Oleh: Okis Mardiansyah
Banjir besar yang melanda Kabupaten Pesisir Selatan (Pessel), Sumatera Barat, awal tahun 2025 bukan hanya menjadi ujian bagi pemerintah daerah, tetapi juga bagi ketanggapan negara dalam menangani bencana dan proses pemulihan. Dampak kerusakan yang ditimbulkan tidak hanya menyasar pemukiman dan fasilitas umum, tetapi juga melumpuhkan infrastruktur irigasi yang menjadi penopang ribuan hektare lahan pertanian masyarakat.
Bupati Pesisir Selatan, Hendrajoni, telah menyuarakan keresahan masyarakat terdampak. Dalam pernyataannya, ia menyoroti bagaimana kerusakan sistem irigasi mengancam produksi padi, komoditas utama yang menjadi sumber ketahanan pangan lokal. Situasi ini, menurutnya, merupakan ancaman riil yang membutuhkan respons cepat, terstruktur, dan melibatkan seluruh pemangku kepentingan, bukan sekadar janji atau dukungan administratif semata.
Data dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Pesisir Selatan menunjukkan bahwa lebih dari 3.000 hektare sawah masyarakat terancam gagal tanam akibat terputusnya jaringan irigasi. Kondisi ini sangat memukul ekonomi petani dan berpotensi menimbulkan inflasi harga pangan lokal jika tidak segera ditangani. Dalam konteks ini, kebutuhan akan infrastruktur yang tangguh serta kebijakan yang inklusif dan berpihak kepada daerah terdampak menjadi sangat penting.
Pemerintah pusat memang tengah menghadapi tekanan anggaran akibat dinamika global dan penyesuaian fiskal nasional. Namun, perlu disadari bahwa pemangkasan anggaran infrastruktur di daerah rawan bencana seperti Pesisir Selatan justru dapat memperparah ketimpangan pembangunan. Alokasi anggaran untuk pertanian yang sebelumnya diharapkan lebih dari Rp100 miliar kini menyusut, sebuah kenyataan ironis ketika kebutuhan pemulihan semakin mendesak.
Kebijakan fiskal yang bersifat satu arah perlu ditinjau ulang. Prinsip keadilan fiskal seharusnya mempertimbangkan variabel lokal seperti tingkat kerentanan terhadap bencana, potensi ekonomi daerah, dan kapasitas fiskal masing-masing wilayah. Jika Pesisir Selatan, yang memiliki kontribusi signifikan di sektor pertanian dan pariwisata, tidak mendapatkan dukungan yang proporsional, maka visi pembangunan yang merata hanya akan menjadi slogan kosong.
Bencana ini seharusnya dilihat sebagai momentum untuk membangun infrastruktur yang lebih tangguh terhadap perubahan iklim. Sebagai wilayah yang rentan terhadap banjir, abrasi, dan gempa bumi, Pesisir Selatan membutuhkan pendekatan pemulihan yang tidak hanya bersifat reaktif, tetapi juga transformatif. Perlu dibangun sistem irigasi berbasis mitigasi bencana serta peningkatan kapasitas masyarakat dalam menghadapi dampak krisis iklim.
Pemerintah Kabupaten Pesisir Selatan di bawah kepemimpinan Hendrajoni telah menunjukkan itikad baik dengan menyusun proposal bantuan, memetakan wilayah terdampak, dan membuka ruang kolaborasi lintas sektor. Namun demikian, jika hanya bergantung pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), tentu tidak akan cukup. Dukungan strategis dari pemerintah provinsi, pusat, dan pihak terkait lainnya sangat dibutuhkan untuk menjamin keberlanjutan program pemulihan.
Peran media, akademisi, dan organisasi masyarakat sipil juga sangat penting dalam mengawal proses ini. Transparansi dalam penyaluran bantuan, akuntabilitas proyek infrastruktur, serta partisipasi publik dalam perencanaan dan pelaksanaan program harus dijadikan prinsip utama. Tanpa pengawasan yang kuat dan partisipasi yang luas, peluang untuk bangkit bisa tersandera oleh inefisiensi birokrasi.
Kondisi darurat yang dihadapi Pesisir Selatan hari ini merupakan cerminan dari tantangan besar yang dihadapi banyak daerah lain di Indonesia, bagaimana membangun ketangguhan menghadapi bencana tanpa mengorbankan keadilan pembangunan. Kini saatnya pemerintah pusat menunjukkan bahwa semangat pembangunan Indonesia sentris benar-benar berpihak pada daerah-daerah yang sedang berjuang untuk bangkit.