SEBULAN “DIKERJAI” COVID-19 (BAGIAN 2), Sakit Luar Dalam, Nyaris Sekeluarga Positif Corona

RSUD Rasidin

RSUD Rasidin. IST

Penulis Rakhmatul Akbar

Tahun 2021 tentu saja tahun yang akan terkenang sepanjang hayat oleh saya dan keluarga. 15 Januari, di tengah pandemi Covid-19 yang belum terkendali, saya kembali berurusan dengan seperangkat alat uji swab. Ini sudah keenam kalinya, dan hasilnya positif. Bahkan, Covid-19 tak berhenti di tubuh saya saja, ia juga singgah ke tubuh istri dan anak tercinta.

Dua hari sebelum uji swab, tepatnya Rabu 13 Januari 2021, tubuh saya mulai drop. Padahal, pagi harinya saya masih sempat beraktivitas dengan tim marketing Haluan. Ada Silvia Oktarice selaku manajer marketing dan Yunasbi selaku Kabag Iklan. Hari itu, kami bertemu relasi yang kebetulan connect dengan saya. Lantas, sepulang kunjungan itu, tubuh makin tak nyaman hingga saya memutuskan pulang ke rumah. Istirahat. (Belakangan dapat kabar kedua teman kantor ini baik-baik saja).

Saat istirahat di rumah, belum terbersit pikiran Covid-19 mulai menggerogoti tubuh. Saya bilan kepada istri, keluhan yang saya rasa seperti sakit dua tahunan yang memang rutin mampir. Dalam momen ini pula, saya dan istri menggunakan sendok yang sama saat makan potongan jambu biji. Kami betul-betul tak sadar bahwa memakai sendok yang sama untuk makan sebelumnya tak pernah terjadi.

Namun, untuk urusan tidur di kamar, saya dan istri sepakat pisah dulu. Istri bersama anak bungsu saya tetap di kamar utama, dan saya menepi ke kamar lain. Sementara si sulung, tetap di kamarnya sendiri.

Saat pisah kamar inilah mulai terbayang, andaikan saya positif Covid-19. Sebab, kondisi tubuh kali ini terasa berbeda dengan kondisi pra dan pascauji swab sebelum-sebelumnya; badan mulai panas dingin, meski tak menggigil, tapi semua persendian terasa seperti rengkah. Rasa-rasa tak mampu menopang badan. Pada saat bersamaan, rutinas BAB (buang air besar) seperti terkena diare justru semakin tinggi. Terlebih, tidur juga gelisah.

Kamis 14 Januari 2021 semestinya saya ulangi lagi uji swab. Sebab, kondisi tak kunjung membaik kendati sudah menelan paracetamol yang memang tersedia di rumah. Secara mental, saya masih menguatkan diri. Sebab terkadang saya berpikir, kondisi ini sama dengan kondisi sakit dua tahunan yang biasa saya alami. Sementara itu di sisi lain, gejala Covid-19 yang lazim dialami banyak orang seperti kehilangan fungsi indra penciuman dan indra perasa, tak saya rasakan. Semuanya masih normal. Jadi, hari itu, saya putuskan tak ikut uji swab.

Namun demikian, saya dan istri sepakat jika keesokan harinya kondisi tak membaik, saya akan uji swab. Sebagaimana juga disarankan oleh beberapa teman seangkatan di SMA 2 Padang (angkatan 1997), yang berprofesi sebagai dokter. Bahkan, teman-teman itu bertugas menangani Covid-19. Seperti, dr. Fadli di Pariaman dan dr. Wafda Aulia di Solok.

Jumat 15 Januari itu, kondisi memang tak kunjung membaik. Saya mulai meriang. Panas dingin tak reda. Tubuh secara umum makin drop. Lemas. Rasanya seperti orang kantoran yang tak biasa mencangkul, lalu disuruh mencangkul. Begitu usai mencangkul, tambin-lah dibuatnya. Begitu kira-kira. Tapi saya tak sampai menggigil seperti dikisahkan beberapa orang yang pernah berurusan dengan Covid-19.

Hari itu saya putuskan ikut uji swab untuk kali keenam. Ada dua alasan yang menguatkan pilihan itu. Pertama, kondisi kesehatan tak kunjung membaik bahkan cenderung memburuk. Kedua, pada Kamis, sehari sebelumnya, saya dapat kabar salah seorang rekan yang sebelumnya saya temui, sudah menjalani perawatan di RS Ibnu Sina karena positif terjangkiti corona.

Pada momen inilah saya mulai melacak bagaimana kemungkinan transmisi virus bisa sampai ke tubuh saya. Mundur sepekan ke belakang, tepatnya 8 Januari 2021. Saya bersama sejumlah rekan wartawan bertandang ke kantor rekan tersebut, di sebuah OPD di Pemprov Sumbar. Ada empat kawan wartawan saat itu. Saya, Mario Sofia Nasution dari Antara Sumbar, Heru Candriko dari Posmetro Padang, dan Faisal Budiman dari Khazanah. Saat itu ada diskusi , dari pukul 16.30 WIB hingga 17.30 WIB.

