pada isu lingkungan dan etika, menuntut transparansi lebih jauh. Bagaimana sistem kerja dijalankan? Apakah satwa benar-benar dirawat dengan standar tinggi? Apakah pekerja mendapatkan hak-haknya secara layak?

Generasi Z tumbuh di era di mana informasi mudah diakses. Kesadaran terhadap isu kesejahteraan hewan, eksploitasi pekerja, hingga greenwashing semakin meningkat. Konservasi sejati bukan hanya soal menyajikan atraksi satwa di lingkungan estetik, tetapi memastikan bahwa tidak ada penderitaan di baliknya, baik bagi manusia maupun hewan.

TSI memang memiliki potensi besar dalam edukasi lingkungan. Pengalaman langsung dengan satwa bisa memberikan dampak positif, terutama bagi anak-anak. Namun, potensi tersebut bisa tergerus jika lembaga yang mengusung nama konservasi ternyata memiliki catatan kelam.

Kita, sebagai masyarakat, bukan hanya penonton. Kita memiliki peran penting untuk terus bersikap kritis. Bukan untuk menghukum, tetapi untuk mendorong perubahan. Jika konservasi benar-benar menjadi tujuan, maka harus dijalankan dengan etika dan keterbukaan. Lembaga seperti TSI perlu membuktikan komitmennya melalui transparansi data, perbaikan sistem kerja, serta perlindungan terhadap satwa dan pekerja.

Edukasi yang baik tidak pernah dibangun di atas penderitaan. Kini saatnya publik menuntut bukan hanya atraksi, tetapi juga tanggung jawab.