SEBULAN “DIKERJAI” COVID-19 (BAGIAN 1), Lengah Sedetik, Corona Datang Menyiksa

Swab

Penulis saat menjalani uji swab di sarana kesehatan Bandara Internasional Minangkabau beberapa waktu lalu. Penerapan protokol kesehatan menjadi teramat penting jika tak ingin berurusan dengan medis. DOK. PRIBADI

Laporan: Rakhmatul Akbar (Wartawan Utama)

Bicara pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19), sebenarnya banyak sekali sumber yang bisa menjadi referensi. Terutama sekali media arus utama; baik cetak, televisi, hingga portal daring,sudah sama-sama mengeroyok informasi soal penyakit yang belum ada obatnya ini. Bedanya dengan media sosial (medsos), media arus utama tentu menghadirkan sumber-sumber berkompeten untuk bicara.

Sementara itu di jagat media sosial,  yang penting ada tulisan. Soal sumber dan kapasitas sumber, itu urusan ke-12, 13, bisa juga ke-15. Ada pun untuk urusan kapasitas narasumber, itu bisa ‘dianggap’ atau ‘tak penting sama sekali’. Namun, sebagian publik justru lebih memercayai medsos, tanpa merasa perlu melakukan cek dan ricek. Apalagi, informasi yang isinya berlawanan dengan keterangan resmi pemerintah.

Melihat arus informasi yang datang dari berbagai arah, hasil akhirnya adalah multitafsir, sehingga bermacam pula kesimpulan yang muncul tentang soal Covid-19 ini. Ada yang beranggapan A, ada yang B, bahkan ada anggapan paling parah; yaitu tak percaya adanya Covid-19 sama sekali.

Dalam sebuah diskusi pada sebuah grup aplikasi perpesanan, saya yang baru selesai menjalani perawatan akibat positif Covid-19 beberapa waktu lalu, menyampaikan pesan singkat agar anggota grup lebih mematuhi protokol kesehatan (prokes). Berpesan agar 3 M (Memakai masker, Mencuci tangan, dan Menghindari kerumunan) diterapkan betul-betul.

Sebagian dari anggota grup merespons positif dan mendukung. Namun, saya tercenung saat salah seorang anggota merespons begini: Apakah, kalau kita sudah mengikuti segala protocol, dapat di jamin terhindar (dari Covid-19). Saya pun butuh waktu sekitar satu menit untuk merespons balik secara sederhana saja;  Minimal orang yang patuh dengan 3 M lebih terlindungi dibanding yang abai (3 M). Padahal, dalam benak saya, kalau bicara soal jaminan, tombolnya tentu cuma milik Yang Esa. Tapi, ya sudahlah. Mungkin, referensi dan pemahaman yang diterima berbeda-beda.

Di sisi lain, respons itu menggambarkan sekeping persepsi publik yang belum juga paham apa dan bagaimana Covid-19 itu memberikan dampak, sehingga muncul respons soal jaminan. Bagaimana mungkin, seorang yang baru saja dinyatakan “sembuh” oleh medis dari Covid-19 seperti saya, bisa memberikan jaminan itu. Bagaimana mungkin seorang yang baru saja “dikerjai” Covid-19 meresponsnya dengan sebuah kepastian. Bagaimana mungkin seorang yang baru saja merasakan terisolasi di rumah sakit, bisa memastikan status kesehatan orang lain.

Ini sebenarnya pe-er. Ya, pekerjaan rumah yang sangat besar bagi seluruh pemangku kepentinganterkait, termasuk media yang baru saja ber-Hari Pers Nasional (HPN). Ya, stakeholder terkait telah melakukan daya dan upayanya. Ya, pemangku kepentingan telah berbuat banyak hal. Tapi tetap saja, penerimaan sebagian publik terhadap Covid-19 masih sinis. Namun, bukannya mereka harus tetap diurus dan dicerahkan. Pemangku kepentingan hendaknya juga jangan kendur mencerahkan masyarakat yang seperti itu.

Bagi media massa sendiri, pe-er yang nyata adalah melawan arus informasi yang begitu gencar di era disrupsi media, yang bagi sebagian kawan-kawan pers hingga perusahaan pers, mungkin terasa lebih mematikan dari Covid-19 itu sendiri. Media massa harus menyiapkan “vaksin” untuk dirinya sendiri, serta “vitamin-vitamin” agar roda organisasi perusahaan tetap berputar. Dan pada saat yang bersamaan, mereka juga harus berjuang melawan kabar-kabar hoaksdengan sebakul bumbu penyedap. Dalam tekanan  ganda itulah, media massa harus kuat agar bisa memberi pencerahan dan menyajikan informasi yang benar.