Saya mengira, dari sinilah transmisi itu terjadi. Setelah saya mendapat kabar soal rekan di OPD ini terpapar, saya lantas melacak rekan-rekan wartawan lain. Walhasil, Mario juga demam panas sejak Senin, 11 Januari 2021, tapi mengaku belum mengambil langkah uji swab. Namun, rekan yang di OPD tadi, justru demam panas sehari setelah kami berjumpa, tepatnya pada 9 Januari 2021. Lalu pada Senin 11 Januari yang bersangkutan uji swab. Sementara saya baru mulai demam pada Rabu 13 Januari 2021.

Itulah runtut kejadian, hingga pilihan uji swab diambil. Mario dan saya uji swab pada Jumat, 15 Januari 2021. Mario di RSUD dr.Rasidin, sementara saya di Puskesmas Lubuk Buaya. Dengan fakta dan perkiraan rentetan di atas, saya mulai menata mental. Saya harus siap dengan hasil uji swab ini.

Hati kecil tentu menginginkan hasilnya negatif, tapi rasa was-was tetap tak terkendali. Takut? Tentu saja. Rasanya, manusiawi jika rasa ini hinggap. Banyak hal yang terpikir. Diri sendiri, anak, istri, keluarga besar, teman-teman. Hingga terbayang bagaimana sikap orang-orang di sekitar jika kabar ini merebak. Terbayangkan sakitnya, pasti luar dalam.

Sejak saat itu, saya tanamkan keyakinan untuk siap jika dilaporkan positif Covid-19. Pun demikian dengan istri, yang juga mulai harap-harap cemas. Namun, wajahnya tetap memancarkan pesan mendorong agar seluruh keluarga semangat dan tegar. Harus kuat dan saling menguatkan. Sesekali, terperhatikan juga wajah dua anak perempuan saya. Memilin hati ini rasanya, membayangkan andai mereka juga terjangkit.

Lalu, bagaimana kondisi kesehatan? Tetap tak membaik. Badan terasa capek dan kian letih. Maunya, berbaring saja rasanya. Namun, saat dibawa berbaring, tak nyaman. Hari berganti, tapi terasa sangat lambat. Keesokkan harinya, Sabtu , 16 Januari 2021 kabar Mario kami terima. Ia positif. Dalam proses komunikasi melalui percakapan telepon, Mario mengabarkan akan segera dirawat di RSUD dr. Rasidin.

Bagaimana dengan saya? Belum ada kabar. Makin tak menentu rasanya. Saat mental terus disiapkan jika hasilnya positif, pada saat bersamaan hati kecil ikut bersuara; Negatiflah hendaknya. Padahal, tubuh semakin remuk rasanya. Pada saat bersamaan, istri mulai berkeluh kesah pula soal kesehatannya. Makin tak menentu batin dibuatnya. Teringat kisah-kisah soal Covid-19. Saya membayangkan bagaimana saya ikut “berjuang” menguatkan beberapa tokoh yang peduli dengan penyebaran penyakit ini. Tapi kini, saya sendiri yang agaknya mulai terpapar.

Dan momen itu pun akhirnya sampai. Minggu 17 Januari 2021, saya dikabari Jubir Satgas Tugas Penanganan Covid-19 Sumbar Jasman Rizal. Ia kirimi saya potongan hasil pemeriksaan swab dalam format jpeg. Saya positif. Ia lantas memberikan pesan penguat. Masih pagi saat itu. Kami sekeluarga sedang sarapan pagi. Kabar itu saya teruskan ke istri. Terceguk dia. Tak habis sarapan di piringnya.

Masih ingat momen itu. Ingat benar bagaimana istri yang sudah mendampingi saya sejak 2006 itu merespons. Tapi nasi sudah jadi bubur. Apa setelah ini? Dan, disepakatilah, seluruh keluarga, istri dan dua anak, akan ikut uji swab. Hari itu juga saya kabari lagi Bang Jasman, dan ia menyarankan uji swab di BIM saja. Tapi, ada kendala teknis yang bisa kami pahami, sehingga disarankan untuk uji swab di Puskesmas terdekat.

Sambil menanti hari esok, kondisi makin tak menentu. Istri mulai menunjukkan gejala-gejala tak biasa. Ia minta dibelikan obat batuk. Di kepala, sudah terbayang yang tidak-tidak. Sebab, batuk-batuk itu juga salah satu gejala. Belum lagi, ia mengaku kondisinya mulai tak nyaman. Semuanya berkecamuk. Perasaan dan ilusi bercampur baur tak jelas.

Sementara itu dua anak perempuan saya, terlihat masih biasa-biasa saja. Kami lebih khawatir dengan si sulung. Sebab, ia punya riwayat asma. Kalau virus itu mampir ke dirinya, entah bagaimana jadinya. Kekhawatiran kian menumpuk, dan pada saat bersamaan, informasi saya positif Covid-19 sudah berbedar.

