Paslon bisa saja menyadari kondisi pandemi ini dan memanfaatkannya untuk memobilisasi suara. Padahal, keterbatasan ruang kampanye karena ketentuan protokol kesehatan, mestinya jadi momentum bagi paslon dan penyelenggara untuk mengubah cara berkampanye.
Asrinaldi
Peneliti Spektrum Politika/Dosen Ilmu Politik Unand
PADANG, hantaran.co — Praktik politik uang dikhawatirkan makinmasif terjadi di tengah penyelenggaraan Pilkada di masa pandemi. Sebab, wabah Covid-19 telah menimbulkan dampak buruk bagi sebagian besar sektor perekonomian, sehingga membuat sebagian besar wargadikhawatirkan mudah dipancing dengan pemberian untuk menentukan pilihan.
Direktur SBLF Riset and Consultant Edo Andrefson memperkirakan, praktik politik uang akan meningkat signifikan pada Pilkada Serentak tahun ini. Selain itu, keterbatasan ruang kampanye di tengah pandemi juga bisa menyebabkan para pasangan calon (paslon) menempuh jalan pintas dengan “menyogok” pemilih untuk menentukan pilihan.
“Pilkada di tengah pandemi Covid-19 ini sepertinya akan berdampak pada makin tingginya potensi transaksi politik uang. Sebab, perekonomian sebagian besar masyarakat tengah terganggu. Selain itu, sebagian warga masih menilai wajar saja jika ada pemberian dari paslon. Hampir sebagian besar akan menerima,” kata Edo kepada Haluan, Selasa (6/10/2020).
Menyikapi hal itu, Edo memastikan bahwa KPU sebagai penyelenggara dan Bawaslu sebagai pengawas penyelenggaraan, lebih tangkas dan tegas dalam menindaklanjuti laporan serta memproses laporan terjadinya praktik politik uang di tengah penyelenggaraan pemilihan umum.
“Bawaslu harus terus mengoptimalkan perannya. Jangan seperti selama ini, terkesan menghabiskan energi untuk menertibkan alat peraga kampanye yang menyalahi aturan. Mestinya pengawasan di pelanggaran-pelanggaran berat harus ditindak lebih intensif, seperti politik uang yang terkategori pidana. Selain Bawaslu, memang butuh juga peran seluruh pihak,” kata Edo.
Hal senada disampaikan Peneliti pada Spektrum Politika Institute Asrinaldi. Menurutnya, warga pemilih berada dalam posisi dilema dalam hal praktik politik uang di tengah penyelenggaraan Pilkada. Sebab, di satu sisi warga sangat membutuhkan bantuan karena kondisi perekonomian tidak dalam keadaan baik-baik saja.
“Paslon bisa saja menyadari kondisi itu dan kemudian memanfaatkannya untuk memobilisasi suara. Tentu ini menjadi PR untuk seluruh pihak dalam memberikan edukasi kepada masyarakat agar tidak menggadaikan nasib daerah ke tangan orang-orang yang memperoleh kekuasaan dengan cara-cara seperti itu,” kata Asrinaldi.
Dilema Kampanye Terbatas
Selain itu, Edo Andrefson menilai terbatasnya ruang kampanye karena ketentuan pelaksanaan protokol kesehatan di tengah pandemi Covid-19, juga berpotensi tidak sampainya gagasan para paslon secara utuh kepada masyarakat sebagai calon pemilih pada Pilkada nanti.
“Bagaimana pun Pilkada tetap berjalan. Beberapa tahapan sudah berlangsung dan hampir mustahil untuk berhenti di tengah jalan. Menurut saya, sekarang bagaimana agar penyelenggara pemilu dapat memastikan Pilkada berjalan aman. Sedangkan untuk gagasan paslon, bisa dimaksimalkan lewat media sosial dan alat peraga kampanye lain,” kata Edo.
Edo mencontohkan, terkait alat peraga kampanye, KPU mestinya bisa berinovasi dalam aturan desain yang selama ini hanya berisi foto, nama, dan nomor urut paslon. Sedapat mungkin, penyelenggara menyiapkan beberapa desain berisi visi misi serta program unggulan paslon.
“Untuk saat ini alat peraga kampanye efektivitasnya lebih tinggi, karena kampanye dengan kerumunan massa tidak diizinkan. Di samping itu, mungkin paslon bisa lebih memaksimalkan peran relawan untuk kampanye dari rumah ke rumah atau door to door,” ucapnya menutup.
Kesempatan Mengubah Cara
Sementara itu menurut Asrinaldi, keterbatasan ruang kampanye karena ketentuan protokol kesehatan di tengah pandemi mestinya jadi momentum bagi paslon dan penyelenggara untuk mengubah cara berkampanye. Sebab selama ini, saat kampanye dilakukan dalam keadaan normal, sebagian besar warga datang bukan untuk mendengarkan gagasan, tapi ingin menikmati hiburan.
