Selamatkan Legalitas Ijazah Mahasiswa/i STKIP PGRI Sumatera Barat

PADANG, hantaran.co — Ketua Yayasan Pendidikan PGRI Padang Sumatera Barat, Drs. Hardizon Bahar, S.IP, MM menyatakan bahwa saat ini pihaknya tengah menempuh jalur hukum untuk menentang Akta Perdamaian Perkara Perdata No. 50/Pdt.G/2020/PN.Pdg, yang dibuat secara sepihak oleh Organisasi PGRI Sumatera Barat bersama Mantan Ketua Pengurus Yayasan Pendidikan PGRI Padang Sumatra Barat Dasrizal, yang telah diberhentikan karena habis masa jabatan pada Desember 2020.

Hardizon meyebutkan, Dasrizal selaku tergugat melakukan perbuatan yang bukan kewenangannya, dan tidak mempunyai legal standing dalam mewakili yayasan, karena berstatus sebagai mantan pengurus yayasan dalam membuat akta perdamaian yang bertujuan untuk mengalihkan Aset Yayasan berupa Badan Pengelola Sekolah Tinggi STKIP PGRI Sumbar, dari Yayasan Pendidikan PGRI Padang Sumatra Barat kepada Organisasi PGRI Sumatra Barat yang merupakan organisasi paguyuban.

“Namun anehnya, saudara Dasrizal bukan membela yayasan, tetapi menikmati keuntungan dengan dialihkannya Aset Yayasan Pendidikan PGRI Padang Sumatra Barat tersebut, dengan bukti bahwa dirinya selaku ketua BPH PB PGRI, saat ini sebagai Pengelola Sekolah Tinggi STKIP PGRI Sumbar,” ujar Hardizon dalam keterangan tertulis yang dikirimnya kepada Haluan, Minggu (26/9/2021).

Oleh karena itu, sambung Hardizon, hal ini perlu diingatkan oleh dirinya sebagai Ketua Yayasan, bahwa pengalihan setiap aset yayasan adalah kewenangan dewan pembina, dan bukan oleh ketua pengurus yayasan, atau mantan pengurus yayasan.

“Apabila saudara Dasrizal melanggar anggaran dasar, maka akan ada konsekuensi hukum di kemudian hari yang harus dipertanggungjawabkan,” ucapnya lagi.

Hardizon menegaskan, pengalihan pengelolaan tersebut tidak saja merugikan Yayasan Pendidikan PGRI Padang Sumatra Barat, tetapi juga dapat merugikan mahasiswa/i STKIP Sumbar karena menyangkut dengan legalitas Ijazah mahasiswa/i. Sebab, yang berjalan selama ini, Badan Penyelenggara STKIP PGRI Sumbar adalah Yayasan Pendidikan PGRI Padang Sumatra Barat, dan bukan “Organisasi PGRI”.

“Sebagai buktinya, Ijazah mahasiswa/i tetap memakai stempel Yayasan Pendidikan PGRI Padang Sumatra Barat yang terdaftar. Kita merasa prihatin mahasiswa akan dirugikan akibat perbuatan ini, dan sekali lagi kami minta tolong, selamatkan legalitas ijazah mahasiswa/i STKIP PGRI Sumbar. Permintaan ini terutama kami tujukan kepada LLDikti Wilayah X,” ucapnya.

Hardizon menegaskan, saat ini Yayasan Pendidikan PGRI Padang Sumatera Barat
sedang berjuang dan menempuh proses hukum, dan menuntut Dasrizal dkk melalui gugatan perdata No.54/Pdt.G/2021/PN.Pdg di PN Padang, untuk membatalkan Akta Perdamaian No. 50/Pdt.G/2020/PN.Pdg, yang merugikan yayasan, sebagaimana diungkapkan sebelumnya oleh Arnold Eka Putra, SH selaku kuasa hukum yayasan.

“Bahkan yang bersangkutan sebelumnya telah mengakui secara tegas dalam kesaksiannya di bawah sumpah pada sidang di PN Padang pada tahun 2019, bahwa ia adalah mantan pengurus yayasan periode 2016 sampai 2019. Namun, ternyata bertolak belakang antara pengakuan di bawah sumpah itu dengan fakta yang saat ini terjadi. Di mana yang bersangkutan sampai saat ini masih mengaku sebagai ketua yayasan kepada pihak lain atau instansi pemerintah. Nanti akan kita minta pertanggungjawaban saudara Dasrizal secara hukum, baik melalui tuntutan atau gugatan,” ucap Hardizon lagi.

