Berita

Tragedi Wisatawan Meninggal di Alahan Panjang, Standar Wisata di Sumbar Dipertanyakan

15
×

Tragedi Wisatawan Meninggal di Alahan Panjang, Standar Wisata di Sumbar Dipertanyakan

Sebarkan artikel ini
wisatawan

PADANG, HANTARA.Co–Tragedi meninggalnya wisatawan di salah satu lokasi glamorous camping (glamping) di Nagari Alahan Panjang, Kabupaten Solok beberapa waktu yang lalu meninggalkan duka mendalam sekaligus pukulan telak bagi citra pariwisata Sumatera Barat (Sumbar). Kejadian tersebut juga menyisakan tanda tanya besar terkait standar keamanan wisata di Sumbar.

Pengamat Destinasi Pariwisata Politeknik Negeri Padang (PNP), Rafidola Mareta Riesa, menilai insiden tersebut akan berdampak signifikan terhadap tingkat kepercayaan publik terhadap sektor pariwisata, baik di Kabupaten Solok maupun di Sumbar secara umum.

Ia menegaskan bahwa pengembangan pariwisata tidak seharusnya hanya berorientasi pada keuntungan ekonomi semata, melainkan juga harus berlandaskan pada pemahaman yang menyeluruh mengenai standar keselamatan dan kenyamanan wisatawan.

“Ini persoalan kita bersama dan harus dicarikan solusi. Saya selalu menekankan bahwa tourism is not about the money, pariwisata bukan semata soal ‘pitih masuak’. Dalam membuka objek wisata, kita tidak bisa asal-asalan meniru konsep orang lain dengan prinsip Amati, Tiru, dan Modifikasi (ATM) tanpa benar-benar memahami konteks dan penerapannya,” katanya, Minggu (12/10/2025).

Rafidola menjelaskan, banyak pengelola wisata cenderung meniru konsep destinasi populer tanpa kajian yang matang. Prinsip ATM sering disalahartikan sebagai pembenaran untuk membuat sesuatu secara instan tanpa memperhatikan standar keselamatan, perizinan, dan prosedur operasional pelayanan yang baik.

“Sering kali muncul kalimat, ‘Urang se bisa, baa lo awak ndak bisa? Buek sa lah dulu, mumpung ado investor.’ Padahal, dalam praktik di lapangan, para pengelola tidak semuanya memahami detail dari hal-hal yang mereka tiru itu. Apalagi dalam hal SOP pelayanan, baik atraksi, akomodasi, maupun food and beverage. Padahal, hospitality yang baik dan benar itu adalah kunci kepercayaan wisatawan,” ujarnya.

Lebih lanjut, ia menilai kegagalan sistemik seperti ini tidak bisa hanya dibebankan pada satu pihak. Butuh investigasi mendalam agar kejadian serupa tidak terulang di masa depan. Ia menekankan pentingnya pengawasan dan evaluasi berkala terhadap penerapan Standard Operating Procedure (SOP) di seluruh lini pelayanan wisata, mulai dari keamanan fasilitas hingga tata kelola akomodasi.

“Saat ini yang terpenting adalah memastikan investigasi berjalan mendalam dan menyeluruh. SOP pelayanan pariwisata harus benar-benar dikontrol dan dievaluasi secara berjangka untuk menghindari kejadian serupa,” ucapnya.

Dalam konteks yang lebih luas, Rafidola menilai tragedi di Solok hanyalah “puncak gunung es” dari persoalan perizinan dan keselamatan yang kerap diabaikan di berbagai destinasi wisata baru di Indonesia.

“Kita terlalu mudah memberikan izin pengelolaan wisata tanpa kajian mendalam. Betul, kita butuh pariwisata sebagai sumber pemasukan daerah, tapi jangan vulgar dalam mengelolanya. Kita sering bicara tentang konsep pentahelix atau hexahelix, tapi dalam pemberian izin justru para akademisi dan pakar tidak dilibatkan. Padahal mereka berperan penting dalam kajian dan perencanaan yang matang,” tutur Rafidola.