Stunting jadi Momok Menakutkan, Darul Siska dan BKKBN Sumbar Intervensi Gizi

SOLOK, hantaran.co—Anggota DPR RI komisi X Darul Siska bersama Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Sumbar mengadakan sosialisasi dan advokasi KIE penanganan stunting di Nagari Koto Laweh, Kecamatan Lembang Jaya, Kabupaten Solok pada Sabtu (28/8).

Darul Siska yang merupakan putra Talawi Sawahlunto itu mengatakan, sebagai wakil rakyat di pusat dan bermitra dengan sejumlah kementerian dan badan, ia turut terpanggil untuk mengatasi masalah stunting.

Dikatakannya, pravelensi stunting di Sumbar masih di bawah standar nasional. Meski begitu, Kabupaten Solok tertinggi di tingkat Sumbar.

“Nasional 24,4 persen. Sementara di Sumbar 23,3 persen. Meski begitu perlu jadi perhatian di Kabupaten Solok mencapai 40,1 persen,”ucapnya.

Disampaikannya, diperlukan data by name by address untuk mengetahui langsung kasus stunting. Bahkan bisa melakukan intervensi langsung.

Hal tersebut pernah ia lakukan di Sawahlunto.

“Di Sawahlunto pernah saya temukan dua orang anak stunting. Saya intervensi langsung diberikan bantuan gizi,”ucapnya.

Ia mengatakan, anak stunting cenderung memiliki otak yang lemah atau bodoh. Hal ini juga berdampak pada negara yang bakal terbelakang.

“Kenapa ini perlu diatasi, karena Indonesia ini kaya, kita punya minyak, batu bara, emas nikel, sawit semua yang ditanam tumbuh. Negeri kaya tapi apa kita kaya? Karena kita tidak cerdas tidak orang yang pandai mengelola alam. Generasi akan datang harus yang pandai dan cerdas,”ujarnya.

Ia menggambarkan tentang sawit. Di negara lain sawit menghasilkan 47 komoditas. Namun, di Indonesia hanya ada minyak.

“Meski saat ini sudah ada penumuan cangkang sawit yang diolah menjadi rompi anti peluru dan helm. Kita ingin generasi kita ini bisa lebih baik. Kita bangun kesadaran untuk bangsa yang lebih unggul,”kata Darul.

Dijelaskannya, IQ rata-rata tertinggi warga di Jepang 106, lalu ada Hongkong, dan lainnya. Sementara Indonesia rata-rata IQ 78.

Sementara kata Darul Siska, di Singapura pengentasan stunting dinilai baik. Dari 100 kelahiran hanya ada 2 yang berpotensi.

“Pekerjaan inu bukan dari BKKBN saja tapi semua orang harus berpikir harus banyak.  Yang paling bertanggung jawab ada orang tua,”ujarnya.

Bagi yang berisiko stunting, kata Darul Siska, perlu diatasi bersama-sama.

Kepala BKKBN Sumbar Fatmawati menyampaikan, banyak aspek ditanyakan untuk mengetahui adanya potensi anak stunting, diantaranya jamban, kecacingan diare, dan rumah layak huni.

“ Di Kabupaten Solok contohnya. Terdata ada 40,1 persen stunting, artinya dari 10 anak yang lahir ada 4 yang stunting. Potensi ini bisa diketahui dengan berat anak yang hanya 2,5 kilogram dan panjang atau tingginya di bawah 48 centimeter. Ini perlu diwaspadai, harus diintervensi dengan cepat,”tuturnya.

Lebih lanjut disampaikannya, faktor lain yang berpotensi adalah kepala keluarga yang tidak bisa memberikan gizi atau protein kepada anaknya. Ini menjadi faktor pemicu, atau saat hamil tidak diberikan nutrisi yang baik

Selain itu, tidak mempunyai air minum yang layak.

“Keluarga ini tidak mendapat air minum layak. Sumur tidak terlindungi, hanya mengadalkan air hujan,”katanya.

Faktor lainnya adalah tidak adanya jamban atau tempat BAB. Selanjutnya rumah tidak layak huni.

“Berikutnya tidak diberikan ASI ekslusif. Sekali lagi ini hanya potensi resiko kejadian stunting. Karena tidak ada ASI imunnya lemah,”ungkapnya.

Fatmawati menjelaskan, saat ini calon pengantin (Catin) mendapat pendamping dari tim.

“Mereka harus skrening kesehatan dulu. Ketika lingkar lengannya kurang dari 23 centi ini berpotensi melahirkan stunting. Ketika hb 11, 5 atau ia perlu tablet tambah darah. Ini lah tugas kader Tim Pendamping Keluarga (TPK) selalu memantau Catin. Maka sebelum hamil, Catin harus diyakinkan sehat siap untuk menikah,”ucapnya.

Faktor lainnya yang tak kalah penting adalah rapatnya waktu atau kelahiran. Bahkan mempengaruhi angka kematian ibu dan anak.

Karena Indonesia akan menghadapi bonus demografi ucap Fatmawati, maka diperlukan manusia yang produktif lebih banyak dari non produktif.

“Usia yang produktif harus lebih besar dibanding anak dan lansia. Maka dalam mengisi pembangunan kita harus betul-betul mencegah stunting,”tuturnya.

(Dafit/hantaran.co)

 

Exit mobile version