Prof. Dr. Eka Putra Wirman, M.A
(Rektor UIN Imam Bonjol Padang)
Tujuan utama ibadah puasa Ramadan adalah meningkatkan kualitas umat Islam. Puasa menjadi ibadah yang istimewa karena selalu menjadi simbol kegembiraan dan kemenangan umat. Dari aspek spiritual, ibadah puasa membangkitkan ghirah keberagamaan; mendekatkan kembali hati umat kepada sang pencipta. Dari aspek sosial, ibadah puasa menjadi ajang bagi umat untuk menginfakkan harta; tenggang rasa satu sama lain. Dari aspek intelektual, ibadah puasa menjadi wadah kontemplasi strategis dalam memikirkan arah pergerakan; menjaga eksistensi Islam dalam dinamika peradaban.
Langkah pertama untuk mencapai tujuan utama tersebut dimulai dari pribadi umat Islam itu sendiri. Sebagaimana diungkapkan Syekh ‘Abd Al-Majid Muhammad ‘Ali Al-Ghiliy dalam bukunya Kayfa Yubarmiju Al-Qur’an Al-Hayah ‘Bagaimana Al-Qur’an Menertibkan Kehidupan’, ishlahli al-insan‘perbaikan individu’ menjadi kunci terwujudnya ishlahli al-mujtama’ ‘perbaikan masyarakat’. Betapa tidak realistisnya alam pikir umat Islam yang berkoar-koar dengan ide perbaikan negara (ishlah li al-dawlah), sementara perbaikan individu dan masyarakat Islam itu sendiri belum terlaksana. Proyek Islam rahmatan li al-‘alamin niscaya akan menemui jalan buntu.
Ibadah puasa menjanjikan tantangan besar, yaitu menahan diri dari kesenangan duniawi. Puasa menuntut umat Islam untuk meng-upgrade diri dari kecenderungan terhadap materi kepada amalan-amalan berorientasi ukhrawi. Umat Islam dituntut untuk berpikir dan bertindak strategis. Amalan yang mereka lakukan hendaknya tidak hanya berdampak pada diri mereka sendiri, namun juga memberi manfaat bagi orang lain. Umat Islam dididik untuk mampu meninggalkan kesenangan yang semu sebagai isyarat menuju kemenangan yang hakiki.
Dalam Al-Qur’an, salah satu kata yang merepresentasikan kesenangan adalah al-mata’. Secara tematik dalam beberapa ayat Al-Qur’an, kata ini bermakna “kesenangan sementara’, ‘kesenangan yang memperdayakan’. Sebagaimana terdapat dalam surah Ali Imran ayat 185: “….kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan”. Pada ayat ini, Allah menegaskan bahwa setiap makhluk hidup akan merasakan mati. Kehidupan setelah kematian adalah yang abadi; dan seharusnya lebih diprioritaskan. Sementara kehidupan dunia bersifat sementara, kesenangan yang didapat sering kali memperdayakan manusia.
Selain itu, pesan Allah SWT tentang kesenangan duniawi tersebut juga dapat ditemukan pada surah Muhammad ayat 12: “sedangkan orang-orang kafir mereka bersenang-senang, mereka makan seperti binatang makan, dan neraka merupakan tempat tinggal mereka”. Dalam ayat tersebut Allah menegaskan betapa kesenangan duniawi yang diberikan kepada orang-orang kafir sejatinya hanyalah kehampaan. Aktivitas mereka tak mencirikan nilai-nilai manusiawi. Di akhirat kelak Allah telah menjanjikan bagi mereka siksaan neraka.
Ayat-ayat di atas menukilkan hikmah penting, bahwa kesenangan duniawi hanyalah berorientasi pada fisik dan nafsu. Kesenangan ini kering dari nilai-nilai spiritual dan sosial. Kekayaan, jabatan, penghargaan, dan berbagai aksesoris kemewahan dunia sejatinya adalah kesenangan. Jurang terjal dan curam yang harus dikendalikan oleh umat Islam melalui ibadah puasa Ramadan. Melalui puasa, strata sosial, status sosial, dan pencapaian pribadi dileburkan oleh Allah SWT. Manusia diletakkan pada level yang sama, di mana semua diwajibkan untuk menahan diri. Takwa menjadi satu-satunya kriteria objektif untuk menilai kualitas keimanan.
Seiring dengan perintah untuk menahan diri dari kesenangan tersebut, ibadah puasa Ramadan juga menuntun umat Islam menuju kemenangan. Arti dari kemenangan itu sendiri adalah keberhasilan mengendalikan nafsu dan kesuksesan mendamaikan kehidupan dunia dan akhirat. Dalam Al-Qur’an, kata kemenangan diwakili oleh al-falah. Secara tematik, kata ini bermakna ‘keberuntungan’, ‘kemenangan’. Kata ini digunakan oleh Allah SWT untuk menggambarkan derajat umat Islam yang mampu menuntaskan perintah-perintah ketuhanan dengan baik dan maksimal.
Sebagaimana terdapat dalam surah Al-Hajj ayat 77: Hai orang-orang yang beriman, ruku’ dan sujudlah, serta sembahlah Tuhan kamu dan perbuatlah kebajikan, semoga kamu memperoleh kemenangan. Melalui ayat tersebut, kemenangan adalah capaian bagi mukmin yang mampu menyelaraskan dimensi spiritual dan sosial dalam hidup. Mereka yang membuktikan kehambaan melalui rukuk dan sujud dan menunaikan tugas kekhalifahan melalui amal kebajikan. Semua aktivitas tersebut mereka lakukan dalam bingkai mengharapkan rido dan berkah dari Allah SWT.
Dalam surah Al-Taghabun ayat 16, Allah mempertegas kalam-Nya: Maka bertakwalah kepada Allah sekuat kemampuan kamu, dengarkanlah serta taatilah, dan nafkahkanlah yang baik untuk diri kamu, dan barang siapa yang dipelihara dari kekikiran hatinya, niscaya itulah orang-orang yang beruntung. Ayat ini menekankan bahwa keberuntungan dan kemenangan adalah bagi mereka yang mampu tunduk secara maksimal. Mereka menjalankan perintah Allah dengan sepenuh hati dan kesungguhan.
Sementara kepada sesama manusia, mereka memberikan kelebihan harta untuk saling membantu satu sama lain. Mereka berhati luas dan senantiasa dijauhkan Allah dari sifat kikir.
Ibadah puasa Ramadan sudah selayaknya kita maksimalkan untuk menuju kemenangan tersebut. Sepantasnya kita menahan diri dari kesenangan nafsu, fisik, dan individual dan beranjak kepada kemenangan batin, kalbu, dan sosial. Dikaitkan dengan konteks besarnya dampak penyebaran pandemi Covid-19, inilah saatnya kita membangun solidaritas umat. Pribadi muslim bersatu mewujudkan masyarakat yang saling menebar rahmat, sehingga rido Allah SWT menjadikian dekat. Mari kita bersama menjadikan ibadah puasa Ramadan sebagai stasiun penanda naiknya kualitas diri seorang mukmin untuk mewujudkan Islam sebagai rahmatan li al-‘alamin. (*)