Ramadan dan Pergerakan Jiwa

MUI

Ketua MUI Kota Padang, Prof Duski Samad. IST

Prof. Duski Samad

Ketua MUI Kota Padang

“Sungguh, beruntung orang yang menyucikan diri (dari kekafiran), dan mengingat nama Tuhannya, lalu dia salat. Adapun kamu (orang-orang kafir) mengutamakan kehidupan dunia, padahal kehidupan akhirat itu lebih baik dan lebih kekal”. (QS. Al-‘Ala/87:14-17)

Ramadan merupakan salah satu momentum bagi manusia melakukan pergerakan, khususnya pergerakan jiwa dari situasi netral, bahkan ada yang sudah tergerak, menjadi jiwa yang hanif (memiliki kecenderungan baik), lebih dari itu ingin menjadi jiwa muthmainnah (tenang dan menenangkan). Karena memang, terminal akhir yang hendak dituju dalam pengabdian sebagai hamba Allah, adalah menjadi hamba yang bertauhid murni dan muslim sejati, hanifan musliman. Sebagai makhluk yang memiliki tugas khalifah, mengurus kehidupan di dunia, manusia membutuhkan ketenangan dan kenyaman (nafsul muthmainah).

Fenomena jiwa manusia digambarkan Al-Quran dalam tiga kategori, ada positifnya dan juga ada negatifnya, di samping juga disebutkan ada yang masih netral. Dari segi positif, jiwa berasal dari sumber dan esensi yang suci dan menyucikan, fitrah. Penciptaan manusia adalah sangat baik dan terbaik, (ahsanut taqwim). Manusia adalah makhluk mulia dan memiliki kapasitas untuk memuliakan, (walaqad karamna bani adam). Manusia adalah pemegang mandat kepempimpinan, (khalifatullah fil ard).

Dari segi negatif, jiwa manusia adalah makhluk yang tidak sabar, tergesa-gesa, (‘ajula), manusia itu merasakan dirinya lemah, (dhaifa), manusia adalah suka mengeluhkan dan susah payah, (kabad). Pada segi netralnya, manusia digambarkan dapat menerima positif dan negatif, tergantung bagaimana ia menjaga pergerakan potensi dirinya, dan kesiapan jiwanya.

Bahagian lain yang melekat pada manusia adalah bekerja keras untuk memenangkan kompetisi ekspresi jiwa manusia antara kekuatan emosi yang tak terkendali (amaratus bis syu’), kekuatan pengaruh suka meremehkan, melecehkan dan memberikan stigma buruk, (lawwamah), dengan jiwa yang tenang (muthmainnah) dan menjadi hamba yang taat, (liya’buduni) dan jiwa yang terus bergerak dalam mengisi hidupnya sebagai usaha menjadi muslim sejati, (haqqa).

Ramadan yang intinya adalah sarana menservis jiwa untuk mencapai kualitas orang yang loyal pada syariat dan menolak utuh thagut(muttaqin), akan dapat dicapai bila dilakukan pergerakkan jiwa yang terencana dan berkelanjutan. Al-Qur’an menegaskan bahwa kendali jiwa pada dasarnya ada pada setiap orang, sebab ia sudah diberikan perangkat akal, perasaan dan hati. Mengubah sifat netral, dan negatif menjadi positif adalah kerja jihad yang terus dilakukan, khususnya saat Ramadan. Jiwa yang di dalamnya ada potensi suci (taqwa), ada pula bibit kekafiran (fujur) dapat menjadi orang baik, suci dan benar.

Pergerakan jiwa kesucian

Di era post trust, adanya kebenaran semu atau yang sengaja disemukan, sulitnya menemukan garis pemisah antara haq dengan batil, atau samarnya garis pemisah antara kebenaran dengan kejahatan, maka kondisi ini harus di atasi dengan menghadirkan antitesis bahwa kebaikan, kebenaran dan kejujuran aslinya adalah nilai, sifat dan realitas yang lebih mendominasi. Jikapun ada kebenaran obyektif, nilai kejujuran dan keberpihakan pada kebenaran terciderai oleh prilaku orang atau pihak, yakinkan pada saatnya kebenaran pasti akan terungkap.

