JAKARTA, hantaran.co — Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memperkirakan fenomena La Nina yang diprediksi akan berlangsung hingga awal tahun depan akan memicu bencana hidrometeorologi di sejumlah daerah rawan di Indonesia, termasuk Sumbar. Untuk itu, pemerintah daerah (pemda) diwanti-wanti untuk mempersiapkan sistem peringatan dini.
Kepala Badan Nasional Peanggulangan Bencana (BNPB), Ganip Warsito, mengatakan, peringatan dini yang dikeluarkan oleh BMKG menjadi salah satu referensi untuk ditindaklanjuti di lapangan. Meski demikian, masih terdapat missing link atau sambungan yang hilang antara informasi yang disampaikan terkait peringatan dini dan respons oleh masyarakat.
“Ini memang perlu dicarikan solusinya. Dengan begitu, informasi dari BMKG bisa diperoleh serinci mungkin, sehingga nanti responsnya juga bisa lebih tepat. Pada level yang lebih kecil, yaitu kabupaten/kota, kewaspadaan serta mitigasi dampak La Nina mutlak dilakukan,” kata Ganip saat Rapat Koordinasi Antisipasi La Nina, yang digelar secara virtual, Jumat (29/10/2021).
Ganip menjelaskan bahwa informasi yang rinci akan memungkinkan pemangku kepentingan terkait mengambil langkah-langkah di lapangan yang dapat menjadi model untuk penyelamatan dari ancaman bencana.
Deputi Bidang Pencegahan BNPB, Prasinta Dewi mengharapkan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) provinsi untuk mewaspadai dan menginstruksikan BPBD di tingkat kabupaten/kota untuk melakukan langkah-langkah kesiapsiagaan.
Upaya dini yang dapat dilakukan salah satunya meningkatkan koordinasi dengan BMKG di daerah serta pemantauan secara berkala informasi iklim dan perkembangan cuaca maupun peringatan dini cuaca ekstrem. Selain itu, BPBD juga harus meningkatkan koordinasi antardinas terkait untuk melakukan langkah-langkah kesiapsiagaan sesuai tugas pokok fungsi dan kewenangan.
Kesiapsiagaan tidak hanya pada sisi pemerintah ataupun aparatur di tingkat kecamatan dan desa, tetapi juga masyarakat. Prasinta menekankan perlunya dukungan BPBD untuk meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat, khususnya mereka yang tinggal di lokasi rawan bencana. BNPB mengharapkan BPBD melakukan sosialisasi atau menginformasikan sejak dini kepada warga untuk menjauh dari lembah sungai, lereng rawan longsor, pohon yang mudah tumbang, ataupun tepi pantai.
Di sisi lain, ia mengharapkan BPBD untuk melibatkan masyarakat dalam pengaktifan tim siaga bencana. Tim ini bertugas, salah satunya, untuk memantau kondisi sekitar atau pun gejala awal terjadinya banjir, banjir bandang, tanah longsor dan angin kencang, maupun berkoordinasi antar tim siaga di wilayah hulu dan hilir.
Prasinta mengingatkan bahwa pihaknya telah memiliki informasi kerawanan bencana di tingkat desa atau kelurahan. Informasi tersebut dapat diakses pada Katalog Desa Rawan Bencana. Sedangkan pada konteks risiko, pemerintah daerah maupun masyarakat dapat melihat pada laman atau aplikasi inaRISK. Ini dapat membantu untuk membangun kewaspadaan dan kesiapsiagaan semua pihak di tingkat daerah.
Mengantisipasi dampak bencana hidrometeorologi basah, ia juga meminta adanya persiapan dini terkait sumber daya manusia, logistik, peralatan, dan penyiapan fasilitas layanan kesehatan sesuai dengan penerapan protokol kesehatan dalam penanganan Covid-19.
Pada kesempatan yang sama, Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati juga mengingatkan bahwa putusnya rantai informasi peringatan dini sampai ke masyarakat harus segera diantisipasi saat menghadapi dampak La Nina. Terputusnya rantai informasi, menurutnya, dapat menghambat kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi bencana.
“Berdasarkan pengalaman, beberapa kali terputus rantai informasi dari Pusdalops, yang tidak bisa dilanjutkan dari pemda ke desa-desa terdampak atau rawan bencana hidrometeorologi,” kata Dwikorita.
BMKG, ucapnya, telah memonitor adanya fenomena La Nina lemah sampai akhir tahun, dan kondisi itu akan terus bertahan hingga Februari 2022 dengan level menengah. Fenomena La Nina sendir akan meningkatkan curah hujan, yang juga ikut meningkatkan potensi bencana hidrometeorologi, seperti banjir dan longsor.
Lebih jauh, ia menjelaskan, fenomena alam La Nina berkaitan dengan pendinginan suhu di Samudera Pasifik bagian tengah. Data pada dasarian III September menunjukkan bahwa suhu muka laut di Samudera Pasifik bagian tengah telah melewati ambang batas La Nina.
Pada dasarian III September itu, suhu muka laut sudah di angka minus 0,63. Lalu menjadi minus 0,61 pada desarian I Oktober. Terbaru, dasarian II Oktober, suhu muka laut turun drastis ke angka minus 0,92. “Apabila mencapai minus 1, artinya sudah mulai terjadi La Nina dengan intensitas moderat. Dengan kata lain, penguatan ini seiring berjalannya waktu akan semakin meningkat,” kata Dwikorita.
BMKG memprediksi, intensitas La Nina tahun ini akan serupa dengan tahun 2020. Tahun lalu, curah hujan meningkat 20 hingga 70 persen di atas normal sepanjang November hingga Januari. Peningkatan curah hujan itu terjadi di berbagai wilayah Indonesia, terutama di wilayah Sumatera bagian selatan, Jawa, Bali, NTB, NTT, Kalimantan bagian selatan, dan Sulawesi Selatan.
Di sisi lain, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves), Luhut Binsar Pandjaitan meminta semua kementerian/lembaga terkait untuk menyiapkan langkah antisipasi dan mitigasi bencana.
Kementerian/lembaga terkait itu adalah Kementerian PUPR, Kementerian ESDM, BMKG, Kementerian LHK, Kemendagri, Kemensos, Kemenhub, dan BNPB. Semua instansi itu, kata Luhut, harus segera berkoordinasi dan bersinergi untuk segera melakukan pencegahan bencana hidrometeorologi dari hulu hingga ke hilir. “Saya kira sangat penting untuk dilakukan langkah antisipasi bencana agar nanti tidak kelimpungan,” kata Luhut. (*)
hantaran.co