PADANG, hantaran.co — Sejumlah publik figur ramai mengungkapkan memiliki spirit doll (boneka arwah) dan memperlakukannya layaknya makhluk hidup. Tidak hanya dijadikan teman bicara, boneka arwah juga dimandikan, dipakaikan baju, dan diperlakukan seperti manusia pada umumnya.
Kemunculan fenomena spirit doll pun terus disorot lantaran dinilai tidak sejalan dengan budaya ketimuran dan nilai-nilai spiritual yang mayoritas dianut di Indonesia. Terlebih yang memperkenalkan tren tersebut adalah publik figur dam selebritis yang memiliki banyak pengikut.
Psikolog, Nila Anggreiny, menyisir motif dan dampak fenomena boneka arwah yang tengah marak jadi perbincangan. Menurut dosen Psikologi Universitas Andalas (Unand) ini, fenomena spirit doll dapat terjadi akibat ikut-ikutan tren sebagai bagian dari lifestyle (gaya hidup), pemahaman spiritual yang tidak tepat atau indikasi ganguan kejiwaan jika memenuhi beberapa kriteria gejala tertentu.
“Dari sisi psikologis harus dilihat apa motifnya ketika orang memperlakukan benda mati seperti benda hidup seperti fenomena spirit doll itu. Kalau ada beberapa kriteria, seperti ketika kontak terhadap realitasnya itu bermasalah, hubungan dengan lingkungan sosialnya tidak normal itu bisa kita simpulkan mengalami gangguan kejiwaan. Tetapi ketika kontak dengan realitasnya masih bagus, hubungan dengan lingkungan sosialnya masih normal maka bisa melihat motif disampingnya,” tuturnya kepada Haluan jaringan hantaran.co Jumat (14/1/2022).
Meskipun ada yang menganggap dengan memiliki spirit doll mendapatkan hal-hal positif, namun ada yang keliru dengan munculnya perilaku tersebut. “Kalau dari aspek spiritual ada beberapa hal yang menjadi titik tekan kita. Tergantung bagaimana pemahaman dari agama masing-masing. Di agama islam, misalnya melakukan hal-hal seperti itu, secara konteks keagamaan salah dan tidak bisa dibenarkan,” tuturnya lebih lanjut.
Perilaku itu bisa tergolong dalam perbuatan syirik (menyekutukan Allah SWT) sebab menganggap kehadiran benda-benda tertentu memberikan kebaikan bagi pemiliknya.
Di sisi lain, Nila menyebut peran media massa dan media sosial dewasa ini juga sangat mempengaruhi munculnya suatu tren. Dikatakannya, tindakan publik figur dan orang-orang yang dijadikan sebagai model/ panutan, secara tidak sadar akan memicu orang lain yang selama ini mengikutinya untuk meniru perilaku itu. Sehingga kadang-kadang membuat orang yang meniru menganggapnya sebagai hal biasa dan tidak bisa berpikir apakah yang dilakukannya benar atau tidak, tepat atau tidak, berguna atau tidak.
“Karena setiap hari yang diinfokan hal itu, sehingga dapat mempengaruhi perilaku masyarakat dan menganggapnya sebagai hal biasa,” katanya.
Selain itu, ia juga menyebut perilaku itu juga muncul karena adanya kekosongan dalam diri seseorang. Sehingga ia menggunakan boneka, untuk bercerita dan menganggapnya ‘makhluk hidup’. Menurutnya, ketika sesorang memahami suatu objek dapat membantu dia, maka akan menjadi kekaburan terhadap objek itu.
Dengan hadirnya tren yang dilajukan publik figur ini, dampaknya kepada orang yang akan mencontoh. Sehingga bisa mengubah perilaku di masyarakat.
“Sebaiknya saat kita melihat suatu tren atau fenomena kemampuan daya pikir kita juga harus terasah dengan baik. Apakah tren itu seusai dengan konteks nilai-nilai spiritual dan budaya kita, sehingga kita bisa menjadi orang yang bisa kritis terhadap fenomena yang sedang terjadi,” ucapnya. (*)
Yesi/hantaran.co