Audy Joinaldy
(Wakil Gubernur Sumatra Barat)
Sebagian besar negara, termasuk Indonesia, telah memasuki dan menerapkan era Revolusi Industri 4.0 dalam menghadapi persaingan global. Namun, aspek kehidupan sosial kemasyarakatan menjadi poin yang dipertaruhkan pada era ini, sehingga era Society 5.0 muncul dan menjanjikan peradaban yang lebih baik sekaligus bijaksana.
Revolusi Industri 4.0 sendiri berawal dari konsep Industri era digital yang dipelopori Jerman dengan enam pilar utamanya ialah, masyarakat digital, energi berkelanjutan, mobilitas cerdas, hidup sehat, keamanan sipil, dan pemaksimalan teknologi di tempat kerja.
Sementara itu Society 5.0 muncul dari keresahan pemerintahan Jepang sejak 2019 lalu, akan potensi terjadinya degradasi moral dan degradasi kemanusiaan karena keserampangan dalam memaksimalkan “digitalisasi tanpa rambu-rambu” pada era Revolusi Industri 4.0
Sebetulnya, kekhawatiran Pemerintah Jepang itu dapat teratasi selama kita berpendirian teguh dalam melakukan segenap aktivitas dalam koridor tujuan kemaslahatan bersama. Dalam kajian Islam yang menjadi sandaran pula bagi nilai adat kebudayaan di Minangkabau/Sumbar, kita mengenal istilah Istikamah, yang secara bebas dapat dimaknai sebagai teguh berpendirian dalam melakukan segala perbuatan, dengan landasan kemaslahatan untuk semua.
Menilik pada Firman Allah SWT pada Surat Hud Ayat 112, kita dapat melihat makna istikamah. Arti dari ayat tersebut sebagai berikut: “Maka istikamahlah (tetaplah kamu pada jalan yang benar), sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah bertaubat beserta kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha melihat atas apa yang kamu kerjakan.”
Kemudian, salah seorang ulama Ahlussunnah wal Jama’ah, Ibnu Rajab Al Hambali menjabarkan, bahwa arti istikamah adalah meniti jalan yang lurus, yaitu agama yang lurus, dengan tanpa membelok ke kanan atau ke kiri. Arti istikamah mencakup pada semua ketaatan yang lahir, batin, dan meninggalkan semua perkara yang dilarang. Maka wasiat arti istikamah ini mencakup seluruh ajaran agama.
Beberapa waktu yang lalu pada salah satu kuliah umum di Universitas Andalas (Unand), penulis sempat memaparkan beberapa ciri dari era Society 5.0 yang akan kita songsong bersama di tengah kekhawatiran terjadinya degradasi kemanusiaan lewat era Revolusi Industri 4.0.
Setidaknya, tiga ciri utama Society 5.0 adalah; pada aspek bisnis akan bermunculan strategi baru yang lebih inovatif, yang dimotori oleh aset tak berwujud fisik akan tetapi dapat diperjualbelikan. Ciri kedua, bermunculan profesi baru yang mengandalkan Internet of Things (IoT/internet untuk segala keperluan) dan Artificial Intelegence (kecerdasan buatan), di mana dua hal itu yang akan menentukan keberhasilan di skala persaingan global. Sedangkan ciri ketiga, bermunculan produk inovatif yang mengandalkan teknologi dalam kerangka IoT itu sendiri.
Sementara itu, tiga kemampuan utama yang diperlukan oleh manusia dalam menghadapi era Society 5.0 adalah, pertama, kemampuan memecahkan masalah yang kompleks serta dapat menjadi penemu solusi atas masalah bagi kepentingan dirinya dan bagi kepentingan orang banyak. Kedua, kemampuan untuk berpikir kritis dan peka terhadap kehidupan sosial. Ketiga, kemampuan untuk berkreativitas dengan mengandalkan IoT dan Kecerdasan Buatan.
Bila kita melihat pemaknaan atas istikamah yang dianjurkan dalam Islam, dan kemudian menyandingkannya dengan kemampuan yang diperlukan dalam menghadapi era Society 5.0, maka yang terjadi adalah “bertemunya ruas dengan buku”.
Dalam Islam, kita diminta untuk bekerja keras memperbaiki nasib dan keadaan, serta tentu saja menyertai setiap pekerjaan itu dengan doa dan keberserahan diri pada Allah Tuhan Yang Maha Esa. Dalam Islam pula, kita selaku manusia ditunjuk menjadi khalifah di muka bumi, yang tentu diwajibkan untuk mengutamakan kemaslahatan bersama.
Sementara itu, selain aspek kreativitas berbasis IoT, era Society 5.0 juga menekankan pentingnya pertimbangan aspek sosial kemasyarakatan, atau aspek kemaslahatan untuk bersama itu sendiri. Sehingga sudah jelas, Islam sendiri telah mengusung sejak lama nilai-nilai yang dianut oleh ide peradaban Society 5.0.
Oleh karena itu, untuk saat ini, kita selaku Umat Islam, terlebih warga Sumbar yang notabene dominan Muslim dan bersandar pada falsafah Adat Basandi Syarak-Syarak Basandi Kitabullah (ABS-SBK), hanya perlu istikamah dalam menyongsong era Society 5.0. Kita sudah punya modal dasar lewat ajaran agama terkait pentingnya teguh berpendirian dalam berbuat kebaikan, serta senantiasa berbuat demi kemaslahatan kehidupan bersama.
Dengan demikian, semestinya Umat Islam dan warga Sumbar menjadi pelaku sukses pada era Society 5.0 itu tersebut. Bahkan dapat lebih sukses ketimbang warga negara Jepang yang memelopori pola peradaban pengganti peradaban Revolusi Industri 4.0 itu.
Ada pun Pemerintah Provinsi Sumbar, termasuk penulis selaku Wakil Gubernur yang mendampingi Gubernur Mahyeldi, juga telah menegaskan pentingnya Sumbar bergerak maju ke depan dengan memaksimalkan IoT serta Kecerdasan Buatan. Namun tentu saja, tetap berada dalam koridor nilai-nilai yang kita anut sebagai manusia beragama dan beradat. Dengan demikian, visi kita agar Terwujudnya Sumatera Barat Madani yang Unggul dan Berkelanjutan, insyaAllah akan dapat terealisasi. Aamiin. (*)