Kesadaran bahwa proses zakka (kesucian dan kebenaran normatif) sulit dapat tegak sendiri bila tidak dilakukan pergerakkan tazzaka (proses penyucian jiwa) melalui ibadah, akhlak mulia dan perenungan hakikat, (ma’rifah). Kehadiran Ramadan  bulan imsak, menahan makan, minum dan hubungan suami isteri dapat diperluas maknanya menjadi imsak dari karakter dan watak buruk, yang nantinya akan berproses menjadi suci. Penyadaran diri bahwa sifat netral, dan lebih lagi watak buruk tidak akan mengalami pergerakkan kearah yang baik, tanpa dilakukan imsak, dan pengendalian diri yang optimal. 

Pergerakan ibadah bagi kesucian jiwa.

Ibadah Ramadan, salat, doa dan zikir adalah media untuk menunjukkan kepatuhan pada ajaran Khaliq, sekaligus juga dapat menjadi alat pembersih jiwa. Saat beribadah yang disertai dengan sikap jiwa yang ikhlas, taat dan penuh khusyuk, adalah situasi yang akan mengubah jiwa dari kondisi tidak stabil, menjadi tenang dan akhirnya akan menjadi hamba yang hanif. Setiap salat, bacaan doa iftitah, selalu dinyatakan komitmen diri bahwa hidup, mati, dan ibadah adalah dalam frame menjadi muslim yang kuat (hanifan musliman).

Norma ayat menegaskan bahwa dipastikan zikir yang benar dan lurus akan mengantarkan energi positif, ketenangan hati, (QS. Al-Ra’ad/13:28). Pada ayat lain disebutkan bahwa selesaikan melakukan ibadah salat juga akan menghasil ketenterman jiwa, (QS. An-Nisa’/4:103). Juga diterangkan bahwa kekhusyakan, konsentrasi dan sikap, etos kerja lebih aktif dan berkemajuan  (progresif) ada hubungannya dengan ketenangan batin, (QS. Al-Hadiid/57:16).

Pergerakan orentasi akhirat

Pergerakan kearah jiwa yang suci dan benar dapat lebih cepat bila motivasi, orentasi, ideologi dan pandangan hidup (world view) orang lebih jauh dan tidak terkungkung dalam kerangkeng berjangka pendek, dan kenikmatan sesaat. Pandangan akhirat yang dibentuk oleh iman, adalah mobilitas emosional dan sipritualitas yang dapat mengantar manusia pada realitas hakiki. Hakikat jelas tidak mudah diketahui dan dirasakan oleh mereka yang tersandera kenikmatan (hedonism) duniawi yang menipu (ghurur). Pencarian diri yang tiada hentinya adalah metode terbaik untuk garis star menemukan pandangan hidup jangka panjang (ukhrawi).

Memastikan dalam pengalaman, ilmu dan keyakinan bahwa kehidupan beraraskan akhirat itu lebih baik, wal akhiratu Khairul minal ula, (QS. Al-‘Ala/87:17) adalah kinerja yang berawal dari proses pergerakkan jiwa. Orentasi akhirat, bahwa hidup di dunia ini bukan segala-galanya, karena nanti akan ada kehidupan di akhirat tempat menerima manfaat dari kebaikan dan menanggung resiko dari kejahatan. Mesin iman pada akhirat, surga, neraka, hisab, dan kejadian di alam barzah, adalah juga menjadi motivasi untuk menjadi pengerak perubahan.

Akhirnya dapat dikatakan bahwa mesin pergerakan jiwa yang ada pada bulan Ramadan, antara lain mensucikan jiwa dari pengaruh buruk, dusta (hoax), ghibah, provokasi (namimah), dan sejenisnya, begitu juga meningkat jumlah dan mutu ibadah, kesalehan ibadah dan kesalehan sosial, serta meningkatkan kesadaran eskatalogis (adanya alam akhirat), itu semua  diharapkan dapat mewujud dengan baik, sehingga dapat memproses diri menjadi hamba yang menuju kehidupan yang clear dan clean, hasanah fiddunya dan hasanah fil akhirah, yang ditandai dengan hadirnya jiwa yang muthmainah. Amin.

Exit mobile version