Berita

Sumbar di Bawah Bayang-Bayang Krisis Fiskal

139
×

Sumbar di Bawah Bayang-Bayang Krisis Fiskal

Sebarkan artikel ini

PADANG, HANTARAN.Co—Pemerintah pusat akan memangkas hingga Rp2,6 triliun anggaran Transfer ke Daerah (TKD) untuk Sumatera Barat (Sumbar) pada tahun anggaran 2026 mendatang. Sebagai provinsi yang masih bergantung pada kucuran dana pusat, dengan tingkat kemandirian fiskal “hanya” 21 persen, kebijakan ini jelas menjadi pukulan telak bagi Sumbar.

Berdasarkan data sementara yang diperoleh Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Sumbar, dari 19 kabupaten/kota di Sumbar, Kota Padang menjadi daerah dengan jumlah pemotongan tertinggi, yakni sebesar Rp371 miliar. Diikuti Kabupaten Agam sebesar Rp166 miliar, Kabupaten Pasaman Barat sebesar Rp1228 miliar, dan Kabupaten Limapuluh Kota sebesar Rp125 miliar. Di sisi lain, Kabupaten Pesisir Selatan menjadi daerah dengan jumlah pemangkasan TKD terkecil, yakni hanya Rp41 juta.

Sementara itu, untuk Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sumbar, pemangkasan TKD tahun anggaran 2026 tercatat mencapai Rp533 miliar. “Apabila ditotal, secara keseluruhan, untuk 19 kabupaten/kota plus Pemprov Sumbar, itu pemotongannya mencapai Rp2,6 triliun. Angka yang jelas tidak kecil,” kata Kepala BPKAD Sumbar, Rosail Akhyari Pardomuan kepada Haluan, Jumat (3/10).

Rosail menyampaikan, data jumlah pemangkasan TKD ini bersifat tentatif dan masih dapat berubah. Sampai saat ini, pihaknya masih menunggu arahan lebih lanjut dari pemerintah pusat melalui Peraturan Menteri Keuangan (Permenkeu) yang kemungkinan besar akan terbit dalam bulan ini. “Dalam Permenkeu itulah nanti akan diketahui angka finalnya berapa,” kata Rosail.

Lebih jauh ia mengatakan, pihaknya sebagai pemerintah daerah (pemda) sedikit banyaknya bisa memahami kebijakan yang diambil oleh pemerintah pusat tersebut. Pasalnya, kebijakan ini tak hanya semata-mata memangkas anggaran TKD bagi daerah, namun lebih pada pengalihan anggaran dari pemda ke kementerian/lembaga (K/L).

Dengan kata lain, jika selama ini pembangunan di daerah dilakukan oleh pemda melalui dana APBD yang bersumber dari TKD, maka kini pembangunan akan dilakukan langsung oleh kementerian/lembaga terkait.

“Dan itu sebenarnya sudah mulai dilakukan sejak tahun 2025 ini. Misalnya seperti program revitalisasi sekolah. Sebelumnya program ini dikerjakan oleh pemda melalui DAK. Nah, sekarang tidak lagi. Langsung kementerian terkait yang mengerjakan,” katanya.

Namun, terlepas dari semua itu, ia mengakui bahwa kebijakan pemangkasan TKD ini akan berdampak cukup besar bagi daerah. Terlebih karena pemotongan tersebut menyasar seluruh komponen TKD, mulai dari Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), Dana Insentif Daerah (DID), hingga Dana Desa.

Menurut Rosail, yang paling berat dan membebani adalah pemotongan terhadap DAU, khususnya DAU yang Tidak Ditentukan Penggunaannya. Hal ini tak terlepas dari skema peruntukan DAU, di mana sesuai Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, alokasi DAU untuk suatu daerah bergantung pada luas wilayah, jumlah penduduk, tingkat kemiskinan, dan angka gini ratio.

“Artinya, semakin rendah tingkat kemiskinan dan semakin baik angka gini ratio, maka DAU yang diterima suatu daerah akan semakin kecil. Pun sebalik, semakin tinggi tingkat kemiskinan dan semakin buruk angka gini ratio, maka besar pula alokasi DAU yang diterima,” katanya.

Dalam hal ini, persoalan muncul lantaran selama ini DAU sebagian besar dialokasikan untuk membayar gaji pegawai. Sementara sisanya digunakan untuk pelaksanaan Standar Pelayanan Minimal (SPM), yang mencakup sejumlah sektor, yakni pendidikan, kesehatan, pekerjaan umum, perumahan rakyat, sosial, serta ketenteraman, ketertiban umum, dan perlindungan masyarakat (trantibumlinmas).

Jika berkaca pada jumlah pemotongan yang akan dilakukan pemerintah pusat tersebut, maka ia khawatir DAU yang akan diterima daerah tahun depan hanya akan cukup untuk membayar gaji pegawai saja. “Nah, akhirnya mau tidak mau anggaran untuk pelaksanaan SPM akan diambil dari Pendapatan Asli Daerah (PAD). Yang mana, bagi sebagian besar daerah ini jelas amat memberatkan,” tuturnya.

Sekalipun demikian, ia melihat hal ini sebagai tantangan bagi pemda dan DPRD dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Untuk Pemprov Sumbar sendiri, ia menyebut akan ada pembicaraan kembali dengan DPRD Sumbar terkait skala prioritas APBD Sumbar untuk tahun 2026. Besar kemungkinan akan ada rasionalisasi kembali terhadap APBD 2026.

“Sederhananya, kalau pendapatan berkurang, maka belanja pun tentu harus ikut dikurangi. Jadi, nanti mungkin akan kami lihat kembali. Mana yang bisa dirasionalisasi, akan dirasionalisasi. Dan kegiatan yang tidak terlalu prioritas mungkin akan ditiadakan,” katanya.