Politik

Saldi Isra Sebut Sebagian Besar Hasil Pilkada Selalu Digugat

×

Saldi Isra Sebut Sebagian Besar Hasil Pilkada Selalu Digugat

Sebarkan artikel ini
Hakim MK, Saldi Isra. IST

PADANG, hantaran.co — Penerimaan para calon terhadap hasil Pilkada serta profesionalitas partai politik menjadi kunci terlaksananya Pilkada yang ideal dan berintegritas. Sementara itu sejauh ini, Mahkamah Konstitusi (MK) mengakui bahwa hanya sedikit calon kepala daerah yang legawa menerima hasil, sehingga berujung gugatan sengketa hasil ke MK.

Hal itu disampaikan oleh Hakim Mahkamah Konstitusi (MK), Saldi Isra, saat menjadi pembicara dalam Diskusi dan Bedah Buku “Sisi Lain Pilkada” yang ditulis Dosen Ilmu Politik Universitas Andalas Asrinaldi, Sabtu (10/10/2020), yang digelar secara daring. Kesimpulan itu ia tarik setelah kurang lebih selama 3,5 tahun terakhir berkarir sebagai Hakim MK.

“Hanya sedikit cakada yang berlapang dada menerima hasil Pilkada. Apa pun hasilnya, didorong dulu gugatan ke MK. Setelah diputus, 98 persen dari mereka baru menerima. Tapi bagaimana pun, mengajukan gugatan tetap lebih baik ketimbang menggerakkan massa untuk melakukan hal yang kontraproduktif,” kata Saldi.

Sejauh ini, kata Saldi lagi, dari banyak gugatan yang diproses MK terkait sengketa hasil Pilkada, sebagian besar gugatan memang tidak dipenuhi karena penggugat tidak memiliki bukti-bukti dengan tingkat validitas yang tinggi, sehingga akan sangat sulit untuk mengubah hasil Pilkada.

“Jadi itu, masalah Pilkada kita salah satunya adalah beratnya seorang kandidat atau paslon untuk dengan lapang dada menerima hasil penghitungan suara,” kata Saldi.

Sementara itu, Dosen Ilmu Politik dan Pemerintahan dari Universitas Gajah Mada (UGM) Mada Sukmajati mengatakan, desain Pilkada adalah prosedur atau usaha untuk mencapai tujuan yang lebih substansial. Di antaranya, untuk mempercepat tujuan kesejahteraan masyarakat dan meningkatkan efesiensi dan efektifitas pemerintah daerah.

“Evaluasi Pilkada yang telah berlangsung sejak 2005 lalu adalah melihat sejauh mana konsepnya bisa menciptakan Pemilu berintegritas. Selama ini, memang penyelenggara telah melakukan evaluasi, sayangnya evaluasi yang dilakukan sebatas evaluasi administrasi. Selain itu, pemerintah dan DPR perlu didorong untuk memonitor Pilkada secara bertahap. Apakah sudah mewujudkan tujuan Pilkada itu sendiri atau belum,” kata Mada.

Profesionalitas Parpol

Di kesempatan yang sama, Dosen Ilmu Politik dan Pemerintahan dari Universitas Sam Ratulangi Manado Ferry Daud Liando menggatakan, Pilkada tentu saja menjadi sarana untuk mencapai kedaulatan rakyat. Ada pun kunci agar terciptanya Pilkada yang ideal, menurutnya terletak pada pembenahan Parpol secara kelembagaan.

“Kenapa selama ini percakapan kita masih itu-itu saja, mulai dari money politics, kandidasi, mahar, dan sebagainya. Padahal, kita sudah melakukan berbagai macam perubahan kebijakan. Kita sudah beberapa kali melakukan revisi terhadap UU Pilkada dan UU Otonomi Daerah. Sementara UU Partai Politik masih menggunakan pola-pola lama, belum dilakukan perbaikan,” kata Ferry.

Ferry menyoroti, tertutupnya proses pencalonan kepala daerah di internal partai politik. Meski UU Nomor 2 Tahun 2008 yang kemudian diubah menjadi UU Nomor 2 Tahun 2011, mewajibkan Parpol untu melakukan rekrutmen dan seleksi cakada dengan transparan. Namun, sampai hari ini perintah itu tidak diikuti dengan pemberian sanksi kepada Parpol.

“Oleh karena itu, keputusan pencalonan berada di tangan Ketua Umum Parpol. Cara-cara seperti ini jadi pintu untuk pemilik modal untuk menentukan seseorang untuk menjadi kepala daerah. Jika Parpol itu baik, maka siapa pun yang terpilih nantinya, masyarakat bakal mendapatkan pemimpin yang berintegritas,” katanya menutup.

Sisi Lain Pilkada

Sementara itu penulis Buku Sisi Lain Pilkada, Asrinaldi mengatakan, buku tersebut berangkat dari pengalamannya saat terjun langsung melihat proses-proses Pilkada secara langsung. Buku yang ia tulis sengaja menghindar dari aspek teoritis dan lebih mengutamakan aspek praktis Pilkada.

“Dari pengalaman itu banyak sisi-sisi gelap Pilkada yang belum terjelaskan oleh konsep dan teori sehingga perlu ulasan lain dari sisi empiris. Buku ini ditujukan bagi masyarakat dan pihak-pihak yang ingin mendalami masalah-masalah politik. Mencoba melihat sisi praktis, terutama kontestasi Pilkada yang dilakukan oleh calon kepala daerah,” kata Peneliti Spektrum Politika itu.

Sementara itu, Saldi Isra mengapresiasi buku yang ditulis Asrinaldi tersebut. Menurutnya, buku itu mampu berbicara lebih banyak tentang hal-hal di belakang layar Pilkada. Sehingga, penting sekali dibaca bagi orang-orang yang ingin memahami tentang proses Pilkada sejak awal hingga penghitungan dilakukan.

Sementara itu, Mada Sukmajati mengatakan buku tersebut merupakan hasil memotret pengalaman panjang Indonesia dalam melaksanakan Pilkada secara langsung sejak tahun 2005 lalu. Di dalam buku ini juga dijelaskan tentang dua dimensi paling penting dalam Pemilu, yaitu kontestasi dan partisipasi.

“Buku ini mengupas dimensi kontestasi secara normatif dan praktis atau lebih fokus pada peserta Pilkada. Buku ini juga wajib dibaca oleh pembuat kebijakan untuk mengevaluasi, kemudian mendesain agar terwujud Pilkada yang baik dan ideal,” kata Mada. (*)

Riga/hantaran.co