Ia juga menyampaikan, dalam suatu hukum perdata, ada akta perdamaian. Dalam kasus ini, akta perdamaian dibuat oleh pihak yang tidak memiliki legal standing sebagaimana diungkapkan oleh Prof. Dr. Busyra Azheri, SH. MH selaku saksi ahli dalam persoalan ini.

“Perbuatan membuat akta perdamaian yang mengalihkan pengelolaan kepengurusan STKIP PGRI Sumatra Barat merupakan pelanggaran terhadap hukum, karena masa jabatannya sudah habis ketika membuat akta perdamaian tersebut. Secara hukum, wewenang yayasan diatur berdasarkan UU Nomor 16 thn 2001 dan UU Nomor 28 thn 2004 tentang yayasan. Berdasarkan undang-undang ini, pembina adalah organ yayasan yang mempunyai kewenangan yang tidak diserahkan kepada pengurus dan pengawas,” kata Hardizon lagi.

Hardizon menyampaikan, saat pembina menyerahkan kewenangan pada pengurus tanpa melalui keputusan rapat pembina, maka perbuatan tersebut tidak sah. Masih menurut saksi ahli Prof. Busyra, kata Hardizon lagi, masalah yang harus ditegaskan adalah, bahwa perbuatan hukum mengalihkan pengelolaan dan membuat akta perdamaian adalah kepentingan pihak yang membuat akta itu sendiri.

Pengalihan tersebut, sambungnya, menyangkut status aset yayasan berupa SK Yayasan Pendidikan PGRI Padang Sumbar, yang didasarkan pada SK No. 239/KPT/I/2018 yang diterbitkan oleh Kemenristek Dikti. Dengan adanya akta perdamaian tersebut, maka akta itu dialihkan pada Organisasi PGRI.

“Principal PGRI ini sebenarnya paguyuban. Yayasan Pendidikan PGRI Padang Sumatra Barat memiliki legal standing yang lebih kuat, karena yayasan ini memiliki dasar dalam undang-undang terkait yayasan,” ujarnya.

Ditegaskan Hardizon, bahwa Dewan Pembina Yayasan Pendidikan PGRI Padang Sumatra Barat yang diketuai oleh Jofrinaldi Sjofka, tidak pernah mengalihkan, menyetujui, dan diberitahu tentang adanya Akta Perdamaian Perkara Perdata No. 50/Pdt.G/2020/PN.Pdg yang dibuat secara diam-diam tersebut.

Jofrinaldi Sjofka menyatakan, pihak yang membuat akta perdamaian ini periode kepengurusannya telah berakhir pada 30 Desember 2020. Sebelumnya, yang bersangkutan juga telah diberhentikan oleh dewan pembina pada bulan Juni 2019, dan kemudian terjadi sengketa di pengadilan.

Lalu, pada saat sengketa terjadi, yang bersangkutan secara diam-diam membuat akta perdamaian dengan Organisasi PGRI Sumatra Barat.

Dasrizal, kata Hardizon lagi, sudah pernah diberi peringatan karena selama menjabat sebagai ketua pengurus yayasan belum pernah sekalipun memberikan laporan pertanggungjawaban tahunan secara tertulis kepada pembina. Dalam hal ini, katanya, pada unit usaha yayasan, terutama STKIP PGRI Sumatra Barat, seharusnya dilakukan audit independent, agar setiap anggaran yang dikelola diketahui peruntukannya.

Namun, akhirnya yang bersangkutan berhenti pada 30 Desember 2020 karena masa jabatannya habis, dan dewan pembina melalui keputusan rapat tidak lagi mengangkat Dasrizal sebagai pengurus yayasan.

“Akibat akta perdamaian tersebut, Yayasan Pendidikan PGRI Padang Sumatera Barat dirugikan. Sekarang, kita dalam proses menuntut ke pengadilan, semoga Pengadilan melalui majelis hakim yang mengadili dapat menegakan hukum dan keadilan, sehingga hak yayasan dapat kembali seperti semula,” ucapnya.

Hardizon melanjutkan, pengalihan aset yayasan yang dilakukan oleh Dasrizal, tidak pernah diberitahukan kepad adewan pembina dan pengawas yayasan.

“Ini indikasi perbuatan melawan hukum, sesuai UU Nomor 16 tahun 2001 dan Nomor 28 tahun 2004 pasal 35 ayat 5, bahwa setiap pengurus bertanggung jawab penuh secara pribadi apabila yang bersangkutan dalam menjalankan tugasnya tidak sesuai dengan ketentuan Anggaran Dasar, yang mengakibatkan kerugian yayasan atau pihak ketiga,” ucapnya menutup. (*)

Leni/hantaran.co

Exit mobile version