“Bica mencontoh pada kampanye politik di Malaysia, yang tidak ada hiburan sama sekali. Masyarakat datang memang karena tertarik dengan orasi-orasi yang disampaikan calon. Persoalan kita selama ini, paslon tidak begitu cakap dalam public speaking, sehingga jika kampanye sebatas orasi tentu akan sedikit massa yang datang,” kata Asrinaldi.
Asrinaldi menilai, dalam keadaan normal sekali pun, pesan yang diantarkan paslon saat kampanye juga tidak tersampaikan dengan baik. Oleh karena itu, pandemi bisa jadi momentum agar paslon berinovasi dalam membungkus pesan untuk masyarakat, terutama lewat saluran dalam jaringan (daring).
“Misalnya dengan membuat poin-poin program dengan bahasa yang praktis, ringan, dan sederhana, sehingga mudah dipahami masyarakat. Kemudian, paslon juga bisa menghadirkan persoalan-persoalan daerah dan menawarkan solusi untuk mengatasinya,” kata Asrinaldi lagi.
Dalam kontestasi politik modern, kata Dosen Ilmu Politik Universitas Andalas itu lagi, paslon memang amat membutuhkan konsultan politik, yang kemudian bisa mempermudah kerja mereka dalam menyampaikan program-program yang diusung ke tengah masyarakat.
“Manajemen relawan, tim media, dan isu-isu yang akan disampaikan, tentu akan lebih tertata dengan rapi. Tidak bisa kampanye dilakukan dengan cara-cara tradisional lagi, butuh adaptasi dan inovasi. Pilkada sudah berjalan lebih dari 15 tahun, tentu perlu pembaharuan dalam strategi pemenangan, dan pandemi ini bisa jadi momentum,” katanya menutup.
Bawaslu Kantongi Pelanggaran
Sebelumnya diberitakan, sejak masa kampanye Pilkada serentak 2020 dimulai 26 September lalu, Bawaslu Sumbartelah menemukan dan menerima laporan beberapa dugaan pelanggaran aturan kampanye oleh paslon. Sementara untuk pelanggaran protokol kesehatan terkait Covid-19, sanksi yang berlaku mengikut pada Perda Adaptasi Kebiasaan Baru (AKB).
Ketua Bawaslu Sumbar Surya Efitrimen mengatakan, secara umum terdapat dua jenis pelanggaran yang dilakukan paslon. Pertama, pelanggaran atas aturan kampanye sesuai ketentun dalam Undang-Undang Pilkada. Kedua, pelanggaran protokol kesehatan terkait Covid-19 karena kampanye berlangsung di masa pandemi.
“Kami telah melakukan kajian terhadap beberapa laporan tentang dugaan pembagian sembako bagi masyarakat dengan stiker salah satu peserta Pilgub Sumbar di Kota Padang dan Kabupaten Pasaman. Setelah laporan dikaji, kami gelar rapat pleno, dan hasilnya laporan itu kami kembalikan ke pelapor agar dipenuhi dulu syarat formil dan materilnya,” kata Surya kepada Haluan.
Beberapa hal yang perlu dilengkapi, sambungnya, berupa bukti pendukung seperti, tempat kejadian dan identitas terlapor yang diduga melanggar aturan kampanye. Selain itu, Bawaslu juga menemukan dan menerima laporan dugaan wali nagari yang berpihak atau mendukung salah seorang paslon di Pesisir Selatan dan Sijunjung. Serta, pelanggaran kampanye yang berlangsung tanpa Surat Tanda Terima Pemberitahuan (STTP).
“Kami juga temukan dugaan pelanggaran netralitas ASN dan dugaan pelanggaran protokol kesehatan Covid-19 dalam kegiatan yang dihadiri paslon. Selain itu, juga ditemukan beberapa paslon menghadiri kegiatan budaya yang dihadiri banyak orang, di mana salah seorang paslon memberikan uang pada panitia penyelenggara seusai acara,” katanya lagi.
Atas semua pelanggaran itu, Surya menyebutkan saat ini Bawaslu tengah melakukan proses penanganan dan kajian, yang dimotori oleh jajaran pengawas pemilihan sesuai tempat kejadian dan temuan dugaan pelanggaran. Setiap dugaan pelanggaran sendiri, akan ditelusuri sepanjang syarat formil dan materil terpenuhi.
“Jika laporan lengkap, maka akan jadi temuan dan jadi dasar bagi Bawaslu untuk memproses. Kami imbau, jika masyarakat menemukan dugaan pelanggaran, segera lapor ke Panwascam atau Bawaslu kabupaten/kota. Atau juga bisa via SMS, email, atau surat yang dilengkapi identitas pelapor, dugaan terlapor, dan bukti-bukti pelanggaran,” kata Surya menutup. (*)
Riga/hantaran.co