Bagi saya pribadi, momentum merasakan “dikerjai” Covid-19 menjadi salah satu momen yang paling berharga dalam hidup. Covid-19 mulai mampir ke Indonesia pada Maret 2020. Secara resmi Presiden mengumumkan ada dua warga Indonesia yang terpapar. Namun, tim pakar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI) punya pandangan berbeda.  Mereka menilai virus Corona sudah masuk ke Indonesia sejak pekan ke-3 Januari 2020.

Riuh rendah Covid-19 berlangsung sepanjang tahun hingga akhirnya saya harus berurusan dengan tenaga kesehatan (nakes) pada Agustus 2020. Saya harus melakukan perjalanan luar kota ke Jakarta. Untuk terbang, bekal selembar surat dari petugas karantina kesehatan bandara bisa dikantongi, di mana hasilnya saya nonreaktif pada uji cepat (rapid test) antibodi. Lalu setelah pulang dari Jakarta, sebelum pulang ke rumah saya “terpaksa” melewati uji swab di Bandara Internasional Minangkabau (BIM).

Awalnya saya enggan. Tapi, Wakil Gubernur Sumbar saat itu, Nasrul Abit, yang kebetulan satu penerbangan dari Jakarta ke BIM, meyakinkan bahwa uji swab harus dilakukan. Pak Wagub saat itu baru selesai menjalaninya bersama sang istri Wartawati Nasrul Abit. “Tolong ini bantu satu, rekan kita,” kata Pak Wagub kepada salah seorang petugas uji swab di BIM.

Meski sempat gamang, tapi lagi-lagi diyakinkan oleh petugas Dinas Kesehatan (Dinkes) Sumbar itu, sehingga akhirnya saya ikut tes swab kali pertama. Bagi saya saat itu, di sini hebatnya Sumbar. Layanan uji swab di bandara itu tak bayar, alias gratis. Saya pikir, ini salah satu bentuk tanggung jawab pemerintah provinsi dalam upaya pelacakan para pendatang dari luar Sumbar. Padahal, saat saya tanya kepada salah seorang rekan saya yang dokter di Jakarta, untuk uji swab perlu merogoh kantong cukup dalam. “Dua juta Maik (sapaan akrab saya di kalangan pertemanan). Nanti saya bantu biar dapat diskon di klinik tempat saya tugas,” kata rekan itu.

Saat menjalani uji swab ini, saya sebenarnya sempat khawatir juga. Sebab, tidak pernah terbayang sebelumnya hidung “jambu” saya ini harus ditusuk dengan dalam. Tapi, ternyata memang tidak sakit. Bahkan, anak bungsu saya yang beberapa bulan setelahnya juga menjalani uji swab—dan positif hingga dirawat—menyebutkan rasa uji swab itu seperti hidung kemasukan sebutir nasi. Oh ya, pada uji swab pertama di bandara itu, saya negatif!

Setelah itu, saya kembali berurusan dengan beberapa kali uji swab. Dua kali karena memang ada keperluan perjalanan ke Yogyakarta dan Jakarta. Lalu ada yang karena berkontak erat dengan orang yang kemudian positif Covid-19. Seperti dengan salah satu calon bupati, dan dengan seorang senior dan tokoh olahraga di Sumbar, yang akhirnya tutup usia setelah sepekan terpapar Covid-19.

Kemudian, mengawali 2021, apa yang bisa “saya hindari” sepanjang tahun 2020 akhirnya dirasakan juga. Mulanya, saat itu hari Jumat, 15 Januari 2021, di mana saya kembali menjalani uji swab. Kali ini, dilakukan karena kondisi kesehatan saya menunjukkan gejala yang mengarah pada terpapar Covid-19. Kondisi kesehatan yang saya rasakan saat itu, terasa sangat berbeda dengan kondisi saat menjalani sekitar lima kali uji swab di sepanjang 2020. Pendek kata, beberapa hari setelah uji swab perdana pada 2021 ini, hasilnya positif, dan hari-hari berat kemudian saya jalani setelahnya. (bersambung)

hantaran.co

Exit mobile version