Alhamdulillah, informasi yang beredar itu justru berdampak baik. Doa bersautan di aplikasi perpesanan. Beberapa teman bahkan mengirimi saya obat herbal, makanan, dan saran-saran terkait penanganan Covid-19. Sayangnya, saat makanan diterima, selera makan mulai hilang. Kalau indra perasa, masih tetap ada, termasuk penciuman. Tapi soal istirahat malam, masih gelisah.

Senin keesokan harinya, istri dan dua anak perempuan saya menjalani uji swab di Puskesmas Anak Air, Koto Tangah, Kota Padang. Sekitar 1.5 kilometer dari kediaman. Saat itu, rasanya kondisi tubuh agak segar sehingga saya masih bisa mengendarai mobil. Sekitar dua jam lebih saya di luar rumah, tapi hanya dalam kendaraan.

Kemudian besoknya, nyaris tak ada perubahan pada diri saya. Masih begitu-begitu saja. Namun, sejak Senin malam, ada sebuah keputusan yang kami ambil terkait interaksi di rumah. Si bungsu yang biasa tidur sekamar dengan kami, diputuskan pindah ke kamar kakaknya. Sementara, saya sendiri sudah terpisah sejak Rabu.

Di sini, kekhawatiran istri sudah terjangkit mulai timbul. Kondisi istri saya tak membaik dan belakangan saya baru dikabari bahwa indra penciumannya sudah tak berfungsi. Ia tak langsung memberi tahu karena mungkin tengah menguatkan diri sendiri. Sementara dari kondisi fisik, ibu dari dua anak perempuan saya itu semakin lunglai. Saya pun memilih diam tak bertanya. Baru pada Selasa 19 Januari 2021 itu ia buka mulut. Indra penciuman tak berfungsi. Ia mengaku sebelum bertolak ke Puskesmas, indra penciumannya tak lagi mendeteksi wangi parfum.

Gantian saya yang tercenung. Kami coba meyakini keadaan dengan mencoba uji indra penciuman istri. Pakai minyak angin yang baunya lebih tajam dan khas. Sah. Ia tak membaui apa pun. Dicucukkan pun ke hidung, tak ada aroma minyak angin itu. Di sinilah, kami semakin saling menguatkan. Firasat berkata, istri sudah terjangkit Covid-19. Tinggal menanti hasil uji swab.

Ancang-ancang apa yang akan dilakukan mulai dipikir. Kesepakatan pun diambil untuk mengantisipasi keadaan jika istri ikut positif. Bagaimana dengan anak-anak kami. Kalkulasi terus dilakukan. Apakah kami akan mengambil opsi isolasi mandiri atau di rumah sakit. Belum ada keputusan. Yang ada adalah opsi-opsi. Jika ada yang negatif, ia akan dibawa ke kampung halaman istri di Limapuluh Kota. Tempat kakek dan neneknya. Di sana ada om serta tante mereka. Rasanya, mereka akan lebih aman di sana. Kendati demikian, opsi lain masih terus dikaji.

Dan tibalah momen itu. Rabu 20 Januari 2021, bang Jasman lagi yang menyampaikan kabar itu. Tetap dengan format jpeg yang disusun dalam program Microsoft excel. “Dek (panggilan saya pada istri), ini hasilnya sudah dikirim bang Jasman,” kata saya kepada istri dalam percakapan pagi yang terasa hampa. Pagi yang membuat kami terpukul. Ya, mungkin jujur saya sampaikan, kami terpukul.

Istri saya positif. Anak bungsu saya yang masih berusia tujuh tahun positif. Tinggal anak sulung saya yang Negatif. Masya Allah. Sakit luar dalam itu kian terasa. Terbayang kami harus tercerai berai. Terbayang kami harus terisolasi. Terbayang pula rasanya harus menjalani perawatan di rumah sakit. Dalam situasi yang terasa menyesakkan itu, keputusan berat segera diambil. Lapor ke Puskesmas dan hubungi keluarga di Limapuluh Kota untuk menjemput si kakak (anak kami yang sulung).

Kami ke puskesmas. Bertiga. Saya, istri, dan si bungsu, untuk melaporkan hasil ini. Si sulung, tinggal di rumah. Ia kami minta berkemas. Pakaian, buku sekolah, dan keperluan lainnya. Ia harus bersiap karena nenek dan omnya segera datang menjemput. Dalam kondisi demikian, kami menanti keputusan pihak Puskesmas.

Tim medis di Puskesmas Anak Air mengabarkan bahwa istri saya harus dirujuk ke RSUD dr. Rasidin. Iya, dia saja. Keluhannya cukup banyak. Lebih banyak dibanding saya. Bagaimana dengan si bungsu? Ia tanpa keluhan. Bisa disebut, ia orang tanpa gejala (OTG). Ia tetap ceria, kendati sudah positif Covid-19.

Pikiran mulai bercabang. Saya, istri, si bungsu, dan si sulung. Kenapa puskesmas hanya merujuk istri? Kenapa saya tidak? Kenapa si bungsu tidak. Lalu, kalau kondisi istri berat, bagaimana dengan saya dan si bungsu. Bagaimana si kakak. Bagaimana istri harus ke rumah sakit? Berupa-rupa pemikiran saat itu. (bersambung) (*)

hantaran.co

Exit mobile version