Hukum

Polda Sumbar Masih Memburu Mucikari, Pemda Dinilai Belum Mencegah Prostitusi dari Hulu

7
×

Polda Sumbar Masih Memburu Mucikari, Pemda Dinilai Belum Mencegah Prostitusi dari Hulu

Sebarkan artikel ini
Polda
Gedung Polda Sumbar. IST

PADANG, hantaran.co – Kepolisian Daerah (Polda) Sumatera Barat kembali mengungkap kasus prostitusi daring di Kota Padang yang ikut melibatkan anak di bawah umur. Pemerintah Daerah (Pemda) diminta untuk memberikan perhatian khusus untuk mengantisipasi kejadian berulang serta menegakkan keadilan bagi para korban.

Direktur Women Crisis Center (WCC) Nurani Perempuan, Rahmi Meri Yenti, kepada Haluan menyebutkan, prostitusi bukan fenomena baru di Sumbar, terutama di Kota Padang. Sebab, kasus serupa sudah terjadi berulang kali, akan tetapi tak kunjung selesai akibat pemerintah tidak memprioritaskan penanganan kasus tersebut.

“Pemerintah selama ini terkesan menutupi persoalan ini. Persoalan ini ditimbun dan dianggap selesai saat pelaku sudah diamankan. Tidak ada upaya untuk membicarakan faktor apa yang membuat perempuan dan anak di bawah umur terjebak ke dalam prostitusi,” kata Meri, Minggu (13/6/2021).

Menurut Meri, terdapat sejumlah faktor yang mendorong para pelaku terlibat dalam prostitusi, mulai dari faktor kesulitan ekonomi atau kondisi rumah yang tidak kondusif  sehingga mereka memutuskan untuk keluar dari rumah. Kemudian, kondisi beban hidup yang berat untuk tetap bertahan di luar rumah memaksa sejumlah remaja masuk dalam dunia prostitusi.

Selain itu, sambung Meri, pengawasan dan kontrol sosial di tengah masyarakat juga semakin menipis. Termasuk, suasana di rumah yang tidak lagi menjadi tempat yang nyaman karena adanya tindakan kekerasan verbal maupun fisik dari orang-orang terdekat.

“Peran seluruh pihak sangat penting dalam mengurai persoalan lama ini. Sudah saatnya untuk duduk bersama dan mencari akar dari persoalan ini. Jika ini ditengarai karena kesulitan ekonomi, pemerintah mestinya bisa memecahkan kebuntuan itu dengan mempermudah akses permodalan usaha dan menambah lapangan kerja,” ujarnya.

Sebab, kata Meri, banyak dari pelaku-pelaku prostitusi yang memiliki keinginan untuk berusaha seperti merintis usaha kecil atau lain sebagainya. Namun, akses untuk modal, izin, dan urusan lain sebagainya punya prosedur panjang menjadi penghambat bagi meraka untuk memulai usaha.

Meri juga menilai, memasukkan PSK ke panti yang dikelola oleh Dinas Sosial juga tidak efektif. Sebab, program pendampingan dan pelatihan di tempat tersebut belum berjalan optimal. Selama ini ia menilai, program di panti itu tidak membuat pelaku prostitusi beralih profesi.

“Mereka hanya diberi pelatihan menjahit. Zaman sudah makin maju dan masuk era digital, panti seharusnya bisa membuat pelatihan agar mereka punya keahlian yang adaptif dengan kondisi zaman saat ini. Dengan kondisi seperti itu, pilihan terbaik memang dikembalikan kepada orang tua, dengan catatan pemerintah berkomitmen bisa terus melakukan kontrol dan memberikan konseling secara berkala,” katanya. 

Senada dengan Meri, Sosiolog Unand Prof. Afrizal mengatakan, fenomena prostitusi sudah lama terjadi di berbagai tempat. Setidaknya setelah Aparat Penegak Hukum (APH) membatasi ruang gerak para pelaku prostitusi konvensional, sehingga sekarang beralih ke prostitusi online. Ini merupakan strategi yang awalnya bertujuan untuk mengelak dari pengawasan aparat.

“Yang berbeda hanya modus operasi saja, fenomenanya tetap sama. Razia dan penangkapan juga tidak menghentikan mereka. Sebab setelah ditangkap mereka dibebaskan kembali. Jadi ini menurut saya adalah kegiatan yang mubazir dilakukan,” katanya kepada Haluan.

Ia mengatakan, ada hal yang selama ini tidak tersentuh oleh pemerintah atau pihak terkait, sehingga mengakibatkan para pelaku tidak bisa terlepas dari pekerjaan tersebut. Seperti pola relasi anak dan orang tua tidak tersentuh sama sekali, sehingga pencegahan prostitusi belum berjalan dari sisi hulu.

“Jika hanya fokus membereskan di hilir saja, maka tidak akan ada artinya, kejadian ini bakal terus terulang,” katanya.

Di samping itu, kata Afrizal, pemerintah daerah semestinya  menggandeng NGO atau LSM untuk memberikan pendampingan bagi pelaku prostitusi, agar setelah diamankan oleh pihak berwenang, tidak lagi kembali melakukan pekerjaan yang sama. 

“Banyak NGO yang bergerak di bidang ini. Pemerintah mesti menyiapkan dana untuk NGO atau LSM ini agar bisa mendampingi dan memberikan pelatihan kepada mereka. Sudah saatnya pemerintah untuk melakukan ini,” ucapnya menutup.

Polda Buru Mucikari

Sementara itu, Kabid Humas Polda Sumbar Kombes Pol Stefanus Satake Bayu Setianto menyatakan, saat ini kepolisian masih memburu mucikari yang menjadi dalang di balik prostitusi online tersebut. Sebab dalam operasi polisi pada Jumat pekan lalu, petugas hanya mengamankan sejumlah perempuan yang terlibat dalam praktik prostitusi tersebut.

“Untuk mucikarinya masih dalam pencarian. Dan juga belum ada penetapan tersangka dalam kasus prostitusi online ini,” ujar Satake kepada Haluan, Minggu (13/6/2021).

Satake menyebutkan, kasus prostitusi online ini bermula dari adanya transaksi antara satu perumpuan dengan laki-laki pada sebuah aplikasi berbagi pesan. Dalam pengembangannya, dua orang tersebut akan bertemu di sebuah Hotel di Kota Padang pada Kamis (10/6/2021).

“Dalam operasi tersebut, diamankan tiga wanita dengan identitas SA 20 tahun, E 19 tahun, dan BG 16 tahun. Sedangkan laki-laki orang tidak dikenal melarikan diri,” ujarnya. (*)

Darwina/Riga/hantaran.co