OLEH : SILVIA OKTARICE
Alumni Jurusan Hubungan Internasional – Unpas Bandung
Perubahan pola kampanye dari konvensional ke media sosial membawa dampak signifikan dalam dunia politik. Media sosial memberikan platform yang lebih luas, memungkinkan kandidat untuk langsung berinteraksi dengan pemilih, serta mengakomodasi kampanye yang lebih terukur dan efisien. Namun, juga muncul risiko penyebaran informasi palsu dan polarisasi opini.
Risiko penyebaran informasi palsu meningkat di era kampanye media sosial karena informasi dapat dengan cepat tersebar tanpa verifikasi yang memadai. Kandidat atau pihak yang terlibat dapat dengan sengaja menyebarkan informasi yang menyesatkan untuk mempengaruhi opini publik.
Selain itu, media sosial dapat memperkuat polarisasi opini dengan algoritma yang memperkuat pandangan yang sudah ada, menciptakan “gelembung informasi” di mana pengguna terpapar terutama pada pandangan yang sesuai dengan keyakinan mereka. Ini dapat menyulitkan dialog terbuka dan kolaborasi antara kelompok dengan pandangan yang berbeda.
Selain risiko penyebaran informasi palsu dan polarisasi opini, kampanye di media sosial juga dapat menghadapi tantangan transparansi dan privasi. Kandidat mungkin memiliki kendali yang lebih besar atas narasi yang dibangun di media sosial, mengabaikan isu-isu yang mungkin merugikan mereka.
Adanya echo chamber di media sosial dapat menciptakan pembatasan informasi dan perspektif, menghalangi pemilih untuk mendapatkan gambaran yang lengkap. Selanjutnya, kampanye online sering kali lebih rentan terhadap serangan siber dan upaya manipulasi teknologi, mengancam integritas proses demokratis.
Selain risiko yang telah disebutkan, kampanye di media sosial juga dapat menyebabkan oversimplifikasi isu-isu kompleks. Dalam upaya untuk menarik perhatian singkat pengguna, pesan-pesan kampanye sering disederhanakan atau disajikan secara sensationalist, mengabaikan nuansa dan kompleksitas dari isu-isu politik yang seharusnya dibahas dengan lebih mendalam.
Selain itu, media sosial bisa menjadi tempat peningkatan intensitas retorika dan perdebatan yang kurang beradab, memicu konflik verbal dan polarisasi yang lebih dalam di antara pemilih. Hal ini dapat merugikan proses demokrasi yang seharusnya mempromosikan diskusi konstruktif dan pemahaman bersama.
Untuk menjaga agar kampanye di media sosial efektif dan terhindar dari hoaks, beberapa langkah dapat diambil, pertama, verifikasi informasi. Selalu verifikasi informasi sebelum membagikannya. Kandidat dan tim kampanye harus memastikan keakuratan informasi yang disebarkan untuk mencegah penyebaran hoaks.
Kedua, transparansi. Berikan informasi dengan transparan. Tunjukkan sumber data dan fakta yang mendukung klaim atau pernyataan kampanye. Ini membantu membangun kepercayaan pemilih. Ketiga, edukasi pemilih: Sosialisasikan kepada pemilih cara memverifikasi informasi dan mengidentifikasi hoaks. Edukasi dapat membantu pemilih menjadi lebih kritis terhadap konten yang mereka konsumsi di media sosial.
Keempat, kolaborasi dengan platform media sosial. Bekerja sama dengan platform media sosial untuk mengidentifikasi dan menghapus konten palsu. Kandidat dapat berpartisipasi dalam inisiatif keamanan online dan mengadopsi praktik terbaik untuk meminimalkan risiko hoaks.
Kelima, kampanye positif. Fokus pada pesan positif dan fakta yang jelas. Hindari memanfaatkan konten negatif atau menyesatkan yang dapat merugikan integritas kampanye. Keenam, monitoring aktivitas online. Pantau aktivitas online secara teratur untuk mendeteksi potensi penyebaran hoaks atau serangan siber. Respon cepat dapat mengurangi dampak negatifnya.
Terakhir, keterlibatan pemilih. Aktif terlibat dengan pemilih melalui dialog dan tanggapan terhadap pertanyaan atau keprihatinan. Hal ini dapat membangun kepercayaan dan mengurangi kemungkinan penyebaran informasi yang salah.
Dengan langkah-langkah ini, kampanye di media sosial dapat tetap efektif sambil menjaga integritas informasi yang disebarkan dan membantu mengurangi risiko hoaks. (*)